Seide.id -Tahun 2019, jelang pilpres, saya dihubungi oleh seseorang yang mengaku dari lingkar istana. Dia berniat mengajak saya untuk jadi bagian tim sukses Jokowi.
Menurut orang ini, dia sudah memasukan nama saya dalam daftar orang-orang yang akan dia libatkan, ke ketua tim pemenangan, Erick Tohir. Bahkan dia bilang, apa dan siapa saya juga sudah dipresentasikan.
Saya belum bereaksi untuk mengiyakan, sampai kemudian dia bilang, “Kita sudah memasukan draft ke ET apa-apa saja yang akan kita tulis sesuai arahan. Yang menjadi masalah, berapa honorarium yang diterima setiap penulis, itu yang belum deal.” Saya baru ngeh ini sebuah proyek. Sebuah bisnis. Bukan kerja sukarela.
Maka dengan halus ajakan itu saya tolak. Buat saya, tulisan berbayar dan penuh aturan sudah pernah saya jalani waktu masih bekerja di dunia pers. Sudah selesai.
Sekarang saya lagi menikmati bisa menulis di media sosial, tanpa bayaran dan tanpa ada yang bisa mengatur-atur saya mau nulis apa dan siapa.
Jadi jika ada teman-teman saya bergabung dengan tim sukses dengan alasan apa pun, tetap saya hormati. Toh jalan kami sama. Sama-sama membela orang baik untuk Indonesia yang lebih baik. Sama-sama menghajar dengan cara masing-masing mereka yang tidak ingin negara ini damai dan maju. Itu saja.
Dan baru setelah itu saya tahu kalau kami ini kemudian disebut buzzer. Buzzer yang oleh Sujiwo Tejo kemudian di Hari Pers mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk ditertibkan. Khususnya buzzer penumpang gelap yang anti kritik pemerintah.
Saya sih tidak pernah keberatan dituduh buzzer. Tidak masalah. Tapi perlu diketahui, buzzer faktanya terbagi jadi empat bagian. Buzzer yang pernah diundang ke istana, buzzer yang tak tertarik diundang ke istana, buzzer yang dibayar, dan buzzer gratisan. Saya masuk kategori terakhir.
Saya tidak tahu buzzer mana yang dimaksud Sujiwo Tejo sebagai buzzer gelap dan anti kritik. Kami semua adalah buzzer yang tidak anti pada kritik. Silakan saja kritik pemerintah. Kami akan diam saja kok selama kritik itu dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
Tapi kalo kritik dilakukan secara kurang ajar dan barbar, pasti akan dihajar habis oleh buzzer berbayar dan tidak berbayar. Tentu dengan cara, gaya, dan porsi kami masing-masing.
Sebetulnya pengkritik atau lebih pasnya tukang caci maki kepada pemerintah, tidak banyak. Tapi mereka ini berisiknya luar biasa. Tidak semua buzzer sanggup menghadapi, kecuali buzzer yang sama kelasnya dengan mereka.
Buzzer yang seperti ini juga tidak banyak. Tapi mereka juga bisa tidak kalah berisiknya menangkis hujatan tak beralasan itu. Bisa lebih brutal sebrutal pengkritik tak beradab itu.
Betul kalo Sujiwo bilang, “Cuma segelintir tokoh yang tangguh dari bullyan buzzer yang tetap eksis menjadi kritikus.” Bagus kalo memahami itu.
Tapi intinya, orang-orang yang kalian tuduh buzzer sebetulnya bukanlah pembela Pak Jokowi. Mereka adalah para pembela NKRI dari rongrongan musuh negara (state enemy) dan pencoleng duit rakyat (kleptokrasi) yang tidak ingin negeri ini aman, damai, bersih, dan maju.
Buzzer tidak pernah ada yang mendirikan dan tidak pernah bakal ada yang bisa membubarkan. Mereka tumbuh karena kesadaran sendiri untuk kemajuan negeri. Bukan untuk mempertahkan kekuasaan Jokowi yang cuma dua periode.
Apalah artinya buzzer undangan dibandingkan buzzer relawan. Tidak ada apa-apanya. Perbandingannya seperti mereka yang hadir sendiri ke Stadion Gelora Bung Karno dengan yang diundang ke Istana Negara. Jauh.
AkuCintaNKRI
Ramadhan Syukur