(Serial Bangga Aku Jadi Bangsa Indonesia)
Seide.id – Lima dasawarsa terakhir, dunia menggiring anak pergi sekolah supaya kaya. Supaya menjadi mesin pencetak uang. Semua memilih jurusan basah, yang cepat menghasilkan. Kalau ditanya sudah besar mau jadi apa, hampir semua anak jawabnya stereotipik, kalau bukan jadi insinyur, tentu jadi dokter. Dari situ sekarang berkembang kehidupan hedonism. Hidup mengejar uang tanpa henti. Semua diukur dengan uang. Padahal uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga untuk menukarnya dengan makna hidup. Ivan Illich, filsuf modern, tahun 70-an menyanggah perlu bersekolah. Ia membangun komunitas deschooling society. Buat apa sekolah.
Orientasi sekolah supaya kaya kini wabah di mana-mana negara kapitalis dan industri. Tak pelak juga di kita. Uang jadi panglima. Orang dihargai karena uang. Status terangkat tinggi berkat uang. Banyak teman, banyak yang memuji, karena uang. Lupa kalau itu tidak abadi. Mengandalkan cuma uang, hidup menjadi “sekali berarti sesudah itu mati”, kata Chairil Anwar yang hidupnya tidak punya uang.
Bisa dimaklumi kalau kebanyakan calon mertua tidak memilih calon menantu yang tidak punya uang. Asal bukan seniman, apalagi penyair. Hidup tak cukup makan cinta. Hanya apabila cinta betul 24 karat, istri mungkin bisa dibawa hidup susah. Lebih banyak istri yang memilih suami punya uang. Sebagian wanita bisa beranggapan kawin tanpa cinta bukan masalah. Kan hidup itu pilihan. Mereka lupa uang tak bisa membeli kebahagiaan.
Orang banyak uang, sekaya apapun, sesudah mati, lalu selesai. Orang-orang lalu sudah melupakannya. Juga para kerabat dan sahabat, tak mengingatnya lagi. Kekayaan bisa membuat iklan satu halaman koran, bikin nisan dengan huruf besar-besar, dan pemakaman mewah dan indah. Tapi semua itu bukan untuk bisa diingat orang. Belum tentu juga bisa terus diingat keluarga, apalagi kalau semasa hidup waktu habis untuk mengejar uang, lupa meja makan rumah duduk bersama. Mungkin punya nama besar, tapi orang belum tentu melihatnya sebagai orang besar. Hanya bila menjadi orang besar, orang-orang mengenangnya lebih abadi. Kehidupan menjadi tak meninggalkan nisan untuk dikenang, seperti sekarang kita masih mengenang Chairil Anwar yang tidak kaya itu.
Hidup yang mulia itu hidup yang memberi makna. Itulah hidup yang selaiknya dipilih. Hidup untuk menjadi insinyur kepribadian karena pilihan hidup yang ugahari, hidup yang bersahaja, yang punya arti buat orang lain, disukai, dikagumi, didoakan, dan membuat orang bisa merasa kehilangan. Selain itu juga memilih hidup menjadi profesor kebahagiaan, yang terus mengejar kebahagiaan hidup, supaya kelak di ujung hayat bisa meraih Oscar Kehidupan.
Hanya bila hidup yang menjadi berkat bagi semua orang, yang masih bisa orang kenang, seindah mengenang komponis Bach, Beethoven, Amadeus, Chopin, atau Meddelsohn yang saking indahnya kompisisi musiknya seakan diturunkan dari langit. Kelahiran komposer klasik tidak lahir setiap tahun. Satu abad hanya lahir 4-5 komposer. Mereka yang orang kenang sampai sekarang, sudah lebih tiga abad lamanya. Dan itulah hidup yang berarti, hidup yang punya makna.
Orang-orang berkarya dalam kesenian yang meninggalkan nisan yang orang kenang. Jadi bukan kekayaan, banyak hartam dan kuasa, melainkan karya yang membuat orang tersentuh. Karya yang membuat orang berbahagia. Semua ungkapan kebenaran dalam berkesenian. Kebenaran untuk semua orang, segala zaman, dan di segala tempat, yang selain memperkaya batin orang-orang, juga sentuhan yang selalu akan orang kenang.
Hidup perlu berkarya, tak cukup mengandalkan uang semata. Berkarya membuat orang lain berbahagia. Membuat orang lain terbantu. Membuat orang lain senang. Seniman meninggalkan karyaseninya. Penyair meninggalkan syairnya. Pelukis meninggalkan lukisannya. Perupa meninggal karya patungnya. Kalau semua karya yang kita gubah menggugah rasa, menyentuh batin, itu juga kenangan buat semua orang. Makin menyentuh karya digubah, makin banyak orang kenang, makin selamanya dikenang. Maka hidup bukan lagi sekali berarti sesudah itu mati. Kematian yang masih menyisakan arti, karena mennggalkan nisan kenangan, tanpa harus banyak uang.
Salam berkarya dalam hidup,
Dr Handrawan Nadesul
Anda Tidak Perlu Terserang Stroke: Lebih Mudah dan Lebih Murah Dicegah Ketimbang Diobati