Bukan Urusan Mereka

“Gimana sih, lelaki itu? Mereka mencari apa?”
tanya Meta, seorang perempuan yang ‘baru’ menjanda 5 tahun. Dan 2 tahun belakangan pacaran dengan duda. Masing-masing punya anak 3.

Aku, karena bukan lelaki, jelas nggak bisa menjawab apa yang dicari lelaki. Maka aku mendengarkan saja curhatannya lewat telpon, di kala itu. Saat itu, sekitar 4 tahun yang lalu.

Aku sih, kalau ada di posisi dia, nggak akan penasaran mengapa lelaki itu tak kunjung melamar. Padahal hubungan mereka baik saja, dan anak-anak pun sudah saling mengenal.

Karena aku percaya pada proses

Dalam hidup ini, yang berproses itu bukan cuma kita. Tapi juga orang lain. Berkelindan dengan proses aku dan kamu, juga ada proses dia dan mereka…. Maka, seluruh kehidupan juga berproses, menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada semua individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Dinamikanya kompleks.

Mungkin saja hubungan mereka baik. Tapi calon mertua masih rewel atas perceraian anaknya bertahun lalu. Belum bisa move on. Masih sayang pada mantan menantu dan besan.

Mungkin saja hubungan anak-anak rukun, tapi mantan istri yang tidak mandiri secara finansial, cukup menyulitkan seorang lelaki untuk menjadi bapak bagi 6 anak (kalau ketambahan anak tiri 3 orang, kan jadi 6 yak?). Plus ada mantan suami yang sesekali menteror, berusaha mempengaruhi anak-anak.

Rejeki berproses.
Peluang-peluang datang dan pergi.
Kesehatan dan sakit silih berganti.
Situasi perasaan dan kondisi lingkungan berubah.
Itu semua mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.


“Aku putus dari Fajar.” lapornya, beberapa bulan kemudian.

“Oh….” jawabku.

“Biar kapok! Jadi orang nggak jelas sih! Memangnya dia pikir aku ini perempuan apaan? Digantung terus….”

“Lho kok perempuan apaan? Kamu adalah perempuan yang ingin dinikahi. Makanya kamu marah karena digantung… Kalau kamu nggak butuh menikah, sikapmu akan senang, malah. Nggak dikejar-kejar lamaran.” jawabku berusaha membuatnya melek : masalah selalu muncul jika kita menginginkan hal yang ada di luar kuasa kita, untuk terjadi sesuai kehendak kita .

Kami berdiskusi panjang malam itu, dan kesimpulan akhirnya, Meta, kawanku itu memutuskan untuk membangun bahagianya sendiri.

Dia daftar ke Gym, kursus make up, ikut perkumpulan sepeda… disela menekuni karirnya. Dan sampai beberapa bulan kemudian, nampak bahagia.


“Aku punya pacar baru…! Yudha, Direktur PT Anu, tapi suami orang. Gimana menurutmu?”

“Kamu mau serius sama hubungan itu?”

“Nggak laaah… Buat seks aja.”

“Oh… gitu. Bawa diri yang pinter aja. Nggak worth it lah kalau sampai ketahuan dan ribut, untuk sebuah hubungan yang kepentingannya cuma seks doang…”

“Tenang… I know what I’m doing.

“Oke deh…”


“Aku putus dari Yudha. Orangnya nyepelein banget… Ngegampangin kalau bikin janji.”

“Ooo gitu, ceritanya…?”

“Iya. Aku bikin kesalahan lagi ya, ternyata. Cuma buat main-main aja, masih salah pilih orang…”

“Ya nggak papa. Membuat kesalahan adalah salah satu metode belajar kok. Ambil hikmahnya aja…”

“Kamu itu emang nggak suka ngejudge ya? Katain aku lonte kek.”

“Lha kamu bukan lonte…”

“Tapi kan aku nakal.”

“Ooo…? Menurutmu, kamu itu nakal? Menurutku, kamu itu sedang mengeksplorasi keperempuanan dan seksualitasmu. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan suamimu dulu…. hehehe…”

“Suami yang toksik, sakit jiwa…!”

“Yaaah apapun lah istilahnya….Pokoknya nggak kompatibel denganmu.”


“Aku lagi deket sama seseorang. Prasetyo. Broker sahamku….”

“Oh… hehehe baru lagi?”

“Iya. Bujangan. 8 tahun lebih muda dariku.”

“Owwww….”

“Kenapa oww?”

“Nggak papa hahahaha… Enjoy the moment.” ujarku.

“Aku jatuh cinta, Naaaa…. Please be happy for meeee…”

“Iya pastilah. I’m happy for youuuuu…! And wish you a lot of luck and happiness…”


Satu setengah tahun kemudian…

“Na…”

“Oy…”

“Aku balikan sama Fajar. Sudah satu tahun ini. Nggak berani cerita sama kamu, aku nunggu manteb dulu…”

“Oh, gitu. Jadi sekarang sudah manteb?”

“Kayaknya kami ini berjodoh. Kamu tahu, selama aku jalan dengan Yudha dan Prasetyo, kami tetap nggak bisa melupakan. Kami itu maksudnya Fajar dan aku.”

“I see…”

“Kok bisa ya Na, aku baru melihat jelas semuanya sekarang ini. Bahwa ada lho jodoh tapi nggak menikah itu….”

“Apa yang kamu lihat?”

“Ya, gini… Kalau aku dan Fajar menikah… aku bisa melihat bahwa urusannya kok bakal rumit. Blending family antara anak-anakku dan anak-anak dia, bakal bikin ruwet. Pola asuh mantan istrinya Fajar, beda banget dengan pola asuhku ke anak-anak. Belum lagi urusan nafkah. Kok rasanya demanding banget kalau aku ngarep Fajar menjadi bread winner.”

Meta masih membeberkan banyak kesadaran lainnya. Bahwa dia dan Fajar, masing-masing memiliki kehidupan personal yang memuaskan. Lingkaran pertemanan mereka berbeda… hobby mereka juga berbeda. Meta senang ngebolang dan ngegowes, Fajar senang di rumah atau memancing ke tengah laut.

“Aku sekarang nggak butuh apa-apa… Nggak butuh dianggap suci, baik, atau apalah. Nggak pusing sama apa kata orang, makanya kami memutuskan pacaran terus. Fajar tinggal di apartemennya, aku tinggal di rumahku sama anak-anak. Sesekali kami menginap di apartemen Fajar kalau anak-anak Fajar ada jadwal nginep di sana juga… Jadi kami berdelapan, seru weekend-an…”

“I see…”

“Enak ternyata. Punya hubungan yang nggak
dibebani ekspektasi. Aku nggak perlu mendidik anak-anaknya Fajar. Kami bisa ngumpul komplit berdelapan di saat liburan…! Semua serba dibawa asik. Aku nggak perlu ngatur atau mendidik anak-anaknya. Ada emaknya. Biar emaknya aja yang ngajarin. Hahaha…”

“Hahahaha… Iyalah. Jadi teman liburan dan sahabat bagi anak-anak itu jauh lebih menyenangkan daripada jadi ibu tiri.”

“Bener…! Fokus hidupku adalah membangun diriku, menciptakan diriku. Anak-anakku, Fajar dan anak-anaknya adalah pelengkap
hidupku, mereka adalah prioritasku. Tapi bukan pusat orbit hidupku.”

Aku sudah menyangka, Meta akan sampai di kesadaran ini : jika dia sudah berproses menjadi individu yang utuh, dia tahu dimana misi hidupnya terletak : pembelajaran jiwa.

“Aku juga sudah nggak berusaha menghindari hujatan masyarakat… Nggak pusing. Kami yang tahu sikon kami. Kami yang menjalani hidup kami. Begini ini lah, cara yang paling cocok. Setidaknya, sampai saat ini ya.”

Hmm… ini juga sebuah keniscayaan. Seseorang yang telah mencapai kemandirian bersikap, biasanya memang tidak dibimbangkan oleh apa kata orang.

“Aku nggak mikir soal dosa…”

“Lho memangnya dosa apa?”

“Kan kami nggak nikah.”

“Aaah urusan itu biar jadi haknya Tuhan sajalah. Bagiku, ikatan antara dua manusia itu, keluhurannya terletak pada komitmen, cinta, kesetiaan dan tanggung jawab. Bukan pada pesta adat atau seremoni. Aku yakin Tuhan tidak buta, maka akan mampu melihat hati kalian.”

“Iya ya Na. Lagian masyarakat dirugikan apa sih oleh kami, ya Na?”

“Masyarakat itu siapamu sih? Kamu kan bukan pemuka agama. Bukan tokoh penegak moral. Kamu nggak punya kewajiban sosial yang khusus di aspek relationship ini. Hidupmu adalah urusanmu; bukan urusan mereka…!”

“Eh iya juga ya. Aku ini, artis juga bukan! Hahaha..”

“Menurutku sih, jalani saja proses hidupmu. Suatu hari juga akan sampai pada ujungnya… dan di situlah kita semua baru bisa mengambil kesimpulan. Eh, maksudku, KAMU yang mengambil kesimpulan. Cuma kamu yang bisa mengerti jalan hidupmu. Orang lain kita suruh mikirin hidupnya sendiri-sendiri aja… Wong semua orang punya tantangan dan pembelajarannya sendiri, terus masih pada kedodoran menghadapinya kok…”

“Hahahaha bener, bener Na..!”

Nana Padmosaputro

Terjemahan Quote :
Beberapa orang di sekitarmu tidak akan memahami perjalanan hidupmu. Biarkan saja. Mereka memang nggak wajib paham, karena jalan hidupmu bukan untuk mereka.

Avatar photo

About Nana Padmosaputro

Penulis, Professional Life Coach, Konsultan Tarot, Co.Founder L.I.K.E Indonesia, Penyiar Radio RPK, 96,3 FM.