Butet Kartaredjasa dan Ong Hari Wahyu Guru Manajemen Andy Eswe

Bagi seniman, utamanya yang bergelut di panggung teater dan seni pantomim, pergulatan kesenian mereka seringkali juga diwarnai perjuangan menaklukkan masalah ekonomi. Tak terkecuali pada Andy Eswe, yang harus menebus hasrat, intensitas dan konsistensi berkeseniannya dengan konsekuensi tabah menjalani kehidupan pas-pasan. Maklum, apresiasi publik terhadap teater dan pantomim belum atau jauh dari penghargaan masyarakat terhadap bentuk kesenian yang lebih gemerlap seperti film dan sinetron, misalnya. Wajar jika aktor teater dan pantomimer setara Andy Eswe cenderung luput dari publisitas sehingga jarang dikenal dan apalagi meraih popularitas. Toh Andy mengaku beruntung karena bisa tetap intens dan konsisten berkesenian dan perlahan mampu mengatasi masalah ekonominya dengan berbagai upaya, antara lain aktif menjadi pemateri kepenulisan kreatif naskah drama di universitas, sekolah-sekolah dan sanggar seni.  Juga belajar berniaga bikin Toko Kerja Keras yang menjual buku dan prakarya seni di rumah mungilnya di Dusun Tirto, dekat Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Berikut wawancara terakhir dari tiga sesi perbincangan sebelumnya: Andy Eswe: Tokoh Pantomim Berkeringat Cinta dan Gairah Seni Dramawan Pantomimer Andy Eswe.

Adakah pengalaman yang membuat Anda mau tidak mau dan suka tidak suka terpaksa berpikir tentang dunia kesenian di Indonesia?

Ada juga sih. Pernah suatu kali di tahun 2018 saya mewujudkan cita-cita kecil bersama teman-teman para pelaku seni di kota-kota. Tepatnya setelah saya mengadakan tour di 15 kota (Jawa, Bali dan Lombok) untuk pentas teater dan peluncuran buku puisi saya “energi bangun pagi bahagia”. Dalam perjalanan keliling iitu saya dipertemukan para pelaku seni, terutama anak-anak muda, di kota-kota tempat saya menyelenggarakan acara seni yang indah itu. Di setiap pertemuan, saya merasakan ada daya kreativitas, gagasan, dan pergerakan yang murni dan menggairahkan. Di kota-kota seperti Pacitan, Singaraja, Mataram, Mojoagung, Semarang, Ambarawa, Jombang, Purwokerto dan seterusnya. Setiap kota memiliki pioner-pioner seni yang berdedikasi tinggi dan tumbuh kembang di atas tanah tempatnya hidup. Mereka seperti bergerak diluar Orbit  yang mendominasi pemikiran seni di Indonesia masa kini. Saya senang sekali berjumpa dengan kawan-kawan tersebut. Kemudian terjadi banyak percakapan, kami saling berbagi cerita. Kemudian kepada teman-teman itulah saya mengutarakan gagasan untuk membuat program yang berskala nasional. Program itu saya berinama: KOTA-KOTA BERSUARA (KKB). Sebuah program yang mecatati kerja-kerja kesenian yang berupa gagasan, metode, manajemen dan gerakan kreatif di kota-kota, baik yang dilakukan oleh komunitas maupun personal. Program tersebut menjadi cita-cita bersama untuk diwujudkan dengan tema: Kontribusi seni (teater) terhadap lingkungan sekitar.

Bisa dijelaskan lebih spesifik apa itu program Kota-Kota Bersuara?

Kami membagi dua program kerja yaitu: Program Penulisan dan Program Peristiwa. Kami membuat tim penulis lalu dikirim ke kota yg terpilih untuk tinggal dan menulis atau mewawancarai. Jika dikota tersebut sudah ada penulisnya maka tinggal memilih kesenian apa yg mengandung nilai dan daya guna untuk ditulis. Pada akhirnya tahun 2020 kami berhasil menerbitkan buku berjudul: KOTA KOTA BERSUARA teater di sekitar masyarakat. Disunting oleh Kiki Sulistyo. Terdiri dari 13 kota di Sumatra, Jawa, Bali, NTB dan NTT (dari Medan hingga Kupang) yang berisi aktivitas seni tradisi, seni dan pendidikan, seni kontemporer dan festival-festival seni yang digagas oleh masyarakat itu sendiri. Kami memilih aktivitas seni yang berdaya guna dan jarang atau belum pernah diekspos media massa. Buku itu masih diterbitkan secara terbatas. Program kedua, kami membuat peristiwa seni berupa diskusi, pementasan, workshop, pameran dan pengajian seni di delapan kota Jogja, Jateng dan Jatim selama satu-dua bulan. Acara itu diadakan di kampus, pesantren, perkampungan, sekolahan, desa pegunungan, dan studio seni. Acaranya terselenggara secara sederhana dan meriah. Dan yang menarik pendanaan program ini dari para pelakunya sendiri dan patungan beberapa orang dari kami yang menjadi tim inti.

Apa kesimpulan yang Anda dapat dari kerja keras menggagas dan melaksanakan program Kota-Kota Bersuara?

Dari program KKB di atas sebenarnya saya meyakini bahwa kesenian di Indonesia itu pada kenyataannya tak hanya dihidupi oleh kebijakan dan pemikiran yang berada di pusat-pusat kebudayaan seperti Yogya, Jakarta, Bandung atau kota besar lainnya, karena di kota-kota kecil juga terjadi dinamika dan aktivitas seni, masyarakat mengemonah dan merawat seni budayanya dan punya sistem kerja kreatif sendiri. Hal tersebut jarang ditilik ulang untuk membuat landasan konsepsi kebudayaan di Indonesia yang biasanya dibuat oleh orang-orang yang bekerja di pusat saja. Akibatnya yang terjadi adalah ketidaksesuaian, pemaksaan pola kerja, ketimpangan, dan hanya menjadi capaian berupa karier kesenian bukan kemajuan bersama. Saya berpikir kelak di kemudian hari dengan kemajuan teknologi dan pemikiran para pioner seni, setiap kota-kota di Indonesia mempunyai suaranya sendiri, tidak ada lagi didominasi kota-kota tertentu. Seni akan bertumbuh-kembang dengan kekhasan pemikiran dan proses kreativitasnya yang membuahkan karya-karya yang berwarna di atas tanah tempat mereka mengolah diri. Sebab pada mulanya basis kebudayaan adalah tanah dan air. Begitu banyak tawaran dari para pelaku seni budaya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Kita tinggal memilih dan melaksanakan. Atau membuat tawaran baru.

Bagaimana menurut Anda kondisi seniman Indonesia? Perlukah pemerintah memberi gaji kepada seniman, misalnya, seperti di Malaysia?

Hahahahaha. Anjaayy…, ini sulit sekali pertanyaanya. Seniman yang bagaimana yang dimaksudkan? Saya tidak bisa gebyah-uyah atau menyamaratakan saat melihat keadaan Seniman di Indonesia. Selain itu, hal ini jelas bukan tugas saya. Jiiyaaaa….!!

Saya rasa kalau tentang kesejahteraan tidak hanya seniman yang ingin sejahtera, tapi semuanya dan di segala bidang. Tidak ada yang dikhususkan. Kekekwkw…masih terasa sulit ini saya ngejawabnya. Menurut saya kesejahteraan itu terkait dengan manejemen dan gaya hidup seseorang. Ukuran sejahtera itupun standarnya berbeda-beda. Tidak sama antara seniman satu dengan seniman lainnya.

Anda juga belajar manajemen?

Saya rasa tidak hanya seniman tetapi setiap orang musti bisa mendidik dirinya sendiri untuk rajin bekerja, disiplin waktu dan belajar bermanajemen untuk mencukupi dan mengatur kehidupannya. Terutama manajemen keuangan. Saya sendiri baru belajar dan mulai mengerti tentang manajemen keuangan pribadi baru memasuki usia 38 tahun. Itupun masih belepotan ngaturnya sampai sekarang. Belum lama kan menyadarinya. Karena apa? Seniman punya kecenderungan hidup bohemian, boros, seenaknya, nggak mau diatur dan nggak mau teratur. Sukaknya dipuja puji. Hahahaa. Sungguh itu sangat bajingan sekali. Lha kalo hidup macam begitu mau digaji berapapun ya nggak bakalan sejahtera hidupnya. Saya sendiri dulu jua mirip-mirip seperti itu kok hidupnya. Hahaha. Terus terang saya mengidolakan Chairil Anwar, Kirdjomulyo, Jean Genet dan beberapa seniman lainnya. Terkadang saya merasa diri saya adalah mereka dan meniru gaya hidupnya yang awur-awuran dan semau gue. Hanya mementingkan membuat karya seidealis mungkin. Di luar diri saya pokoknya nggak bagus. Karya-karya saya harus melegenda dan dibicarakan banyak orang. Hahaaa…,malu banget deh rasanya kalo inget saya waktu itu yang idihh banget dan menyebalkan. Sebab pada kenyataanya hidup saya gak karuan banyak ngrepotin teman-teman dan pacar saya. Mareka sering saya mintain uang. Kekwkww…

Jangan-jangan seniman itu identik dengan hidup eksentrik dan miskin ya?

Saya rasa hidup seniman para idola saya itu di luar manusia normal pada umumnya. Menurut cerita dan buku yang saya baca acapkali mereka merepotkan banyak orang di sekitarnya. Ya otomatis hidup saya juga seperti itulah adanya. Saya pernah berumahtangga dan tentu saja gagal dan berakhir cerai. Bangsat! Sedih rasanya tiba-tiba. Untung waktu itu belum punya anak. Sampai sekrang saya merasa bersalah dengan mantan istri saya. Jika punya uang dari job atau dapat penghargaan tentu saja cepat habis dan gak tau juntrunganya. Kemudian pada tahun 2017 akhir, saya berpikir ingin benar-benar punya tanah, air dan rumah tinggal sendiri. Agar kelak tidak menjadi gelandangan.

Anda takut jadi gelandangan atau bagaimana?

Ya. Saya sering melihat para seniman senior yang belum punya rumah dan masih kluyuran ke sana ke mari atau mungkin itu pilihan hidupnya. Saya tidak tau, tapi saya nggak mau jika masa tua saya nanti hidup menggelandang ke sana ke mari. Saya harus punya rumah meskipun kecil, tidak harus mewah dan punya usaha kecil-kecilan untuk kesibukan berpikir. Waktu itu saya masih ngekos yang notabenenya ditampung oleh bapak kos saya yang baik karena beliau melihat saya tak menetap tinggalnya. Saya diberi ruang tinggal tetapi harus berjanji dan mendengarkan kata-kata bapak kos saya, Bli Sila Tri Hastana. “Situ boleh ngekos di sini tapi harus membuat happy ending saat keluar dari sini”. Dalam artian saya harus bisa melangkah maju dan tak boleh terpuruk lagi. Hahaha. Saya dibiarkan bebas berkarya di kos-kosaan yang kecil tapi rapih. Kamar kos saya menjadi bagian dari gudang kayu. Saya anak kos satu satunya jadi sangat di manja oleh bapak kos saya. Hehehe…

Bagaimana cara Anda membuat happy ending di tempat kos gudang kayu itu?

Selama tiga tahun saya mulai menyisihkan uang dan belajar manajemen dari pergaulan saya dengan teman-teman yang pandai be manajemen seperti Verry Handayani (Forum Aktor Yogya), Pak Kreweng a.k.a Butet Kartaredjasa, Ong Hari Wahyu, Agus Noor, Encik Sri Khrisna, Puthut EA (Kepala Suku Mojok), Joko Jazz (teman dari Surakarta). Saya melihat cara kerja mereka dalam mengatur dan mengolah keuangan untuk menjadi sesuatu yang berfungsi dalam hidup pribadi dan lingkungan seputarnya. Tentu saja saya tidak sepandai mereka tapi setidaknya bisa sedikit lebih maju dalam mengolah keuangan. Dan dalam tiga tahun saya berhasil membangun rumah dan perpustakaan kecil di atas bukit yg sepi, di sebuah desa bernama Tirto. Tidak lupa setiap bulan saya berkewajiban mencicil pinjaman di Koperasi. Bapak kos saya juga senang melihat saya yang berhasil membuat happy ending dan semakin berprestasi sering mendapat penghargaan. Senang rasanya belajar bermanajemen dan membuat usaha kecil yang menghasilkan.

Artinya Anda mulai belajar hidup tertib?

Saya kembali berpikir ulang tentang kesejahteraan. Bahwasanya saya tidak “njagakke” atau mengharapkan bantuan atau gaji dari negara. Karena sebanyak apapun negara memberikan bantuan tapi kalau rakyatnya tidak punya cita-cita atau nglokro atau awur-awuran gaya hidupnya ya sama aja bohong dan tidak mendidik. Sampai sekarang kenyataanya saya memang harus belajar manajemen untuk mengatur dan bertahan hidup. Selain berkesenian saya mulai membuka usaha kecil buka toko namanya “Toko Kerja Keras” yang menjual karya saya pribadi dan prakarya teman-teman. Teman-teman yang dulu sering saya repoti  juga mensupport usaha kecil saya tersebut. Jadi yang perlu diingat kesejahteraan itu bukan berharap dari pemerintah tetapi dengan mendidik diri sendiri secara intensif dan terus-menerus. Jangan malu dan sok gengsi. Bersahajalah dan senangkan hari-harimu. Saya kini menjadi rakyat kecil yang bercita-cita.

Terima kasih. *(hartjah)

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara