Seide.id- Kisah ini dituturkan langsung oleh Amelia Ahmad Yani, putri jendral anumerta, Ahmad Yani, mengenang peristiwa berdarah dinihari 1 Oktober 1965.
Tanggal 30 September 1965, malam. Setelah makan malam siap, ibu Yayuk Ruliah A.Yani menenui dan pamit kepada suaminya, letnan jendral Menteri/Panglima Angkatan Darat ke-6, Ahmad Yani.
Ibu ijin, katanya mau menyepi dan menginap di rumah dinas Bapak sebagai Menpangad di jalan Taman Suropati 10, Jakarta Pusat.
Rumah dinas kerap kosong karena Ahmad Yani dan keluarganya lebih memilih tinggal di rumah pribadi di Jalan Lembang D-58.
Ibu ditemani tante Tinik, teman akrab ibu sejak kecil, Om Tris adik ibu dan Om Sandi, ajudan rumah tangga kami.
Malam itu kami semua tidak ada yang ikut menemani ibu. Karena ibu lebih senang nyepi sendiri, tanpa anak-anak.
Telepon misterius
Sekitar pukul 22.00 malam barulah bapak bebas dari tamu. Beberapa saat kemudian setelah makan malam, bapak langsung masuk ke kamar tidurnya.
Sementara kami masih duduk-duduk di ruang belakang sambil menunggu kakakku yang tertua, Rulli, pulang dari Bandung. Ia dan teman-temannya sedang mengikuti latihan Resimen Mahajaya di Batujajar.
Begitu bapak masuk kamar, dan para pengawal dan ajudan pulang ke rumah masing-masing, saya merasakan malam itu menjadi sunyi sekali. Leboh sepi dari biasanya.
Sesekali terdengar anjing menyalak dan menggonggong dari kejauhan.
Ada yang aneh, sejak pukul 23.00 sampai tengah malam, telepon rumah kami terus berdering. Dari kejauhan si penelpon hanya bertanya dimana bapak. Si penelepon seperti hendak memeriksa sesuatu, karena pertanyaan yang sama selalu diajukan.
Tanpa merasa curiga kamipun memberitahu kalau bapak sudah tidur.
Malam kian larut. Rasa kantuk mulai menghantui kami. Satu persatu dari kami, para penghuni rumah, akhirnya lelap tertidur.
Para ‘penjemput’ datang
Namun sekitar pukul 04.30 subuh (1 Oktober 1965), kami dikejutkan oleh suara tembakan bertubi-tubi. Terdengar pula hentakan sepatu.
Itu suara sepatu lars. Dan hanya tentara yang memakainya!
Suaranya hiruk pikuk sekali.
Semua terjadi dengan cepat.
Saya di kamar ketakutan setengah mati, namun masih memberanikan diri untuk mengintip melalui celah pintu kamar.
Di ruang tengah aku milhat banyak tentara, memakai baret merah tua. Cakrabirawa? Pasukan Kawal Presiden? Ada apa mereka di rumah ini?
Pandangan mata saya langsung mengarah pada sesosok tubuh tengah diseret di ruang tengah. Cara menyeretnya sungguh biadab! Kakinya ditarik oleh dua tentara!
Setelah wajahnya terlihat, jantung saya langsung melonjak, ya, Allah itu Bapak! Spontan, dari dalam kamar kami menjerit-jerit dan langsung menghambur keluar,
“Bapaaaak! Bapak!” saya berteriak sekuatnya.
Kami menangis histeris dan berlari. Kami mengikuti para tentara yang membunuh bapak sampai ke pintu belakang.
Tiba-tiba beberapa tentara itu berbalik dan menghardik,
“Kalau anak-anak tidak masuk, akan ditembak juga semuanya!”
Kami ketakutan dan gemetar! Kami semua berlari masuk ke dalam rumah sambil terus menangis.
Sedih, marah, takut dan bingung bercampur aduk menjadi satu.
Ini darah siapa?
Beberapa saat kemudian kami mendengar suara kendaraan menderu-deru membawa bapak pergi. Kami tidak tahu bapak dibawa kemana.
Merah darah yang masih hangat menggenang di ruang makan. Kaca pintu berserakan tertembus peluru yang masih dibiarkan hingga saat ini.
Darah bapak tercecer di sepanjang lantai hingga ke jalan raya, bekas bapak diseret dari dalam rumah. Kami kemudian menemukan tujuh selongsong peluru berserakan di lantai.
Kami berebut mengangkat telpon hendak mengabarkan kejadian menakutkan ini, namun sayang, kabel telepon ternyata sudah dipotong.
Segera kami meminta Mbok Milah untuk memanggil Om Bardi, ajudan bapak. Sementara kami duduk dilantai mengelilingi darah bapak sambil berharap bapak tidak meninggal.
Disaat itu tiba-tiba munculah komandan penjaga yang dilucuti. Ia panik dan bingung.
Ketika melihat genangan darah segar di lantai, spontan ia bertanya,“ini Darah Siapa?”. Serempak kami menjawab, “Ini darah bapak”.
Mendengar jawaban kami, sang komandan itu tak lagi berkata-kata. Wajahnya kosong menatap darah bapak. Kami benar-benar dicekam rasa takut, marah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Bardi sang ajudan
Pukul 5 pagi Om Bardi ajudan bapak datang. Serta merta kami semua lari berhamburan kepadanya. Sambil menunjuk gumpalan dan ceceran darah, kami beritahu kalau bapak telah ditembak.
Kami ceritakan bapak telah dibawa pergi oleh tentara-tentara berseragam hijau memakai baret merah, sepatu lars dan banyak kain-kain kecil warna putih, merah, kuning di pundak mereka.
Om Bardi kaget dan bingung. Dahinya mengkerut. Dia seakan berusaha mencari jawaban mengapa atasannya dibunuh.
Tiba-tiba sebuah jip tentara masuk pekarangan rumah kami, rupanya ibu pulang.
Begitu masuk rumah ibu kaget lantaran mendapati kami semua sudah bangun. Ibu bertanya, “Ada apa ini, kok, pagi-pagi sudah bangun?”
Kami katakan, “Bu, bapak…. Bapak ditembak dan dibawa pergi naik truk”
Seketika ibu jadi histeris. Sambil berlari ke luar rumah ibu berteriak keras, “cari! Cari bapak! Cari sampai ketemu! Kemana bapak? Cari! Cari!”.
Kami hanya tertegun, bingung hendak berbuat apa.
Sejurus kemudian ibu pingsan di halaman, kami segera gotong beramai-ramai ke dalam rumah dan dibaringkan di sofa. Ketika sadar dari pingsannya, ibu mengajak kami untuk berdoa bersama.
Jendral Umar
Pukul 06.00 pagi, Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Kodam V Jaya datang dan menemui ibu sejenak. Entah apa yang mereka bicarakan, namun setelah jendral Umar pergi, datang pasukan lain dalam jumlah banyak ke rumah kami.
Pasukan ini akan menjaga rumah kami, mereka dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Agak siang, kami disarankan untuk sementara waktu meninggalkan rumah, mengungsi.
Sementara darah bapak mulai dibersihkan. Melihat darah bapak ini dadaku terasa sesak.
Hari itu baru kami tahu bahwa bapak telah dibunuh dan diculik oleh gerombolan yang ingin melakukan kudeta. Bukan hanya bapak sendiri, juga lima perwira tinggi lainnya yang selalu menyebut diri mereka, “tangan kanan bapak”.
Karangan bunga
Kira-kira pukul 09.00 pagi, karangan bunga dari toko ‘Bela Flora’ datang dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun, 1 Oktober 1965”.
Itu karangan bunga ulang tahun buat ibuku.
Itu kejutan yang membuat Ibu semakin syok, sebab pengirim bunga adalah bapak Ahmad Yani sendiri memperingati hari ulang tahun istri tercintanya.
Beny Rusmawan