Rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia merupakan spesies yang membutuhkan air lebih hangat daripada di Australia. Data Australia-Indonesia Centre menyebutkan lebih dari sepertiga pasokan rumput laut Indonesia dan 11% dari pasokan global berasal dari Sulsel.
Seide.id – Industri rumput laut di Sulawesi Selatan (SulSel) menarik perhatian peneliti Australia, karena dinilai lebih maju dan juga diharapkan bisa dijadikan contoh untuk pengembangannya di Australia. ABCNews memberitakan.
Madeleine Grist dari Departemen Pertanian Australia yang telah mengunjungi sentra industri rumput laut di Sulsel mengatakan, secara keseluruhan Indonesia menghasilkan sekitar 66 persen rumput laut hidrokoloid, termasuk rumput laut karagenan.
“Karagenan itu seperti zat pembentuk gel, jadi banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan, dan kita bisa menemukannya di es krim vegan karena merupakan pengganti gelatin juga,” ujar Madeleine kepada ABC News.
Madeleine berharap dari kunjungannya ke Sulsel, dia dapat membawa pengetahuan dan pengalamannya ke Australia yang kini juga mengembangkan budidaya rumput laut.
“Dibandingkan dengan Australia, industri rumput laut di Indonesia lebih maju,” katanya.
Rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia merupakan spesies yang membutuhkan air lebih hangat daripada di Australia. Data Australia-Indonesia Centre menyebutkan lebih dari sepertiga pasokan rumput laut Indonesia dan 11% dari pasokan global berasal dari Sulsel.
Industri ini dinilai sangat penting bagi Sulsel, dengan lebih dari 35.000 rumah tangga mengandalkan budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian mereka.
Scott Spillias, mahasiswa University of Queensland yang meneliti rumput laut, menjelaskan perluasan budidaya rumput laut dapat membantu mengurangi permintaan hasil pertanian darat.
Bersama timnya, Scott menemukan budidaya rumput laut dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari pertanian global hingga 2,6 miliar ton setara CO2 per tahun. “Sama seperti kita mengolah jagung atau kedelai, kita juga bisa mengolah rumput laut untuk mengekstraksi nutrisi atau protein tertentu, misalnya untuk pakan ternak,” jelasnya.
“Kita juga bisa menggunakannya untuk menghasilkan biofuel seperti etanol atau biodiesel,” kata Scott.
Rumput laut adalah tanaman bernilai rendah dengan potensi bernilai tinggi, yang membuat para ilmuwan bersemangat mengembangkan budidayanya.
“Analisis yang kami lakukan menunjukkan bahwa sekitar 650 juta hektar lautan cocok untuk budidaya rumput laut. Itu sama dengan 2 persen dari luas lautan secara keseluruhan,” jelas Scott.
Di Australia, banyak spesies rumput laut asli, tapi bedanya dengan tanaman darat seperti gandum, rumput laut tidak mendapat banyak perhatian selama ini.
Sementara di Indonesia, budidaya rumput laut telah memberikan sumber pendapatan yang beragam bagi masyarakat, khususnya industri budidaya petani.
“Petani rumput laut di Indonesia menghasilkan pendapatan lebih banyak dibandingkan dengan nelayan penangkap ikan. Pengolahannya tidak membutuhkan mekanisasi, kebanyakan masih dilakukan dengan tangan,” ujar Madeleine.
Dalam penelitiannya, Scott memperkirakan manfaat lingkungan dari berbagai skenario produksi rumput laut.
Dengan mempertimbangkan faktor seperti perubahan penggunaan lahan, emisi gas rumah kaca, penggunaan air dan pupuk, dan perkiraan perubahan prevalensi spesies pada tahun 2050, dia mengidentifikasi potensi manfaat dari perluasan produksi rumput laut.
“Salah satu skenario di mana kita mengganti 10 persen sumber makanan manusia dengan produk rumput laut, maka penggunaan lahan daratan untuk pertanian seluas 110 juta hektar dapat dihindari,” paparnya. – ABCNews/dms