“Ketika hidup ini berorientasi demi kebanggaan semata, kita bakal jatuh oleh kesombongan sendiri.” •red-joss
Seberapa besar arti kebanggaan itu bagi kita, baik yang berupa kekayaan, jabatan, prestasi, talenta, atau bagi yang membanggakan anggota keluarga…?
Jika kebanggaan itu lebih dominan dibandingkan tujuan hidup kita, semoga kita tidak disesatkan oleh kebanggaan itu sendiri, sehingga menjauhi Allah Yang Mahapemberi.
Coba lihat postingan di medsos. Kebanggaan bertebaran, berseliweran, dan berkejaran tiada henti memenuhi jagad maya.
Berjuta orang narsis mengiklankan diri. Yang ganteng/cantik, pamer uang, kemewahan, makan enak, wisata dunia, dan seterusnya. Apakah salah?
Oo, tak ada yang salah.
Lebih bijak, jika kita bertanya pada diri sendiri, niat dan motivasi postingan itu. Lalu kita renungkan dengan kejernihan hati agar tujuan postingan kita terarah dan bermanfaat untuk orang lain.
Bersyukur dan berbahagialah kita yang mengalami perubahan zaman digitalisasi. Dunia berasa dalam genggaman. Dan arus informasi bagai udara yang kita hirup.
Perubahan zaman yang gegap gempita itu hendaknya disikapi dengan bijak agar kita tidak tersesat dan lupa diri pada Yang Ilahi.
Saatnya kita memfilter hati agar tidak terkontaminasi.
Zaman digitalisasi itu membuka cakrawala pengetahuan, memendekkan jarak, mendekatkan hubungan, dan semakin memudahkan kita berkomunikasi. Bersilaturahmi.
Kita online dengan dunia.
Untuk belajar, bekerja, belanja, berwisata, berbisnis, dan … semua menjadi serba sederhana, mudah, dan efisien.
Kemudahan demi kemudahan yang membuat kita sering terlena dalam kenyamanan.
Ketika sibuk dengan diri sendiri, kita kehilangan rasa peduli dan empati. Kita mengungkung diri menjadi sombong dan egoistis.
Hidup kita adalah pusat perhatian yang harus dibagikan agar orang melihat segala tetek bengek aktivitas kita dan mengaguminya.
Baperan dan kebanggaan yang berlebihan membuat kita tidak mau kehilangan gengsi untuk berlomba dengan kesombongan. Kita harus lebih hebat, dibandingkan orang lain.
Padahal kesombongan itu awal dari kehancuran.
Ketika orang tidak merespon atau menanggapi kehebatan kita, kita menjadi kecewa. Ketidak-ikhlasan membuat kita mudah iri, sakit hati, dan benci.
Sebaliknya, sikap yang rendah hati itu tak mau membanggakan diri sendiri. Bangga itu sewajarnya. Sebab kebanggaan sejati itu milik Allah. Sehebat, sepintar, dan sekaya apapun kita, semua itu karena anugerah dan kemurahan Allah. (MR)