Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir dan Buku bukunya

Oleh DIMAS SURPIYANTO

MESKIPUN Bung Karno suka membaca, dan dia dikagumi rakyat dan bangsa bangsa di dunia — karena pengetahuannya luas dan bacaannya banyak, juga menguasai banyak bahasa —  tak urung dia meledek juga kepada Bung Hatta, konco seperjuangan,   yang juga dikenal sebagai kutu buku.  Bahkan BK membikin anekdot tentang Bung Hatta dan bukunya.

Katanya, jika ada bus berisi dua penumpang dan di sana ada wanita cantik, apa yang dilakukan Bung Hatta? Jawabnya, tetap tekun membaca buku!

‘Santuy,‘ kata ABG sekarang.

Dua proklamator kita memang bertolak belakang dalam banyak hal. Kecuali dalam urusan buku.  Sama sama disiplin membaca buku. Kita tahu pandangan mata Bung Karno tak pernah lepas dari pesona wanita. Dia jatuh cinta dan menikah berkali kali dan takluk pada wanita. Tapi tidak dengan Bung Hatta. Proklamator kita hanya menikah sekali hingga akhirnya,  berpembawaan tenang itu selebihnya, tekun membaca buku!

Menurut  Ibu Rahmi Hatta, isteri Proklamator yang mendampingi hingga akhir hayat, sang suami tercinta sebenarnya “punya tiga istri yang sangat dicintainya”. Diungkapkan, isteri pertama adalah tikar / sajadah sembahyangnya, isteri kedua adalah buku bukunya, sedangkan isteri ketiganya Ibu Rahmi Hatta.

Selain berpolitik, Bung Hatta merupakan sosok yang begitu lekat dalam dunia literasi. Semasa aktif dalam organisasi PI, beliau menulis di berbagai surat kabar diantaranya, Hindia Poetra, Neratja, Surat Kabar-PNI baru, dan Daoelat Ra’jat. Karya-karya Bung Hatta dalam bentuk buku berjumlah kurang lebih 69 judul. Bung Hatta juga menguasai beberapa bahasa asing seperti, Inggris, Jerman, Belanda, dan Perancis.

Kalau ada kontes duta buku diantara para tokoh pejuang kemerdekaan kita, Mohammad Hatta jelas juaranya.

Bung Sjahrir – Bung Karno – Bung Hatta – Sama sama pejuang, intelektual dan kuat membaca.

Tradisi membaca sejak belia juga dilakoni oleh Sutan Sjahrir.  Tokoh yang dijuluki ‘Bung Kecil’ ini  adalah perdana menteri pertama sekaligus aktor penting Perundingan Linggarjati. la juga berhasil memunculkan politik luar negeri yang dikenal sebagai politik diplomasi yang berhasil membawa Indonesia sejajardengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Ratusan buku berbahasa belanda dilahapnya sejak masih kanak kanak dan remaja di Medan, sehingga dengan mudah dia beradaptasi ketika kuliah di Belanda.  

Tahun 1930 dia sudah kuliah di Leiden, Belanda mengambil jurusan hukum adat. Setelah balik ke Tanah Air dia menjadi tokoh pergerakan, bersama Bung Hatta dan Bung Karno, juga mengalami pengasingan dan pembuangan ke Banda Neira

Bung Karno suka membaca. Tak diragukan lagi. Mantan menteri dan orang kepercayaannya, Oei Tjoe Tat, yang sering di ajak ke kamar tidurnya di Istana Negara berantakan dengan buku-buku yang bertebaran di sana sini. Tak terurus. Saat itu Bu Fatmawati sedang “purik” dan memilih tinggal di Kebayoran Baru, Bung Karno menjomblo di istana. Hartini tinggal di Istana Bogor.

November 2020 lalu, Museum Kepresidenan RI, Balai Kitri bekerjasama Historia.id dengan mengusung tajuk ‘Bung Karno dan Buku-Bukunya’. Buku-buku tersebut sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman.  Sebanyak 20 buku pilihan koleksi Presiden Pertama Indonesia, Sukarno dipamerkan secara daring

Sejarawan Bonnie Triyana yang juga menjadi kurator dalam pameran tersebut menduga  buku-buku tersebut dibaca Bung Karno secara langsung dari bahasa aslinya saat ia berada di pengasingan. Dalam paparannya Bonnie juga membocorkan beberapa judul buku koleksi Bung Karno yang dipamerkan, salah satunya berjudul Der Weg Zur Macht (Jalan Menuju Kekuasaan) karya seorang tokoh kiri Jerman, Karl Kautsky yang ditulis dalam font Gothic Jerman. Kemudian ada juga buku Geschiedenis van het Moderne Imperialisme yang ditulis Jan Steffen Bartstra dalam bahasa Belanda.

Menurut Bonnie buku itu punya kesan tersendiri bagi Bung Karno lantaran merupakan pemberian teman-temannya sebelum ia diasingkan. Menurut pemimpin redaksi kanal Historia.id ini, tujuan dari diselenggarakannya pameran buku daring tersebut sejatinya adalah untuk merefleksikan pergulatan intelektual Bung Karno, yang bermula dari kebiasaannya membaca buku.

“Dalam pameran ini kita bisa melihat bagaimana negeri yang sekarang kita tinggali ini bermula, dari sebuah ide yang didapat Bung Karno dari buku-buku yang ia baca,” kata Bonnie.

Turut membuka helatan pameran daring tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim. Dalam sambutannya Nadiem mengajak para pemuda Indonesia untuk meneladani semangat dan kegemaran Bung Karno dalam  membaca buku.

“Sejak usia muda Bung Karno sudah mengenal pemikiran-pemikiran besar pemimpin dunia, maupun pemikiran luhur dari bangsa sendiri melalui membaca buku,” ungkap Nadiem.

Saya amat sangat sedih, karena budaya literasi kita merosot. Padahal para pemimpin kita tekun membaca.  Tan Malaka,  Sutan Sjahrir, Sutan Takdir Alisyahbana,  Agus Salim adalah para kutu buku. Buku buku lah yang memandu mereka memperjuangkan bangsa, dan mereka menjadi suluh bagi bangsa ini. Mereka berjuang sambil membaca. Bahkan ketika Belanda memenjarakan mereka, membung mereka ke pengasingan, yang mereka minta hanya membawa peti-peti penuh berisi buku.

Kemerdekaan RI tidak hanya direbut dengan perang gerilya, melainkan juga dengan diplomasi. Modal diplomasi adalah pengetahuan, dan sumber pengetahuan adalah bacaan.

Setelah penjajah pergi proses mengelola dan mematangkan bangsa juga dengan pengetahuan yang bersumber dari referensi dan bacaan, bahakmana menggali dan menyusun Pancasila, membuat Undang Undang Dasar 1945, dan segala turunannya, semua berbekal dari pengetahuan dan bacaan. Amat mustahil negara bisa menjadi seperti ini tanpa dukungan orang orang yang suka membaca.

Saat dibuang ke Banda Neira, Boven Digul hingga ke Sukabumi, Bung Hatta (1902-1980),   membawa sebanyak 16 peti buku. Demikian pula, meski berasal dari keluarga saudagar yang cukup berada, mas kawin Hatta untuk Rahmi Rachim bukan berupa permata atau uang. Namun sebuah buku tulisannya sendiri, yang berjudul:  Alam Pikiran Yunani.

Kecintaannya pada buku itu yang membuat pahlawan yang lahir pada 12 Agustus 1902 ini produktif dalam menulis. Sepanjang masa pergerakan, pembuangan, hingga ia menjalani masa pensiun sebagai wakil presiden Hatta banyak menulis tema-tema ekonomi, isu sosial politik hingga pendidikan.

Bung Hatta adalah pembelajar sejati. Hampir seluruh masa mudanya diisi dengan ragam bacaan. Putri sulungnya Meutia Hatta, pernah memberi testimoni bahwa Hatta rutin membaca sekitat 6-8 jam sehari.

“Semua bukunya dibaca. Beliau bukan jenis orang yang membeli buku untuk dipajang saja,” ungkap Meutia sebagaimana dikutip BBC. Buku yang paling diminati Hatta adalah buku ekonomi, yang koleksinya meliputi buku tentang ekonomi sosialis, komunis hingga kapitalis dari Belanda sampai Cina.

Pria asal Bukittinggi ini juga menaruh minat baca pada hukum, hubungan internasional, sejarah, biografi, ilmu sosial, kajian Islam dan sastra. “Beliau sangat menghormati Mahatma Gandhi. Ada satu rak untuk menyimpan buku-buku khusus tentang Gandhi,” tambah Meutia.

Namun, jangan mengira Hatta sebagai manusia yang tinggal di menara gading bacaan.

Benar, ia memang terbilang polos dalam pergaulan muda-mudi, terutama dalam hubungan dengan lawan jenis. Tapi soal pergerakan dan aktivitas politik, Hatta adalah seorang ahli strategi yang mumpuni.

Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Hatta masuk organisasi sosial Indische Vereeniging atau (Perhimpunan Indonesia). Tahun 1926, ia menjadi pimpinan lembaga ini dan mengubah fokus perjuangannya dengan semakin memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dan menulis di media massa Nusantara, mereka juga menjalin kerja sama internasional dengan ragam organisasi yang menentang imperialisme.

Aktivitas Perhimpunan Indonesia merupakan salah satu alasan mengapa nama Indonesia secara meluas dikenal di pergaulan internasional. Itu pula yang menggiringnya pada sejumlah penahanan dan pembuangan.

Seorang pembaca buku tak akan dibuang. Bung Hatta dibuang dan dipenjarakan karena dia mewujudkan apa yang diyakininya dari buku. Pergerakan!  Aksi nyata!

Itu yang terbalik di hari ini, para intelektual pembaca buku manteng di menara gading, di kampus, lembaga negara, sebagai PNS dengan segala kenyamanan uang tunjangannya, sedangkan para aktifis lapangan diisi oleh politisi yang tidak suka membaca. Yang tampak adalah ketidak adaban, sebagaimana ditunjukkan Andi Arif, Rachlan Dashidik,  Anissa Pohan, dkk.  Yang lumayan nampak ada kecerdasan diperalat oleh rezim masa lalu, sebagai anjing penyerang seperti filsuf jadi jadian itu. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.