Buku ini sangat utuh, bicara hanya soal darah dari hulu hingga hilir. Kalimat demi kalimat, atau kata yang digunakan merupakan kata sehari-hari yang digunakan orang seorang. Namun menjadi luas artinya saat Rayni menyadikannya sebentuk aksara/puisi. Barangkali tak sepenuhnya kita fahami maknanya, tapi tetap bisa kita rasakan keindahan nilai-nilai puitika di dalamnya.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 03/07/2023 – Buku apa ini? Ditulis sebagaimana umumnya orang menulis puisi. Barbaris-baris, berlarik-larik, dengan tiap satuan larik (atau kumpulan larik) ditandai kata ‘darah’ sebagai tajuk, yang diberi nomor urut 1 sampai dengan nomor 65, berkesinambungan mirip sebentuk prosa lirik. Yang menarik, nyaris tiap larik (atau kumpulan larik) diimbuhi sketsa yang coba memgambarkan apa yang tertulis.
Rayni N. Massardi (65tahun) menyebut apa yang ditulisnya itu sebagai ‘aksara’, yang dibukukan dengan kolaborasi sketsa karya Christyan AS. (33 tahun yang berpendidikan seni rupa dari Universitas Negeri Malang (S1) dan S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dari Universitas Gajah Mada, berkarya di bidang multidisiplis seni:seni rupa, performance art, aktor, penulis lagu, dan sebagainya.
Rayni sendiri selama ini dikenal sebagai cerpenis dan novelis penghasil belasan buah buku, termasuk buku-buku non-fiksi semisal Inspirasi Mode Indonesia (2003) yang ditulisnya bersama tim. Buku “darah” Kolaborasi Aksara Rayni N Massardi Sketsa Christyan AS merupakan buku ke-19 yang ditulisnya.
Saya fahami kata ‘sketsa’ sebagai sebentuk gambar, bagian dari aktivitas lukis-melukis. Sementara aksara itu merupakan sebentuk gambar punya arti, huruf, yang bisa saja terangkai dalam bentuk kata atau kalimat, atau sastra iisan yang sudah dituliskan. Dengan kata lain, ini buku berisi setumpuk tulisan yang diimbuhi sketsa, tanpa duo kolaboratornya berpretensi disebut karya sastra ataupun karya senirupa.
Tapi jika kata ‘aksara’ bisa ditafsirkan sebagai ‘puisi’, inilah pertama kalinya Rayni nulis buku puisi. Sesuai tajuk utamanya, seluruh isi buku ini bicara soal ‘darah’. Tak cuma darah merah sebagaimana mengalir menghidupi tubuh Rayni dan Christyan, tapi juga darah dalam berbagai pengertian, dan darah sebagai dasar sifat ilahiyah dalam menggerakkan, menghidupkan aktivitas suatu yang disebut: mahluk.
Horor. Itu kesan saya atas buku ini. Bukan cuma karena bertajuk “darah”, tapi juga karena sketsa pada cover karya Christyan yang menggambarkan dua sosok wajah yang saling bertaut. Matanya putih bolong, cuma tiga biji, dengan dua mulut menyeringai sinis, rambut awut-awutan di latar hijau mirip kebun, sedang kedua tangannya terbuka memperlihatkan gumpal-gumpal darah. Mirip poster film horor
Mengapa darah? Di awal buku, sebagai pengantar, Rayni, kreator aksara, cuma bilang: Kamu hidup darahmu mengalir dengan baik / Berterima kasih kepada darah / Cintailah darahmu / Hormati darahmu / Berikan darahmu / Jangan buang percuma / Darahmu.
Sementara Christyan, kreator sketsa, bilang: Lengkapi sekeliling hidupmu / Dengan kekuatan rasa / Lelah kata tatap coretan darah / Meluluhkan dunia / Banyak gambar pada buku ini / Menuntun Aksara / Mengalir bersama darah / Darah ada kamu hidup / Bersimbah darah / Tanda kamu mati.
Darah juga bisa diungkap jadi aksara (atau puisi) satir sepertiditulis Rayni dalam “darah – 55” ini: Aku masih kekasihmu? / Selalu kau katakan: / “Belah dada ini / Maka akan terbaca namamu” / Kuambil pisau / Penuh Harap / Kubelah dadamu / Darah memancar / Darah berkubang / Memenuhi rongga tubuhmu / Tak ada tertulis namaku / Kamu berbohong.
Dimuat pada halaman bergandengan dengan “darah – 54”, Christyan mengimbuhinya dengan sketsa berupa sapuan warna hitam (karena isi buku hitam-putih) yang bisa jadi sebagai gambaran ceceran darah. Yang menarik, di sudut kanan bawah sketsa tersebut tampak seekor serangga (semut atau laron? Entahlah) merayap seperti hendak melalap ‘darah’ agar habis tak bersisa.
Ihwal sketsa-sketsa Christyan (yang benar menyatu menyatu dengan aksara atau puisi yang ditulis Rayni) pada buku ini, nyaris selalu ada imbuhan sosok serangga atau insectaria, mahluk dengan tubuh tiga kolon dan berkaki enam. Entah itu semut, laron, lebah, kupu-kupu dan lainnya, ataupun larva dan pupa mereka, menambah situasi wingit aksara/puisi yang diungkap Rayni yang kesemuanya menyebut: darah.
Buku ini sangat utuh, bicara hanya soal darah dari hulu hingga hilir. Kalimat demi kalimat, atau kata yang digunakan merupakan kata sehari-hari yang digunakan orang seorang. Namun menjadi luas artinya saat Rayni menyadikannya sebentuk aksara/puisi. Barangkali tak sepenuhnya kita fahami maknanya, tapi tetap bisa kita rasakan keindahan nilai-nilai puitika di dalamnya.
Saya suka “darah – 65” yang sekaligus merupakan aksara/puisi pamungkas buku yang ditulis dan diimbuhi Rayni dengan penanda waktu, Bintaro, 30 September 2023. Sebenuk aksara/puisi dua baris, singkat, pada, tapi penuh makna untuk dikaji, ditelaah, ditebak-tebak, taupun didiskusikan maknanya. Dengarlah: Jangan jauh dariku / Siapa yang akan membasuh darahku
Mengapa si aku lirik (Rayni N. Massardi) meminta sosok imajiner tersebut untuk tidak menjauh darinya? Ada kejadian apa dan situasi apa yang menekan hingga dia memohon seperti itu? Ada apa pula dengan darah yang mengalir (atau tersisa) di tubuhnya? Mengapa harus dibasuh, dan siapa iu yang diharapkan bisa membasuh darahnya? Aksara/puisi kontemplatif, sebagaimana darah-darah lainnya. ***
SEIDE 03/07/2023 PK 22:23 WIB.