Langit pagi di atas Kota Larantuka, Flores Timur, membentuk konfigurasi warna-warna pastel yang teduh. Arus selat Gonsalu mengalun tenang. Samudera lepas di kejauhan membentang luas, seolah ada nyanyian pagi yang menggiring hawa sejuk masuk ke rongga paru. Pagi mulai bercerita tentang alam dan sekitarnya. Sejauh mata memandang, langit dan laut seakan berpadu bagai sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Di situ, dalam semilir angin pagi yang menusuk pori, Jes menatap deru lembut ombak yang menyentuh pantai. Selat Gonsalu bisu, arus deras di dalamnya berisi kisah yang memedihkan, kisah dengan elegi yang tak pernah usai.
Rasa getir menyelusup diam-diam ke seluruh raga. Pagi di tepian Pantai Ujung Aro yang membentang luas di hadapan hotel tempatnya menginap, membangkitkan ingatannya tentang seseorang, dan itu membuat rasa sedih kembali menyusup. Jes atau lengkapnya Jesaya Weking, sosok berkulit coklat bersih dengan raut wajah tegas, berhidung macung, berambut ikal tebal dengan tatapan mata tajam yang selalu berbinar indah, enggan beranjak dari pantai berpasir putih yang membentang sepanjang selat yang ada di hadapannya itu. Di sini kenangan tentang Kay kembali terkuak. Ia ingin menghapus kenangan itu. Namun tiap kembali melangkahkan kaki di kota kelahirannya, hanya dia yang muncul di benaknya. Bayang Kay seakan menari-nari di hadapannya. Suaranya yang lembut bagai menyelisik masuk ke gendang telinganya. Ah, Jes mendengus perlahan, Kay…sedang apa kau sekarang? Tanyanya pada debur ombak laut yang datang susul-menyusul.
“Pak Jes, kendaraan yang akan membawa kita ke SMA Sura Dewa sudah datang,” tegur seseorang tiba-tiba.
Jes menoleh. Lamunannya buyar. Ia segera bangkit, . “Baiklah, saya akan segera ke sana, Pak Soni,” sahutnya sembari membersihkan pasir pantai yang menempel di celananya.
Pagi itu, Kelas menulis kreatif baru saja akan dimulai, para peserta yang terdiri dari siswa-siswa Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan dari segala penjuru Kabupaten Larantuka, sudah menanti sang nara sumber di aula sekolah. Dua nara sumber, Jes dan Dick, akan menularkan virus menulis pada mereka. Mereka akan memberikan ilmu itu pada anak-anak pesisir pantai yang terlihat sangat antusias untuk menerima segala ihwal tentang penulisan kreatif dari dua nara sumber yang tampan ini. Dick seorang sastrawan asal Kupang, NTT, akan memberikan pembinaan tentang teknik penulisan cerita pendek. Jes sendiri sebenarnya berasal dari Flores, tepatnya kota yang kini ia pijaki, Larantuka. Namun panggilan jiwa sebagai seorang jurnalis, telah menggiringnya terdampar di belantara beton yang sesak, penuh polusi dan selalu macet, Jakarta. Di dasar hati yang terdalam, sebenarnya ia ingin pulang dan menetap di kota ini, namun lagi-lagi kepedihan itu selalu merayap dan merobek rasa yang mengendap dalam di dasar sanubarinya. Kali ini, seperti disiplin ilmu yang telah dipelajarinya, ia akan menularkan teknik penulisan jurnalistik kepada para siswa yang juga anak-anak pesisir pantai itu. Mereka akan dilatih bagaimana membuat koran dinding yang menarik dan asyik dibaca.
Puluhan peserta sudah menunggunya di aula sekolah. Mereka lalu dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan minat yang mereka tulis di lembar pendaftaran. Tampaknya, para siswa yang menunjukkan minat di kelas jurnalistik dan penulisan cerpen seimbang. Jes kemudian membuka kegiatan dengan memperkenalkan diri dan menuturkan pengalamannya selama menjadi jurnalis. Para siswa yang rata-rata masih duduk di kelas sepuluh dan sebelas, menyimak kata demi kata yang ke luar dari bibirnya dengan penuh perhatian.
“Sebelum terjun ke lapangan sebagai jurnalis, saya akan menjelaskan dulu tentang teknik penulisan berita baik itu berita dengan istilah straight news, features, hiburan dan beberapa berita lainnya. Yang tak kalah penting dari penulisan sebuah berita adalah unsur lima W dan satu H, penggunaan Tata Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar juga pemakaian Ejaan Yang Disempurnakan,” Jes berdiri di depan puluhan anak-anak SMA dan SMK. Sosok tubuhnya yang tinggi, proporsional dan tampan, menjadi daya tarik tersendiri bagi para siswa dan guru-guru pendamping. Dua jam pertama pelatihan memang terasa membosankan. Memasuki sesi tanya-jawab, para siswa yang tadinya malu-malu, mulai terlihat antusias, mereka dengan spontan mengajukan beragam pertanyaan. Waktu bergulir begitu cepat, dia seakan mendahului debur ombak yang terdengar di kejauhan. Pagi yang merayap siang, kemudian dihiasi dengan suara luruhnya hujan ke bumi. Jejeran pegunungan yang melingkari kota Larantuka, terlihat pekat tertutup kabut dan lebatnya hujan. Jes menerabas waktu dengan gestur tubuh yang memesona tatkala menjelaskan materi pembelajaran yang disusunnya.
“Esok kita akan melakukan praktek lapangan, saya akan memandu kalian dengan memberikan catatan pertanyaan bila akan wawancara nanti. Kita melakukan praktek jurnalistik langsung di desa nelayan Delang. Saya yakin kalian pasti suka.” Itu hari ketiga pelatihan. Usai wawancara dan melakukan tugas jurnalistik, para siswa dibantu pendampingnya membuat koran dinding dan menempelkan hasil karya mereka di sana. Kreativitas yang setara dengan kemampuan membuat disain atau lay out seperti di majalah-majalah umum, sudah terlihat. Jes memandang mereka dengan tatapan kagum, mereka siswa pesisir pantai yang cerdas dan cepat menangkap semua penjelasannya. Sejenak rasa sedih yang pagi tadi menggelayut ketika ia termangu di tepi pantai Ujung Aro, tersapu oleh riuhnya peserta yang sibuk menulis dan menyusun tulisan di koran dinding berbahan gabus dengan lebar satu setengah dan panjang satu meter yang telah disiapkan panitia. Jes memandang semua itu dengan takjub. Kay, jika kau ada di sini, pastinya kau akan bangga dengan mereka, gumam Jes. Di luar, hujan belum berminat untuk meredup.
Tahun 2011, berhadapan dengan Kapela Tuan Ma, di depan patung Mater Dolorosa dan sebuah gereja kecil yang selalu dibuka untuk umum, Kay dan Jes berjanji untuk bertemu. Tempat strategis menghadap ke laut yang mereka pilih untuk menjadi lokasi pertemuan, sekaligus menjadi saksi ketika Jes mengungkapkan isi hatinya. Di hadapan patung Mater Dolorosa, mereka duduk berdampingan sembari memandang laut, menikmati angin sore yang bertiup lembut dari Selat yang berwarna biru kehijauan. Selat di mana dari kejauhan terlihat jelas Pulau Adonara dan Solor. Gunung-gunung yang menyelimuti Kabupaten itu, berdiri tegak seolah menyimpan cerita di dalamnya. Jes menggemgam erat jemari gadis pujaan hatinya.
“Cincin ini kubeli di Kota Kupang. Aku memintamu menjadi tunanganku. Kuingin kelak kau menjadi isteriku,” ucap Jes, spontan tanpa basa-basi.
Kay, Tepatnya Kaylatania Gonsales membisu. Ia sedikit terkejut. “Kau hendak ke mana?” tanyanya.
Jes mengeluarkan selembar surat dari saku bajunya. Diberikannya surat itu. “Tidak lama Kay. Hanya setahun, setelah itu aku kembali ke sini melamarmu.” Katanya tanpa berani menatap wajah perempuan berwajah manis, khas Larantuka yang ada di sisinya.
“Mengapa kau tidak bilang padaku hendak melamar pekerjaan sebagai wartawan di Jakarta?”
“Aku ingin memberikan kejutan padamu.”
Kay membisu. Debur ombak yang membentur Pelabuhan Larantuka kian terdengar jelas. Biru langit mulai tertutupi awan berwarna dadu, petang merambat diam-diam.
“Jangan sedih Kay, aku pasti akan kembali. Di usia mudaku, aku ingin merambah dunia, mengenal lebih dekat dunia yang luas yang selalu hadir di mimpi-mimpiku.”
“Tak bisakah kau menetap di sini? Kau bisa mengolah tanah ayahmu yang luas itu, kau juga bisa membuat pukat-pukat untuk mengumpulkan ikan dan menjualnya ke kapal-kapal asing yang merapat di sini. Tanah, laut, semuanya memberikan apa yang kita mau. Kau lihat, banyak pendatang dari luar pulau yang sukses hidup di sini. Lalu kau, mengapa harus meninggalkan apa yang sudah tersedia? Apakah hanya gemerlapnya kota-kota dunia yang mengoyak pikiranmu hingga kau ingin meninggalkan aku dan semua kekayaan yang ada di sini? Berapa gaji yang akan kau dapatkan sebagai wartawan pemula, Jes, berapa?” air mata Kay turun perlahan. Bisu kembali menerjang. Ombak terus berpadu dengan tubir pantai.
“Kay, paling tidak aku bisa mewujudkan mimpi-mimpiku dulu, aku tak ingin seluruh usiaku terpatri dan membusuk di sini.” Ada nada kegusaran di kalimat Jes.
Kay tak mampu menahannya. Di pagi yang gelap, ketika ia mengantar Jes terbang ke Kupang dengan pesawat domestik Trans Nusa di Bandara Gewayantana Larantuka, hatinya kosong dan sepi. Ia merasa lelaki pujaannya tak akan pernah lagi dijumpainya. Kenangan tentang kisah mereka selama bertahun-tahun, seolah pupus tertiup angin pegunungan yang melingkari bandar udara.
Lalu, khabar itu menghentakkan persendian Jes, SMS terakhir yang diterimanya seakan menjadi sinyal kuat yang mampu menggoyahkan pijakan kakinya. Pukul tujuh pagi Kay mengabari kisah yang akan menjadi berita nasional yang memilukan, khususnya Larantuka.
Jes sayang, hari ini dari Pelabuhan Larantuka aku akan naik kapal motor untuk ikut dalam prosesi laut menjemput Tuan Menino. Kau tahu seperti apa kegiatan itu. Sudah lama sebenarnya aku ingin melakukan ini. Meluncur bersama kapal motor dan peserta prosesi lainnya di Selat Gonsalu, membuat aku merasakan bagaimana euforia bersama penduduk setempat ketika merayakan prosesi menjelang Hari Raya Paskah. Ramainya penumpang, membuat suasana kian menggelora dan meriah. Baiklah Jes, semoga kau selalu sehat dan senang di Jakarta. Nanti aku akan menceritakan lagi suasana prosesinya ya…
Jes termenung membaca pesan singkat itu. Ia yang menghabiskan masa kecilnya di kota berpanorama indah itu, tahu betul bagaimana kuatnya arus bawah laut selat yang sudah sering menelan korban. Semoga prosesi itu berjalan lancar dan tidak terjadi apa-apa pada mereka, khususnya Kay-ku, bisiknya perlahan.
Jumat pagi di kota Sao, Larantuka, segalanya berubah dan memberikan noktah hitam serta luka yang teramat dalam bagi Jes. Ia menunggu khabar selanjutnya dari Kay. Ingin mendengar kisah prosesi menjelang Paskah yang membuatnya rindu untuk pulang itu.
Jes terhenyak di tempat duduk kamar kostnya. Layar televisi yang menyiarkan tenggelamnya kapal motor tanpa nama pengangkut peserta prosesi laut menjemput Tuan Menino di kota Sao itu, benar-benar melemaskan seluruh jaringan ototnya. Kay ada di sana, di kapal motor itu! Oh tidak! Semoga tidak terjadi apa-apa dengannya! Jes meremas tangan kursi yang didudukinya dengan kuat, keringat dingin mengucuri kening dan punggungnya. Hari itu, tepat pukul sepuluh Waktu Indonesia Bagian Tengah, kapal motor itu diberitakan terbalik tak mampu menembus ombak tinggi yang menerjang tubuh kapal. Ditambah dengan saratnya penumpang yang melebihi kapasitas, kapal oleng, lalu terbalik dan terbenam perlahan-lahan ke dasar laut. Kehebohan dan jerit minta tolong membahana, menggantikan euforia prosesi laut yang pada awalnya dibinari oleh tawa ceria para penumpang kapal. Arus kuat bawah laut, dengan cepat menarik penumpang dan menggiringnya ke samudera luas. Tepat pukul sepuluh Waktu Indonesia Tengah itu, tangis perkabungan dan kepanikan penduduk Larantuka terdengar di mana-mana. Dari hasil pencarian, tujuh penumpang hilang, tiga orang tewas di kelurahan Waibalun-Lewolere dan yang lainnya berhasil diselamatkan. Dan Kay termasuk di dalam tujuh penumpang itu…
Jes kini benar-benar tak berdaya. SMS yang ia terima dari Sandro, kakak Kay membuatnya benar-benar tak mampu lagi untuk menahan air mata. “Tidaaaaak!” jeritnya dengan air mata berlinang. “Katakan padaku Sandro, Kay selamat, kan?”
“Apa lagi yang harus kukatakan padamu, Jes? Ini hari kedua kami menanti khabar pencarian dirinya. Hidup atau mati, dia harus ditemukan. Kami sudah mengerahkan semuanya, mulai dari TIM SAR Larantuka, Nelayan setempat hingga perenang-perenang ahli. Kay tetap tidak ditemukan.” jawab Sandro melalui telepon selulernya.
Jes terduduk lemas. SMS Kay yang ia terima dua hari yang lalu, ia baca kembali. Kay, seharusnya kau tidak naik kapal motor itu, seharusnya kau tidak ikut prosesi itu, seharusnya kau ada di sini bersamaku, seharusnya…lalu Jes mematikan televisi yang ada di hadapannya. Hanya satu yang ia harapkan ketika ia menghidupkan kembali benda bersuara itu nanti, Kay ditemukan!
Di sini, di tepi pantai Ujung Aro, Jes membuka kotak cincin yang akan ia berikan pada Kay di hari pernikahan mereka nanti. Katanya dengan suara tersendat, kau tahu Kay sayang, tujuanku bekerja ke Jakarta adalah untuk membeli ini, untuk mengumpukan biaya pernikahan kita, untuk membangun gubuk kecil seperti yang dulu kita cita-citakan. Aku sudah berjanji untuk tinggal selamanya di sini, hidup bersamamu, menggarap tanah warisan ayahku, membesarkan anak-anak kita yang akan lahir. Semua mimpi itu telah kurancang sedemikian rupa dan akan kukatakan padamu ketika aku kembali. Kay… kini tak ada lagi mimpi itu. Laut lebih menyintaimu dan kau bersemayam kuat di dasarnya.
Jes melarungkan sebuah cincin di air laut yang berwarna biru itu, pada camar yang terbang di atasnya ia berpesan, “Tolong sampaikan pada kekasihku, agar ia memakai cincin ini, ia adalah pengantin abadiku yang membenam kuat dalam sudut sanubariku…”
Pelajaran jurnalistik hari terakhir hampir selesai. Para peserta berhasil membuat karya jurnalistik dengan gaya dan kreativitas yang mengagumkan. Empat hari menerima pelatihan, telah membuat mereka menjadi jurnalis-jurnalis amatir yang cepat tanggap. Memang tidak sesempurna seperti yang Jes harapkan, ini berkaitan dengan waktu. Namun, di matanya, anak-anak pesisir yang dibantu para guru mereka, telah menunjukkan bahwa di mana ada kemauan di situ pasti ada hasil nyata yang memuaskan.
“Kalian hebat, saya kagum pada kalian,” ujar Jes di akhir kata sambutannya.
“Kapan Pak Jes kembali ke Jakarta?” tanya Paolo, salah satu siswa yang aktif di kelas jurnalistik asuhannya.
Jes tersenyum penuh arti. Lalu dengan nada suara lantang ia berkata, “Setelah urusan pemindahan selesai, saya akan menetap di sini. Saya akan membuka sanggar penulisan, teater, dan pembacaan puisi di sini. Kalian bisa datang ke tempat saya nanti. Doakan semoga semuanya berjalan dengan lancar.”
Lalu, sore yang mulai tersapu mendung itu, riuh oleh teriakan bahagia dari para peserta. Anak-anak berlari memeluk Jes, “Benar Pak? Benar Bapak akan menetap di Larantuka?” tanya mereka.
“Ya, benar…” katanya pasti.
Kay, aku kembali, kuharap kau tersenyum di atas laut lepas sana, bisik Jes sembari memandang birunya laut yang tampak dari luar jendela sekolah. ***
Depok, Maret 2015