Sederhana, sabar, dan baik. Itu kesan pertama saya pada gadis yang dikenalkan oleh keponakanku, ketika pertama kali diajak ke rumah.
Jujur, jika dibandingkan dengan beberapa gadis yang pernah diajak ke rumah, saya setuju gadis W jadi pendamping keponakanku, H yang sudah kuanggap sebagai anak sendiri.
H adalah anak kakak perempuanku yang sulung. Sejak suami mbak meninggal dunia karena sakit, aku mengajak H ke kota dan membantu biaya kuliahnya.
Anehnya, setiap kali saya tanyakan soal gadis yang pernah diajak ke rumah, H hanya tertawa.
“Semua temanan, Paklik. Karena mereka penasaran ingin tahu rumah, ya diajak. H ingin kerja dulu. Yang seriusan itu belakangan. Adik banyak, dan saya ingin ngejar karier seperti Paklik.”
“Kirain Paklik mau jadi calon mertua…,” tawaku lepas. Saya dan H memang biasa ceplas ceplos. Apalagi usia kami tidak selisih jauh. Saya lebih tua 6 tahun dari H.
Sepeninggal H, saya jadi terusik dengan kata-katanya. H ingin berkarier lebih dulu. Mengikuti jejaknya. Padahal tujuan saya
mengejar karir itu karena ingin
membantu keluarga. Hingga tidak disadari usia saya makin menua. Bahkan tidak terpikir pula untuk berkeluarga.
Kini, yang menjengkelkan, H janjian dengan W bertemu di rumah, tapi H belum pulang kantor. Alasannya, H harus menyelesaikan pekerjaan oleh atasannya. Sehingga pulang terlambat.
“Mau ditunggu? Hari Sabtu H biasa nyampai di rumah, sore.”
“Takut mengganggu,” W meragu. Saya tersenyum. “Di teras saja…”
Saya mengiyakan, menyilakan W duduk.
Kami ngobrol. Dari obrolan itu saya baru tahu, kalau kantor W tidak seberapa jauh dari rumah saya.
Ternyata, hari Sabtu sore itu awal bahagia dalam hidup saya. H lembur hingga malam, karena ada pemotretan di studio. Sehingga malam itu saya mengantarkan W pulang.
Saya pikir, H dan W mulai serius. Dan saya bakal jadi calon mertua keponakan. Ternyata, saya masuk perangkap keponakan saya yang ingin menjodohkan saya dengan W, teman kampusnya.
Apa boleh buat, saya tidak bisa menolak untuk berjodoh dengan W. Karena, kini W telah jadi istriku.
(Mas Redjo)