CERPEN oleh BELINDA GUNAWAN
Aku terjaga. Otomatis tanganku terjulur ke nakas mencari kacamataku. Hmmm, lumayan bisa melihat jam dinding, walaupun samar-samar. Oh, sudah pukul enam, saatnya bangun. Bertumpu kedua siku aku bangkit pelan-pelan, duduk sekitar tiga menit, lalu menurunkan kedua tungkai ke samping dipanku. Tunggu lagi tiga menit, lalu pelan-pelan berdiri. Slow motion.
Di luar sana kudengar kesibukan. Anakku Elin menyiapkan sarapan sambil memanggil anak-anaknya. Rupanya hari ini hari sekolah, hari kerja buat mantuku. Kurasa dia sudah duduk di tempatnya yang biasa, siap berdasi dan menunggu anak-anaknya untuk bareng ke sekolah. Ortu yang baik. Tapi Elin ortu yang lebih baik lagi.
Pelan-pelan, menggapai perabotan di kamarku, aku keluar. Pintuku tak pernah kukunci sesuai pesan anakku. Begitu aku membuka handelnya, ia menengok. “Eh, Mama sudah bangun. Bentar ya…”
Aku menunjuk ke meja makan, memberi isyarat bahwa aku cukup kuat melangkah ke sana dan tidak perlu sarapan di kamar. Anak-anak lalu muncul dari kamar masing-masing, rambut basah awut-awutan. Cucu-cucu yang baik. Entah kelas berapa mereka sekarang. Tapi kulihat yang besar sudah sejangkung mamanya.
Elin menyediakan roti dan susu buat mereka. “Dihabiskan ya, nanti keburu lapar sebelum waktu istirahat,” katanya. Diberinya mereka masing-masing bekal makan siang dalam tupperware.
“Ya, mamamu sudah cape-cape membuatnya,” imbuhku. Kadang aku lebih kasihan pada anakku daripada cucuku. Entah itu normal atau tidak. Anak bungsuku itu kulahirkan ketika usiaku 45 tahun. Naa komertje, kata orang Belanda. Hatiku selalu lembek padanya. Apalagi sekarang, setelah kakak-kakaknya mencari kehidupan di tempat-tempat yang jauh, dia yang “ketempuhan” merawat aku.
“Eh, Oma.” “Omaaaa.” “Oma baik?”
Tuh kan, cucu-cucuku juga manis? Mereka dibesarkan oleh ibu yang baik dan penuh kasih.
Anakku mengambil sisir dan merapikan rambut anaknya yang bungsu. Yang dua lainnya menyisir rambut sambil mengunyah sarapan. Mantuku sudah keluar memanaskan mobil.
“Eh, tuh kan, aku lupa bubur Mama,” mendadak Elin bilang. “Bentar ya Ma.”
“Gapapa. Urus anakmu dulu. Siapa namamu?” tanyaku pada yang paling kecil.
“Ella, Oma.” “Aku Kevin.” “Aku Sandra.”
Ketiganya mengikik kecil lalu menyambar tas dan bergegas ke garasi. “Bye Oma.”
“Pergi dulu ya Ma,” mantuku nongol dari pintu menuju garasi.
“Hati-hati.”
Anakku duduk di sisiku. “Sekarang Mama makan, ya?”
Dengan tangan gemetar kusendok buburku. Panasnya pas. Buburku sedikit berceceran tapi ia tidak melihatnya. Elin sudah sibuk melakukan rutinitas paginya. Ada ART, tapi hanya untuk beberapa jam. Tidak semua bisa didelegasikan kepadanya. Apalagi Elin bekerja lepasan di rumah, di komputernya, entah apa.
Sebentar kemudian ia sudah balik lagi di sisiku. “Mama sudah selesai? Yuk, mandi?”
Mungkin karena usiaku, osteo arthritisku, dan berbagai kondisiku lainnya, aku sadar aku sudah menjadi beban bagi anakku, sampai-sampai ia memutuskan berhenti bekerja di kantor. Tapi ia mengatakan padaku, “Dulu Mama membesarkan tiga anak tanpa mengeluh. Sekarang giliranku merawat Mama seorang.”
Aku pun pasrah ia mengguyur tubuhku pelan-pelan dengan air hangat dari ember, lalu mengelapnya, sebab mandi shower membuat badanku bergidik dan gemetar. Lalu setelah aku segar kembali, ia mengantarku duduk di depan televisi, menonton Da’ai.
Sesungguhnya mataku sudah tidak terlalu awas lagi sehingga menonton teve tidak terlalu menghiburku lagi, tapi biarlah anakku tidak mengetahuinya. Nanti ia repot membawaku ke spesialis mata, padahal menurunnya penglihatan adalah salah satu konsekuensi usia lanjut.
Bukan cuma mata, hampir seluruh inderaku sudah menurun fungsinya, termasuk indera pengecap. Aku yakin anakkku memasak hidangan yang enak-enak, tapi di lidahku terasa hambar.
Hanya satu inderaku yang masih awas.
**
“Kamu masak apa?” tanyaku.
Anakku mendekat, padahal dia bicara dari dapur pun aku bisa mendengarnya. Puji Tuhan, sekalipun indera-inderaku yang lain sudah berkurang fungsinya, pendengaranku masih tajam.
“Lontong cap go meh, Ma.”
“Sudah cap go? Berarti ntar malam bulan penuh.” Sedari kecil aku suka melihat bulan. Di situ ada gambar kelinci dengan dua telinganya yang tegak.
“Mama doyan, kan?”
“Doyan. Kamu pinter ya, bisa masak lontong cap go meh.”
“Anak siapa dulu?”
Hari itu berjalan biasa. Lamban. Kebiasaan orang seusiaku: pagi menunggu malam, malam menunggu pagi. Tapi aku tidak mengeluh. Hidupku relatif nyaman. Ada gangguan kesehatan sedikit-sedikit, tapi itu kan lumrah? Seumpama mobil, mungkin aku sudah harus turun mesin.
Pukul tiga cucu-cucuku pulang dari sekolah. Aku heran pelajaran apa saja yang diberikan kepada mereka. Dulu sewaktu aku SR, sepulang sekolah aku masih punya banyak waktu untuk bermain petak-umpet, taplak, ular naga, dengan anak-anak tetangga. Sekarang sepulang sekolah cucu-cucuku tekun menatap ponsel.
Malam itu setelah makan malam, aku masuk kamar. Sempat tertidur sejenak, lalu terbangun lagi. Teringat aku, malam ini bulan purnama. Pelan-pelan aku bergerak ke teras belakang. Di situ ada sepetak kebun, dan kalau beruntung, aku bisa melihat bulan. Jendela kamar anakku separuh terbuka, tapi tidak apa-apa sebab di baliknya ada kawat nyamuk. Mungkin malam ini cukup sejuk sehingga mereka tidak menyalakan AC.
Oh, bulannya ada, seperti menunggu aku. Entah nanti kalau kavling di belakang sudah dibangun sampai tinggi. Aku menatapnya puas-puas, lampu putih-bulat-sempurna buatan Tuhan di langit yang kelam.
Tanpa sengaja aku mendengar suara anakku, “Jangan ah, kasihan Mama.”
Lalu suaminya menjawab, “Kurasa Mama akan senang. Ada banyak lansia sebaya. Mama bisa bergaul dengan mereka. Ada acara-acara, ada pemeriksaan kesehatan berkala.”
“Tapi Mama sukanya di sini, bersama kita.”
“Aku sih pergi pagi pulang malam, tidak terlibat urusan Mama. Aku justru kasihan kamu. Repot sepanjang hari, sampai tidak punya sisa waktu buat diri sendiri.”
“Memangnya aku pernah mengeluh?”
“Tidak juga. Tapi aku tahu. Kamu repot terus, mana mungkin tidak lelah? Ngurus anak, ngurus Mama, masak, mencuci, belum lagi pekerjaan lepasanmu itu.”
“Aku rela kok. Mama suka di sini. Lagian Mama bukan orang yang suka taichi rame-rame, kumpul di ruang umum setiap malam, berdiskusi, diajak main seperti anak TK.”
“Nggak segitunyalah. Lagipula ini baru wacana, belum fixed. Kamu pikirkanlah sekali lagi. Menurutku kita bisa coba. Siapa tahu Mama betah. Kita akan sering-sering berkunjung.”
“Tapi Mama akan kesepian di tengah keramaian. Aku yakin panti jompo bukan tempat yang cocok untuk Mama.”
Walaupun aku sudah menduga arah pembicaraan mereka, mendengar kata “panti jompo” tetap saja hatiku mencelos. Tanpa bisa kutahan, tahu-tahu aku terbatuk.
“Mama?” anakku bergegas keluar. “Kok malam-malam ada di sini? Nanti masuk angin, Ma.”
Setelah reda kaget dan batukku aku menjawab, “Mama hanya mau lihat bulan cap go.” Aku lalu pasrah dituntun kembali ke kamarku.
Kurasa anakku tidak tahu pasti, apakah aku tadi mendengar diskusi mereka. Ia selalu mengira aku kurang dengar. Tapi mungkin ia ragu juga. Buktinya, ketika aku sudah aman berbaring di dipanku, tahu-tahu ia membungkuk di sisiku, memelukku, mencium pipiku, dan berkata, “Ma, sampai kapan pun kita akan selalu bersama.”
“Ah, kamu ngomong apa sih?” jawabku menghalau keraguannya. Selamanya tidak akan kuberitahu bahwa aku tahu soal rencana itu. Kasihan anakku, hatinya terbelah dua.