Sosok sastrawan dan budayawan yang karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain Mandarin, Inggris, Jerman, bahkan Arab. Dan belakangan ini melesat sebagai biografer; penulis buku biografi. Eka Budianta. foto Priyambodo/Kompas.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
PADA era 1986-1992-an, saya ngepos di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Balai Budaya Menteng dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Pasar Baru, sebagai reporter peliput kegiatan seni budaya, bersama almarhum Cok Hendro (Berita Buana), Arief Joko Wicaksono (Sinar Harapan), Yon AG (Merdeka), dan Jusuf Susilo Hartono (Surabaya Post), Efix Mulyadi (Kompas) dan sederet nama lainnya. Kami kerap menonton pertunjukan, pameran, diskusi dan kegiatan seni lainnya. Salahsatu yang berkesan adalah menonton pembacaan sajak.
Bintang dari semua bintang dari pembaca sajak di TIM – yang pemunculannya dinanti nanti dan selalu ditampilkan di puncak acara adalah Si Burung Merak Rendra dan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, yang kedudukannya tak kunjung tergantikan hingga kini –. Namun sebelum bintang utama tampil, ada penyair lapis ke dua, yaitu Taufik Ismail, Leon Agusta, Hamid Jabar, Yudhistira Ardi Nugraha dan Noorca Massardi, Leon Agusta juga Eka Budianta, serta beberapa nama lain.
Nama nama itu di panggung tak sekadar membaca sajak, melain melakukan atraksi pertunjukkan. Menjadi aktor. Mengesankan. Tak terlupakan.
Masih teringat bagaimana penyair Hamid Jabbar membacakan sajaknya; “ Jalan berliku-liku / tanah airku / penuh rambu-rambu / Indonesiaku / lukamu, lukaku “
Atau Leon Agusta yang perih dalam rintihannya; “Ngilu.., ngilu…. membisu dalam sembilu / Ngilu, membatu… / Terluka dan meronta dalam sembilu / Ngiluuu, hmm.”
Dan kredo tak terlupakan dari Bang Tardji Calzoum Bachri: “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku!”
Bagaimana dengan Si Burung Merak Rendra? “Orang orang harus dibangunkan / Kesaksian harus diberikan / agar kehidupan tetap terjaga!”
Puluhan tahun meninggalkan TIM karena pindah tugas di majalah dan mengurusi artis dan majalah wanita, setelah pensiun saya dihubungi Eka Budianta, tak lama setelah kami sama sama menghadiri peluncuran buku Martin Aleida dimana dia menjadi moderatornya. Liputan saya atas peluncuran buku itu diminta untuk dibukukan. Tentu saja saya mengizinkan dengan senang hati. Kehormatan untuk saya.
Christophorus Apolinaris Eka Budianta, kelahiran Feburari 1956, selain seorang penyair adalah penulis lengkap. Selain menerbitkan buku puisi membacakannya di panggung, menulis cerpen, juga seorang jurnalis. Menjadi wartawan majalah TEMPO (1980-1983), koresponden koran Jepang Yomiuri Shimbun (1984-1986), asisten pada Pusat Informasi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIC) UNIC, BBC London, UNDP, Puspa Swara, dan lain-lain. Dari kesibukannya meliput, dia melahirkan sejumlah buku.
Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain Mandarin, Inggris, Jerman, bahkan Arab. Dan belakangan nama suami dari akademisi Melanie Budianta ini melesat sebagai biografer; penulis buku biografi.
Meski namanya tak segerlap Albertine Indah, dengan bayaran sensasional untuk ukuran penulis di Indonesia – karena menulis tokoh sekelas presiden, ibu negara dan konglomerat – namun Eka Budianta produktif menulis biografi. Ada 30-an judul menyangkut banyak tokoh kondang ditulisnya. Ada tokoh tokoh pejabat dan pengusaha juga.
Dia layak menyebut sebagai “Biografer” untuk karya karya spesifiknya itu, meski sebagai jurnalis dan penulis, dia peduli pada bidang lingkungan hidup, pariwisata, pendidikan, dan kolom sosial politik.
EKA BUDIANTA adalah salahsatu penulis dalam perkumpulan Satu Pena yang secara berkala melakukan diskusi, yang sejak Covid19 dilakukan lewat aplikasi Zoom. Pekan lalu dia mengirim undangan online, Obrolan Hati Pena ke-81, dengan tema Menulis Biografi Sebagai Profesi . Dengan antusias saya ikut serta. Sebagai plonco. Sebab diskusi itu dihadiri para senior, bahkan ada yang bergelar profesor. Masing masing dari mereka sudah menerbitkan buku.
Diskusi zoom selama dua jam begitu padat, dan Eka Budianta sebagai bintang utama malam itu, mempresentasikan proses kreatifnya sebagai penulis biografi.
Apakah biografi itu? Biografi adalah buku yang menyajikan sosok dan ketokohan yang membawa perubahan masyarakat. Dalam biografi tertulis, peristiwa kenangan hidup yang menginspirasi masyarakat dan juga warisan bagi anak cucu.
Biografi ditulis untuk mengantar tokoh kita ke sejarah bangsanya, serta menghidupkan disiplin ilmu dan kepercayaan yang dihidupinya
Buku biografi ditulis dengan cara mengumpulkan banyak bahan di antaranya; 1. Testimoni 2. Wawancara langsung 3. Napak Tilas 4. Referensi Pustaka 5. Buku Harian 6. Dokumen resmi, ijazah, piagam, medali 7. Koleksi, album 8. Kunjungan ke makam, warisan, peninggalan. 9. Kesaksian anak cucu.
Proses kreatif dalam penulis adalah penghargaannya yang tinggi kepada semua sumber informasi: dari sebutir debu di lantai sampai taburan bintang di langit, dari bau keringat sampai imajinasi tentang dunia yang tidak kelihatan. Informasi juga datang dalam berbagai bentuk, bunyi, suara, gambar, tulisan,lagu, video, meme, dst, katanya.
Sukses penulisan biografi, menurut Eka Budianta, bila; memenuhi persyaratan teknis, etis, legal, berkait dengan kepentingan umum, dipercaya pembaca, menguntungkan penulis, tokoh, penerbit, dan kolektor bukunya. Terbit pada saat yang tepat, merupakan kunci sukses biografi juga.
Ada trilogi kebenaran dalam biografi, yakni kelahiran, kehidupan dan kematiannya. Penulis biografi sebaiknya fokus pada titik itu dalam penulisan tokoh utamanya.
Eka Budianta mengisahkan pengalaman mistisnya, ketika menulis tokoh, namun yang ditulis meninggal. Dia mengunjungi makam tokoh itu dimana ada pohon buah tegak di sana.
“Saya bicara sama pohon itu, ‘wahai pohon, apakah tokoh kita pernah menaiki dahan dahanmu? Memetik buahmu?’ …” tanyanya.
Lalu ada buah jatuh dari pohon itu. Dia bawa pulang dan menanamnya. Tumbuh. Dan ajaib, proses pengerjaan tulisan bukunya lancar. ***