Siapa di antara kita yang tidak bangga memiliki anak yang hebat dan berprestasi?
Semua orang pasti bangga. Bahkan, tidak sedikit di antara kita yang membanggakan kehebatan anak secara berlebihan.
Hal itu tidak salah dan sah. Kecenderungan ingin mempunyai anak yang hebat dan berprestasi sering kali membuat kita lupa diri.
Kita lupa dampak psikologis anak yang dipromosikan dan dibanggakan secara berlebihan itu. Anak pun jadi sombong.
Gara-gara ambisius, disadari atau tidak kita menyuruh, mendorong, bahkan memaksa anak untuk mengikuti kursus ini-itu. Belum lagi jika anak harus aktif mengikuti kegiatan sekolah yang menyita waktu dan melelahkan.
Kita ingin membentuk anak sesuai kemauan dan harapan kita. Hal itu membuat anak tidak berani untuk menyanggah atau berontak, karena dianggap melawan kita sebagai orangtua. Akibatnya jiwa anak jadi tertekan, terbebani, dan stres.
Alangkah bijak, sebelum menyuruh anak untuk mengikuti les, kita lebih dulu memberi pengertian manfaat les itu. Anak juga diajari cara mengatur waktu yang baik untuk sekolah, belajar, dan bermain.
Kebiasaan baik yang ditanamkan sejak dini membuat anak mudah memahami arti disiplin waktu.
Begitu pula, jika kita mengajarkan budaya tertib di rumah, sekolah, dan di mana saja. Di mana anak harus meletakkan sepatu, pakaian kotor, atau alat-alat mainnya setelah bermain sehingga tidak berantakan.
Saat kedatangan tamu, anak kita yang tengah bermain itu dikenalkan kepada tamu. Anak diajari sopan santun, menghormati orang yang lebih tua, bersosialisasi, dan seterusnya.
Membangun dan membentuk karakter yang baik pada anak kecil itu lebih mudah, jika hal baik dan positif dilakukan sebagai kebiasaan dalam keluarga.
Mendisiplinkan kebiasaan yang baik dan tertib pada anak itu jauh lebih bermanfaat ketimbang kita memotivasi anak sekadar mengejar prestasi di sekolah.
Nilai akademis itu penting. Tapi, jauh lebih penting menerapkan implikasi keilmuannya dalam bersosialisasi di tengah masyarakat.
Membudayakan budaya tertib dalam keluarga merupakan etika membangun bangsa.