Buka Puasa Bersama

Buka Puasa Bersama

Buka puasa bersama itu sebuah keniscayaan di bulan Ramadan. Dari keluarga inti sampai tingkat institusi, semua melakukan. Praktis sudah menjadi sebuah tradisi yang memperkaya khazanah Ramadan di tanah air.

Oleh AKMAL NASERY BASRAL *
@akmalbasral

DI HARI PERTAMA Ramadan 1444 H hari ini misalnya, saya memilih buka puasa bersama istri dan ketiga anak kami di rumah ketimbang menghadiri undangan rilis official trailer film Buya Hamka di XXI Epicentrum pada jam 17.00 WIB, meski sang pengundang adalah Minong Arifin, teman baik saya, cucu Buya Hamka dari putri Azizah Hamka.

Minong adalah salah seorang narasumber saya untuk buku Serangkai Makna di Mihrab Ulama (Republika Penerbit, 2022), buku kedua dari sekuel Setangkai Pena di Taman Pujangga (2020) tentang kehidupan sang ulama-pujangga besar berdarah Minangkabau. Perlu digarisbawahi bahwa antara film Buya Hamka yang segera tayang di bioskop dengan buku dwilogi saya tak ada kaitan sama sekali selain sama-sama mencoba merekonstruksi kehidupan Buya Hamka yang penuh warna, dan di beberapa fase hidupnya, juga kontroversi.

Tersebab pada hari pertama puasa ini dua dari tiga anak saya yang sehari-sehari kos di tempat berbeda bisa pulang ke rumah, maka lengkapnya keluarga inti menghadapi buka puasa bersama menjadi kebahagiaan tersendiri yang bisa menggeser kebutuhan menonton belakangan nanti.

Ilustrasi ini bisa diperpanjang dengan buka puasa bersama di antara keluarga besar, tetangga satu pemukiman, teman alumni sekolah/kuliah, atau kolega satu kantor dan instansi. Suasana buka puasa yang guyub dan akrab menyediakan semua kebutuhan emosional dan spiritual yang dibutuhkan untuk merekatkan yang renggang dan memperkuat yang sudah terbuhul.

Maka ketika beredar bocoran di WAG ( WhatsApp Group) surat edaran Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung No R-38/Seskab/DKK/03/2023 yang bersifat “Rahasia” yang ditujukan kepada ya para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, serta Kepala Badan/Lembaga tentang tentang arahan Presiden Joko Widodo agar buka puasa bersama pada bulan suci Ramadan 1444 H ditiadakan, kontroversi pun pecah. Publik heboh.

Mayoritas tanggapan warganet mempertanyakan mengapa buka puasa bersama dilarang, sementara berbagai konser musik dengan ribuan penonton diperbolehkan? Bahkan pernikahan seorang anak petinggi negara yang baru-baru ini berlangsung kolosal dengan ribuan tamu juga berjalan lancar. Bandingkan dengan jumlah peserta buka puasa bersama yang tak akan sampai ribuan orang untuk satu instansi. Paling banter hanya ratusan orang.

Jika alasan peniadaan buka puas bersama berkaitan dengan penanganan Covid-19 yang saat ini dalam transisi dari pandemi menuju endemi seperti tertulis dalam alasan pertama surat edaran, mengapa pula berbagai sentra kuliner, food court di mal dan pusat perbelanjaan, pusat jajan masyarakat yang selalu berlimpah ruah pengunjung tetap diperbolehkan beroperasi? Padahal jumlah mereka sebagai kerumunan pasti jauh lebih banyak dibandingkan buka puasa bersama dalam satu instansi pemerintahan.

Menanggapi gelombang kritik publik ini, Pramono Anung kemudian memberikan penjelasan susulan bahwa arahan Presiden itu disampaikan karena saat ini gaya hidup pejabat pemerintahan sedang dalam sorotan tajam publik setelah terbongkarnya gaya hidup hedonistik dan superglamor beberapa orang ASN. Maka, konteks imbauan Presiden itu agar seluruh aparat pemerintahan bersikap hidup sederhana di bulan Ramadan ini.

Dari penjelasan tambahan itu, pahamlah kita bahwa yang dikhawatirkan Presiden adalah buka puasa bersama yang jorjoran, dengan makanan mewah dan mahal berlimpah, namun tak jarang berakhir mubazir di tempat sampah. Ini memang jenis buka puasa bersama yang harus dihindari.

Tetapi selayaknya buka puasa bersama di kalangan kantor dan institusi negara tetap bisa diadakan jika kemasannya diubah. Presiden bisa menginisiasi dan memulai inovasi untuk buka puasa bersama yang lebih tepat sasaran. Misalkan, buka puasa bersama kaum duafa, anak-anak yatim, atau kaum miskin perkotaan yang terpinggirkan oleh pembangunan.

Masyarakat rindu melihat Presiden bisa tertawa lepas saat buka puasa bersama bersama kaum akar rumput, seperti saat Presiden bisa tertawa lepas saat ikut menyanyikan lagu Smoke on The Water dalam konser Deep Purple pekan lalu, yang cuplikan videonya beredar luas.

Jika Presiden dan Ibu Negara melakukan buka puasa bersama dengan melibatkan kaum papa nestapa—dengan tetap berekspresi gembira—bisa dipastikan para Menko, Menteri Kabinet, Gubernur dan Kepala Daerah, serta berbagai petinggi instansi pemerintahan dan lembaga negara juga akan mengikuti di pelbagai tempat berbeda.

Akibatnya ekonomi rakyat juga akan semakin berdenyut, terutama dari UMKM kuliner. Mereka harus diprioritaskan sebagai pemasok buka puasa bersama seperti ini. Bukan katering premium atau restoran hotel berbintang.

Tempat buka puasa pun bisa dipilih di lokasi-lokasi publik. Jangan di tempat-tempat yang sudah memiliki citra sebagai lokasi mahal. Dengan melibatkan UMKM kuliner, bisa dipastikan satu paket boks makanan yang “4 Sehat 5 Sempurna” harganya masih jauh lebih murah dibandingkan secangkir kopi atau tajil eksklusif yang dikhawatirkan Presiden.

Mumpung baru hari pertama Ramadan, seandainya tulisan ini sampai dibaca Menseskab bahkan oleh Presiden Joko Widodo, masih cukup ada waktu untuk mengoreksi surat edaran yang sudah telanjur menjadi kontroversi, dan merevisinya dengan surat edaran baru yang menganjurkan setiap Menteri Kabinet dan seterusnya itu untuk mengadakan sebuah buka puasa bersama yang melibatkan sebanyak mungkin kalangan masyarakat agar mendapatkan sebesar-besar maslahat dan manfaat di bulan suci dan penuh keberkahan ini. Dengan mengubah sedikit cara pandang tentang buka puasa bersama.

Cibubur, 1 Ramadan 1444 H/
23 Maret 2023

*Sosiolog, penulis 25 judul buku. Penerima penghargaan SATUPENA National Writer’s Award 2021 dan Anugerah Sastra Andalas 2022.

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.