Catur

Seide.id – Catur, diciptakan oleh bangsa India. Aslinya bernama: Chaturangga. Arti harafiahnya: “Pertahanan 4”, atau “4 Pertahanan”. Catur dalam bahasa Jawa (yang berasal dari Sansekerta) memang berarti 4.

Permainan ini adalah tentang strategi perang. Sebuah strategi perang terbuka. Dari India, catur menarik hati, dipelajari, dibawa dan diperkenalkan oleh bangsa Arab dan Iran ke Eropa. Tapi kemudian Inggris dan Rusia yg paling intens memainkannya. Warga Rusia, suka dan gandrung kepada permainan ini. Rusia, bukan cuma melahirkam banyak juara, bahkan banyak yang semula mengira (termasuk aku) bahwa catur berasal dari negri yang terkenal dengan tata-tertib dan disiplin kaku ini. Sampai-sampai ada gurauan, bahwa jika seseorang dari negri lain ingin meminta visa untuk masuk ke Rusia, persyaratannya adalah:…bisa bermain catur.

Lucunya dalam ingatanku tentang ‘percaturan dunia catur di tingkat dunia’ (haha), tak ada seorang pun nama yang menggambarkan orang India. Dalam ingatanku hanya ada 5 nama. 1. Bobby Fischer; 2. Boris Spasky; 3. Anatoly Karpov; 4. Garry Kasparov dan 5…Utut Adianto.

Nah lihatlah, di antara 4 pecatur kelas dunia yang aku kenal, 3 orang adalah orang Rusia. Tak satupun nama India. Hlo kok ? Yaa,…Utut Adianto memang bukan juara dunia. Meski waktu kecil sungguh membanggakan kita, untuk ukuran Asia. Setelah dewasa, dia hidup ‘normal’. Mendirikan sekolah catur dan menjadi politisi.

Garry Kasparov yg menang melawan Anatoly Karpov setelah melakukan rangkain pertandingan panjang dan melelahkan, dianggap pemain catur paling jenius di era apa yang disebut ‘catur modern’.

Garry Kasparov pernah melawan “Deep Thought” komputer yqng sudah diprogram bisa dan jago bermain catur. Garry menang! Tapi pada program komputer yang lain bernama “Deep Blue“, Garry kalah. Tapi kekalahan itu, menurut pengamat catur, bukan karena Garry ‘mati langkah’. Tapi lebih karena Garry lelah. Kelelahan, sangat mungkin membuat otak manusia jadi kehilangan fokus dan melakukan kesalahan. Sementara mesin tidak!

Kemarin, ketika nonton bulutangkis Kejuaraan Dunia di Jepang, baru masuk babak 32 besar, aku nonton laga antara Gregoria Mariska Tunjung pemain runggal putri handalan kita vs Akane Yamaguchi, tunggal putri handalan Jepang.

Grego pernah menang, melawan Akane. Makanya aku serius menonton dan berharap Grego menang lagi. Babak ke-1, Grego kalah. Babak ke-2, Grego tertinggal cukup jauh, ..tampaknya akan kalah. Maka, meski belum berakhir, aku mengintip saluran lain. Cetak-cetek, cetak-cetek, eh…ada film berjudul: “Searching for Fischer“. Maksudnya Bobby Fischer? batinku. Ternyata benar. Tapi nampaknya sudah beberapa menit. Tak apalah.

Searching for Fischer adalah film yang dibuat berdasarkan buku tulisan Joshua Waitzkin, seorang pemain catur berbakat. Meski bukan juara dunia, tapi dia Sudah menjadi Grand Master pada usia 16 tahun.

Waitzkin yang cerdas, dianggap ‘hidup normal’ di luar sebagai pemain catur profesional. Di luar melulu dunia catur yang kebanyakan membuat orang senewen dan (istilah anak milenial: ansos alias anti sosial). Bahkan Joshua Waitzkin dianggap cerdas karena hidup normal, sekolahnya tinggi, dia menulis buku dan lumayan berprestasi di beberapa cabang olahraga di luar catur…(catur, dimasukkan sebagai cabang olahraga saja, sampai sekarang, aku masih heran).

Suatu hari, Joshua (Max Pomeranc) minta diantar ibunya (Joan Allen) ke sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Di taman itu (seperti beberapa waktu lalu kita lihat di tepi jalan kita) beberapa pasang orang sedang bertanding catur. Mereka bertaruh. Berjudi. Orang-orang yang menonton di sekitarnya juga bertaruh dan berjudi. Joshua ikut bertanding melawan seorang bapak. Awalnya bapak itu tentu menganggap Jo sebelah mata. Tapi, kemudian langkah-langkah Jo, mengejutkan. Mereka lalu jadi tontonan. Jo akhirnya kalah. Meski demikian, Jo dalam usianya yang masih 7-8 tahun, telah mengejutkan banyak orang. Termasuk Vinnie (Lawrence Fishburne) yang menjadi semacam ‘bandar’ atau pencatat pertaruhan di taman itu.

Ibunya heran, dari mana Jo bisa bermain catur. Bahkan mengejutkan banyak orang dewasa. Ibu Jo, bercerita kepada suaminya, ayah Jo (Joe Mantegna) tentang peristiwa di taman itu. Ayah Jo heran. Mereka tak tahu, bahwa anak mereka bisa bermain catur. Ayah Jo penasaran. Jo diajaknya bertanding. Jo kalah,…tepatnya mengalah.

Ayah Jo, menganggap agak lebay cerita istrinya tentang Jo. “Jo terlalu baik, dia tak enak jika mengalahkanmu” kata ibu Jo kepada suaminya. Ayah Jo penasaran. Jo ‘berhasil dibujuk’ untuk bermain catur secara bersungguh-sungguh. Tak perlu sungkan, jika ayahnya memang harus dikalahkan. Jo bermain sungguh-sungguh.

Ayahnya tak pernah menang. Bahkan ketika di sela-sela menunggu ayahnya melangkahkan bidak catur (karena lama banget), Jo melakukan aktifitas lain, seperti main mobil-mobilan, main robot, main boneka tokoh super hero atau bergumul dengan adiknya, seperti anak-anak seumur dia pada umumnya. Nanti ayah Jo memanggil, ketika Jo giliran melangkah. Bahkan pada permainan berikutnya, Jo tanpa melihat, karena dia berada di ruang lain, bertanya kepada ayahnya dengan berteriak, telah menjalankan bidak apa. Ayahnya menyebut, misalnya: Kuda, dari kotak (misalnya Kuda B6, ke-C9). Maka Jo akan berkata: “Skak mat!”,…tanpa melihat papan catur! Tak salah lagi. Anakku ini anak ajaib, fikir ayah Jo.

Lalu Jo, dibawa ke sekolah catur untuk dilatih menjadi pemain catur profesional.

Pada awalnya Bruce Pandolfini (Ben Kingsley), pemilik sekolah catur itu menolak.

“Anakmu masih terlalu kecil. Dia ‘berhak’ untuk tertarik dan melakukan banyak sekali kegiatan lain di luar catur!”.

Bruce Pandolfini, tak ingin anak sekecil itu sudah suntuk memikirkan catur. Dari bangun tidur pagi, sampai ingin tidur lagi di malam hari. Fred Waitzkin, ayah Jo diajak oleh sang pemilik sekolah catur. Di sana, ayah Jo melihat orang-orang muda, orang dewasa dan orang tua, terlihat suntuk berkutat dengan ‘pasangan’ masing-masing di depan papan catur. Ketika seorang anak muda (yang diperankan oleh Joe Waitzkin asli!) dipanggil oleh Bruce Pandolfini untuk dikenalkan kepada ayah Jo, si anak muda tampak linglung, bicara tak nyambung dengan ayah Jo. Sang pemuda tak menatap lawan bicaranya. “Aku tak ingin, anakmu kelak seperti ini!”, kata Bruce.

Suatu ketika Bruce iseng-iseng diajak oleh Fred Waitzkin melihat Jo sedang ditonton oleh banyak orang. Jo bertanding melawan orang dewasa dan menang!

Bruce terperangah. “Anakmu, memang betul anak ajaib. Untuk seumur dia,…langkahnya-langkahnya ajaib. Memang sungguh sayang menyia-nyiakan bakatnya. Akhirnya Jo diterima di sekolah catur milik Bruce.

Di sekolah, Jo mengalahkan anak ajaib lain.

Jo, pada dasarnya memang seorang anak yang baik hati. Jo, menawarkan remis, tapi lawannya menolak.

Beberapa langkah sebelum mengalahkan lawanya, Jo menawarkan remis. Seri, draw, tak ada yang menang, juga tak ada yang kalah. Tawaran remis, dikalangan awam, sepertinya adalah langkah atau tawaran murah hati. Karena tawaran remis dianggap tak ingin mempermalukam lawan. Tapi, bagi pengamat catur, itu sesungguhnya teror mental. Karena, itu menunjukkan bahwa kita sudah tahu semua kemungkinan yang bakal terjadi. Seorang pemain catur hebat, konon sudah menghitung paling sedikit 3 langkah ke depan.

Setelah dewasa, Joshua Waitzkin, akhirnya ‘hidup normal’ dan cerdas di luar dunia catur…

Tapi, benarkah pemain catur dunia tak bisa hidup normal? Ah,…pemain apa pun, jika sudah menjadi kelas dunia, memang tak bisa hidup normal bukan?…


Ilustrasi: “main catur”. Ini gambar lama, ketika kita semua selama pandemi seakan-akan lumpuh, tak bisa melakukan aktifitas di luar rumah.

(Aries Tanjung)

Ikuti : Kencing