CERITA JUMAT MALAM: Santri Ke 13

cerpen jumat malam: Santri ke 13 ( Foto: Jatimnetwork)

EFFIE S HIDAYAT

“Ayo, siap-siap. Ikut Bapak. Malam ini kita tidur di apartemen saja. Di sana lebih nyaman…. “

Lies menggeleng. Rona wajahnya mendadak pias. Terlebih, lelaki di depannya itu mulai mengelus perutnya yang membuncit. Sungguh mati, dia geli sekali, benciii, bahkan muak. Rasanya ingin ditikamnya saja pria bertubuh gempal itu. Tetapi, Lies tak berdaya. Dan, dia hanya bisa mengerutkan tubuh. Gemetaran mendengarkan janji-janji manisnya.

“Akan kutanggung semua beaya melahirkan anak kita nanti. Percayalah tak akan kutelantarkan. Semua akan sekolah tinggi, beriman, dan berguna bagi nusa bangsa.”

Aduh, mau muntah rasanya! Lies benar-benar mual. Ia tahu dirinya sedang hamil. Sudah jalan tiga bulan. Sesungguhnya ia  takut sekali. Sebagai anak remaja yang baru berusia 15 tahun, ia merasa tidak tahu apa-apa. Dititipkan orang tuanya ke pesantren untuk belajar ilmu agama dan menjadi gadis soleha. Tetapi, apa yang sudah ia dapatkan?

Lies tertunduk lesu. Nasibnya malang nian. Tak mampu berbuat apa pun. Sesungguhnya dia sedang galau, bingung, kepingin pulang kampung. Tetapi, takut orangtuanya marah. Dan, terlebih paksaan dari ustad, guru pengasuhnya di pesantren ini sangat tak bisa ditolak. Lies pernah mencoba, dan ia mendapat hadiah guratan di bibir akibat tamparan. Bukan cuma wajahnya yang luka, tetapi hatinya juga.

Lies pun tahu pasti, bukan hanya dia seorang yang menjadi korban. Ada Dewi, Ice, Rina, Maya, Sari, Imah, siapa lagi…? Lies menghitung bolak-balik. Dahinya berkernyit, berpikir keras. Sudah menjadi rahasia umum di pesantren ini. Ada 12 santriwati dari 30 penghuni yang menjadi gundik. Dan, jumlahnya bisa jadi kian bertambah, terus bertambah. Tinggal tunggu waktu saja.

Dan, Lies sendiri tidak yakin, apa sungguh jumlahnya genap 12? Tidak ada yang lain? Semua anak perempuan di sana pun nampaknya sudah gerah. Mereka resah dan takut. Merasa diteror. Tapi, mereka tak punya nyali melapor. Sewaktu-waktu bisa jadi, kapan saja, mereka yang dipilih. Dan, telah tiba giliran Lies. Bahkan, hasilnya pun telah berbuah. Siapkah ia menjadi ibu dan punya anak?

Lies sudah melihat Kak Dewi yang usianya terpaut dua tahun di atasnya, ke mana-mana menggendong bayi yang kerap disebut sebagai adiknya. Atau, Lina, yang malah lebih muda tiga tahun itu. Kasihan, air susunya tak keluar. Dan, bayinya menangis terus sepertinya haus kelaparan. Sementara, sang ibunya sendiri masih bingangbingungbengong tak mengerti apa yang harus mereka lakukan.

Tak lama lagi jumlah bayi di pesantren ini akan bertambah satu lagi dengan… bayinya? Oh, oh! Kepala Lies serasa dipukul palu godam yang teramat berat. Dia tak mampu berpikir lagi, mulai melenguh mual. Dan akhirnya, muntah menjerit-jerit. Teriakannya yang keras disambut santriwati lain. Dan, genaplah sudah kehebohan itu!

“Mereka semua kerasukan? ” Arif berkomentar heran, menoleh kepada  Rieke, sejawatnya di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mereka bergegas ke Pesantren TB di Cibiru karena mendapat laporan ajaib.”Para santriwati berjumlah 12 orang di pesantren itu mendadak kesurupan! “

Rieke tak menggeleng, pun tak mengangguk. Dia takjup. Sudah mahgrib memang. Itukah penyebabnya? Dan, nampaknya anak perempuan bertahi lalat manis di atas bibir ranumnya yang sebelah kiri itu adalah pemimpinnya. Dia  gesit dan licin seperti belut. Tak bisa ditangkap sama sekali. Setiapkali dia berteriak, maka yang lain akan mengikuti.

Lalu, tiba-tiba mendadak hening. Kelihatannya mereka semua kecapekan. Banjir keringat dan air mata setelah tubuh dan suara mereka tak henti bergerak, berbicara. Melihat tubuh yang bergelimpangan tergeletak di lantai itu, Rieke memutuskan ini saatnya dia bekerja. Bersama Arif, ia memberi mereka minum banyak air putih agar lebih tenang.

Saat mengabsen satu per satu itulah bulu kuduk Rieke berdiri. Dia merasakan kehadiran entitas lain. Lies menyebut bahwa namanya adalah… Anissa. “Siapa Anissa? ” tanyanya kepada Ustad Heru, sang pengampu sekaligus pengasuh pesantren. Sedari awal mula bertemu dia kelihatan sangat percaya diri. Tetapi, lihat wajahnya sekarang! Mengapa ia terkejut sekali saat nama Anissa disebutkan?

“Tidak… tidak ada santri yang bernama Anissa, ” katanya gugup. Matanya berkedip berulang, dan tangannya gelisah memainkan tasbih yang dikeluarkan dari kantong bajunya.

“Bohong! Dia bohong! Bajingan itu berdusta! ” Tiba-tiba Lies berteriak lagi. Bahkan, dia ingin menerjang sang Ustad. Dan, kali ini Rieke sigap mengajak  Arif untuk menggandeng anak gadis itu menuju ruang berbeda.

Santri yang satu ini harus dipisahkan dari yang lain, jika tak ingin kericuhan terjadi lagi. Mereka semua stres, seperti dipicu kelelahan mental luar biasa. Namun, Lies yang mengaku diri sebagai Anissa ini berbeda. Sepertinya dia bukan gadis yang sama bernama Lies seperti yang tercatat dalam data santri yang sedang belajar di pesantren ini.

“Aku tidak mau duduk! Ajak aku ke sana! ” Katanya menolak keukeuh dan malah gantian digandengnya Rieke menuju ke sebuah pilar di lorong dekat dapur. “Di sini, galilah di sini. Aku, Anissa ada di sini…, ” Jadi telunjuknya tak henti bergoyang menunjuk ke arah pilar.

HaApaaa… maksudnya? Rieke bingung sekali. Namun, dia tanggap melihat tingkah laku Ustad Heru yang seperti tikus terperangkap dan terburu ingin melarikan diri. Aris sudah menelepon pihak yang berwajib. Nampak ada yang tak beres di sini. Mengapa ada sembilan bayi di kamar belakang. Kamar itu tak lazim pula lokasinya seperti tersembunyi. Mengapa para santriwati yang notabene masih kanak itu seperti ketakutan, memendam sesuatu?

Ketika polisi datang  akhirnya mereka pun menggali pilar . Karena Lies yang mengaku Anissa itu memaksa. Ia

berontak, menangis, dan mengeluarkan suara erangan aneh tak biasa yang menguras detakan jantung manusia normal. Ia pun nyerocos seperti sepur . Bertutur mirip potongan kisah sinetron tak masuk di akal, yang diurai Rieke tanpa disadarinya sendiri. Dan,… akhirnya mereka semua terbelalak. Apa yang diketemukan?

Tumpukan tulang kerangka manusia! “Itu aku! Kuburkan aku yang layak! ” Anissa alias Lies mendesis. Air matanya mengucur deras. Kepingan puzzle di kepala Rieke bukan sekadar imaji lagi, melainkan nyata. Terlebih ekspresi wajah Ustad Heru dan reaksi ketakutannya yang jelas-jelas akan mengambil langkah seribu, segera ditindak tegas oleh polisi dengan menangkapnya.

Ya, terkuaklah kisah tersembunyi itu. Ada seorang santri geulis bernama Anissa, asal Cianjur. “Katanya sih, dia tak sanggup lagi belajar di sini dan memutuskan pulang kampung.Itu sebabnya dia tak pernah kelihatan lagi,” cerita Mbok Darmi, pengurus kebun yang datang sesekali (karena begitulah yang diperintahkan sang Ustad). Ternyata, menurut pengakuan sang Ustad, Anissa yang menolak disetubuhinya terjatuh. Kepalanya terbentur pilar batu itu dan meninggal seketika.

“Tak ada jalan lain selain menguburnya di situ,” Ustad Heru menyeringai.

Duh. Rieke tak sanggup menahan kegeraman sekaligus lara yang menembus hatinya. Bisa dibayangkan  betapa para santriwati yang masih di bawah umur diperkosa bergilir oleh guru agamanya sendiri, bahkan sampai punya bayi? Ada 9 bayi dan 12 ibu muda yang tidak tahu apa-apa. Bahkan, ada 2 lagi yang dalam kondisi hamil (termasuk Lies!)

“Jangan lupakan aku, santri ke 13,” Tiba-tiba didengarnya sebuah suara berbisik dekat sekali di telinga Rieke. Kali ini bukan Lies yang  duduk bengong ngedeprok di lantai. Gadis berkerudung yang tersenyum kepadanya di sisi pilar itu….

“Anissa?” Rieke berbisik lirih dengan bulu kuduk meremang menyebutkan sebuah nama dengan air mata mengalir deras di pipi. Gadis itu mengangguk, bibirnya bergetar seolah mengucap “Hatur nuwun” yang dieja pelan-pelan, lalu bayangnya menghilang begitu saja.

Rieke terduduk lemas. Sudah lama ia mengingkari, bahwa dia sejatinya bisa melihat ‘dunia lain’. Dia terpukul sekali. Baru saja Rieke pulang dari Padang, menyelesaikan kasus dua anak perempuan usia 5 dan 9 tahun yang diperkosa keluarganya sendiri. Kakek, Paman, tiga kakak kandung lelaki yang juga masih di bawah umur (mereka katanya ‘cuma meniru’ sang kakek saat beraksi!), dan bahkan tetangga yang masih buron….

Arrghh, dunia ini benar-benar sudah gila! Butuh banyak mulut yang berani membuka kasus ini ke masyarakat. Jangan cuma ditutupi karena alasan malu atau stigma penghakiman lain justru dari sekitar kita sendiri yang kadang tak masuk di akal. “Jangan sampai lagi ada santri ke 13 yang hilang tersembunyi seperti tak berbekas…, ” lidahnya kelu, tersekat napasnya yang pepat.

“Atau seperti …aku …, ” Gumaman terakhir Rieke bikin mata Arif mendadak membelalak lebar. Sangat lebar.

“Hei, apa aku tidak salah dengar?” Spontan Arif bereaksi.

“Tidak.Kau tidak salah dengar.  Aku… aku pun pernah mengalami hal sama oleh pamanku sendiri ketika kecil. Sayang dia sudah meninggal, kalau tidak aku akan menjebloskannya ke penjara seperti Ustad bejad itu! Semoga dia dijerat pasal dan hukum pidana seberat-beratnya! “

“Jadi, ini saat yang tepat aku jujur kepadamu, Rif. Itu kalau kau memang mencintaiku tulus seperti yang kau utarakan. Aku sungguh tak mau menjadi santri ke 13…,” Rieke menggeleng dengan tegas. Matanya lurus menatap Arif, lelaki yang katanya selama ini mencintainya. Tetapi, Rieke masih saja menggantungnya, belum memberi jawaban. Hingga hari ini….

Menurutmu, apa yang akan Arif katakan?

101221,06:06.

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang