Kesaksian yang saya tulis dan bagikan ini hanya punya nilai benar sejauh merupakan ungkapan imanku sebagai gereja.
Gereja adalah persekutuan umat beriman pada Yesus Kristus yang memiliki fungsi untuk bersaksi tentang-Nya di dunia. Gereja diambil dari kata èkklèsia yang artinya “dipanggil ke luar” untuk membawa berita tentang Keselamatan. Dalam tugasnya, gereja memiliki 3 panggilan di dunia untuk dipenuhi dan dipertanggungjawabkan pada Allah, yakni koinonia (bersekutu) , marturia (bersaksi) dan diakonia (melayani)
Dari perspektif marturia itu kesaksian saya ini dibaca.
Masa kecilku dan tumbang imanku bermula di lereng gunung Tanggamus. Nama desanya Lambao. Nama pasarnya Gisting. Nama gerejanya Santo Pius X.
Sejujurnya, saya tidak terlalu ingat bagaimana mulanya saya jadi katolik. Saya coba peras ingatan itu tidak juga nètès. Bagaimana dulu dibaptis juga tidak saya ingat. Dari surat baptis tercatat saya dibaptis pada 11 Juli 1959, tepat pada hari ulang tahun saya yang ke 7 dengan nama baptis Stephanus, martir, yang dirayakan setiap tanggal 26 Desember. Yang saya ketahui bahwa bapak dan simbok barulah dibaptis sekian saat setelah kami, kang Jan dan saya.
Jadi, yang saya alami, tanpa bermaksud mengecilkan peran orang tua, tumbuh iman katolikku berakar tidak dari rumah, lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dan gereja.
Seiring dengan pertumbuhan usia dan nalar, perlahan saya menemukan benang merah, mengapa saat kecil saya tertarik menjadi katolik.
- Saya sangat terkesan oleh ajaran kasih yang sering dikhotbahkan oleh alm Romo Tromp, gembala kami yang perdana, asalnya saking londo, yang sangat disiplin. Beliau berkotbah – “jika seseorang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu”. Aneh, koq begitu? Mengapa tidak dibalas saja? Khotbah itu sulit saya cerna maksudnya. Pengalaman diejek, di bully dan tak bisa membela diri di masa kecil sering menumbuhkan rasa marah, menyimpan dendam dan mendorong keinginan balas dendam. Khotbah itu begitu berpengaruh dalam ingatan saya. Tidak boleh balas dendam. Perlahan mulai tumbuh kesadaran bahwa “agama katolikku ini begitu spesial.” Keren kata anak jaman now. Konsep ajarannya “bukan membalas dan bukan pula kekerasan”
- Saya merasakan sendiri Allah itu baik. Mungkin seperti kebetulan jadi katolik. Andai saja saya bukan katolik, lalu di agama itu saya didoktrin untuk membunuh orang lain demi agama sebagai syarat masuk surga. Bagaimana jadinya? Saya mulai yakin, sejak awal Tuhan mengawal hidup saya menemukan “cara hidup yang saling mengasihi dan mengampuni.”
- Saya merasakan bahwa kehidupan orang katolik itu baik, rukun, senang membantu, mudah memaafkan, tidak suka menghina dan tidak suka merendahkan orang lain.
- Waktu kecil saya bangga menjadi anggota PSK. PSK waktu itu tidak berkonotasi buruk seperti PSK jaman sekarang, sebab aksinya sangat mulia. Saya sangat bangga menjadi tim Putra/i Sang Kristus (PSK) . Dan kegiatannya adalah menjadi misdinar, panembromo dan tonil sesuai masanya, Natal atau Paskah.
Suatu ketika saya bertugas main tonil Natal. Perannya sebagai gembala domba. Agak kecewa. Inginnya menjadi raja, tetapi dijawab oleh pelatih “kowe cocok dadi pangon, kulitmu ireng tur saben dino ngarit nggo wedusmu”. Sampe rumah saya wadul (mengadu), tetapi simbok malah bilang : “apik lho, kowe iso luwih cedak karo Gusti Yesus”
Begitulah benih-benih iman katolikku bermula, tumbuh kecil ibaratnya nyala lampu sentir Hanya karena cinta Yesus bisa menjadi seperti sekarang ini.
Salam sehat dan tetap semangat berbagi dan bersaksi tentang cahaya (Jlitheng)