Effi S Hidayat
Ah, hari yang tak lagi sama. Nola bergegas berlalu dari ruang kelas fakultas ekonomi yang biasa ramai oleh gelak tawa teman-temannya. Mereka tak lagi menyapanya dan dia sendiri segera melipir pergi karena merasa malu.
Di halte tempat ia biasa menunggu bus, Nola merenungi tetes-tetes hujan yang menderas. Walau tak bawa payung, untung saja baju dan tas-nya tak kuyup. Lagian remaja putri di sebelahnya pun tak peduli, asyik dengan gadget-nya. Nola menghela napas panjang. Sejak hari itu, ia tak bisa lagi bermedsos- ria. Tak ada gairah. Lesu, hampa, entah apa lagi yang dirasakannya.
Nola masih ingat betul saat ia dipanggil ke ruang Dekan. Ada tiga petinggi kampus, yang tak usahlah disebutkan namanya, namun membuat Nola muak. Serasa ingin muntah, dan tangisnya tak terbendung lagi. Keluar tanpa suara.
“Pakai baju apa kau, saat itu?” Sang Rektor bertanya lugas, diikuti anggukan setuju kedua rekannya. Padahal, seorang di antara mereka adalah perempuan. Bagaimana mungkin mereka tega melontarkan pertanyaan yang lebih mirip tuduhan? Seolah-olah intinya; “Benarkah kamu sendiri tidak setuju?” Ya, Tuhan. Sungguh bodoh, tak punya nurani!
Dengan napas sesak, Nola menunjukkan foto diri di ponselnya. Kebetulan hari itu ada acara sesi foto bareng teman-temannya. Dan, wajah ketiga petinggi kampus itu dingin, seolah tak percaya. Saat itu, Nola mengenakan kemeja lengan panjang dengan kancing tertutup sampai ke leher malah.
“Hem-mu ketat, mungkin?Atau, jins-mu….”
“Bapak, Ibu yang terhormat, percayalah kepada saya. Tak terbersit sekali pun seujung jari niat saya untuk menggoda. Tetapi dosen R itu, dia menarik saya begitu cepat dari ruang bimbingnya ke sudut perpus. Memukul, lalu… lalu memerkosa saya! “
Nola terisak. Dia sudah berusaha angkat bicara, memerjuangkan haknya. Tetapi, apakah mereka mau mendengarkan? Percaya ceritanya saja sulitnya setengah mati! Dia malah disudutkan. Dihakimi sedemikian rupa sebagai perempuan penggoda nafsu syahwat lelaki. Duh, apakah pemerkosaan itu identik dengan rok mini penggugat birahi? Picik nian!
Lalu, bagaimana ia dapat memberikan bukti, bahwa ia telah dirisak secara kekerasan seksual oleh dosen pembimbingnya sendiri? Padahal, hidup dan masa depannya telah hancur. Benarkah nama baik kampus lebih penting ketimbang nama baik korban?
“Mana buktinya? Manaaa?” Geram dosen R menggelegar, lebih galak malah dari Nola. Mungkin karena ia merasa dirinya terancam. Repotnya, tak ada satupun teman-teman yang melihatnya. Apalagi tak ada kamera CCTV di ruang perpus yang gelap itu.
Nola ditarik ke sana. Dan, saat itu kampus sudah tutup. Jam yang rawan, karena Nola pun tak akan berani datang jika saja ia tak dijanjikan waktu menyelesaikan skripsinya. Ah, tololnya dia saat itu. Percaya saja kepada lelaki jahanam hidung belang itu!
Sekarang, di ruang kamar kos-nya yang melompong, Nola hanya bisa menangis meraung. Tak mungkin ia menceritakan hal mengerikan yang telah terjadi kepada orangtuanya di kampung. Mereka menaruh harapan besar kepada dirinya. Dan, Nola hanya anak perantauan yang mencoba mengadu nasib ke ibukota dengan modal beasiswa yang diterimanya.
“Horeee! Aduh, aku senang sekali mendengar kabar gembira ini, Ta. Semoga Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus segera resmi diterbitkan tanpa aral melintang.”
Flora melanjutkan bersemangat, “Isu ini, ‘kan ibarat api dalam sekam. Keresahan tingginya kekerasan seksual sudah lama terjadi di lingkup perguruan tinggi. Tetapi tak ada yang berani bicara karena malu, atau…ah, entah alasan stigma apa lagi.”
“Ya, termasuk Nola. Dia berani memerjuangkan hak-nya, walau…, ” Hiks, hiks! Nola mendengar Teta, teman sesama kos di sebelah kamar tiba-tiba tersedu sedan. Hati Nola mendadak pilu. Dia sadar betul ujung kalimat yang tak terselesaikan itu. Ngilu!
“Ya, ya, bayangkan, menurut data survei Kemendikbud, 77 persen dosen mengakui telah terjadi kekerasan seksual di kampus!” Nah, itu suara Flora lagi. Dia tipikal mahasiwa yang paham betul soal data.
Hmm, benarkah sudah terwujud Permen Kemendikbudristek tentang masalah ini? Nola memasang kuping dengan penasaran sedikit lega. Ada secercah asa di dadanya yang pepat.
Kampus ternyata bukan ruang yang aman. Harus ada penanganan kepastian hukum tentang masalah kekerasan seksual yang bukan lagi sekadar gunung es di permukaan saja, melainkan digali, dan digali lebih dalam lagi hingga ke dasar. Masyarakat awam perlu menyadarinya.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Ibu Rusti, pemilik kos, diikuti Teta, Flora, dan ada seorang lelaki berambut putih, dengan jubah berwarna sama, masuk ke dalam. “Romo Bayu”, Nola mendengar Bu Rus menyebutkan namanya penuh hormat. Dia khusyuk berdoa lalu memercikkan air suci ke sekeliling ruang.
Ajaib. Dingin, adem, sejuk. Terasa menghirup hawa pegunungan. Ada perasaan damai menyelimuti hati Nola. Hanya sekejap, dalam hitungan detik, Nola merasakan pandangan matanya bertemu dengan Romo Bayu.
Pria berjubah putih dengan collar putih khas di leher, menandakan ia seorang imam , menganggukkan kepalanya, seolah memberi salam kepada Nola. Dan, ia mendengar suaranya yang lembut, ramah, tanpa nada kasar mengusik.
“Ampuni dosa-dosa kami. Selamatkan kami dari api neraka dan hantarkanlah jiwa-jiwa ke dalam surga. Pergilah dengan tenang, anakku. Rahmat Tuhan besertamu,” Dia mengangguk sekali lagi kepada Nola, dan tersenyum. Hangat sekali. Tangan kanannya bergerak melayang membuat tanda salib di udara.
Hening sejenak. Nola merasa ada cahaya putih menghampirinya. Dan, sukarela pasrah berserah ia rindu menghampiri cahaya itu. Senyum damainya tetirah di dada. Nola bersyukur mendengar kabar gembira yang disampaikan kedua temannya.
Semoga kondisi mahasiwa menjadi lebih terlindungi tidak bernasib malang seperti dirinya. Ya, memutuskan untuk mengakhiri hidup bukanlah pilihan baik. Tetapi, sudah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
Nola tak mampu lagi menahan beban. Derita yang ditanggungnya terlalu berat.
Nola tak menyangka Bu Rusti mau bersusah-payah memanggil seorang Romo untuk mendoakan dan membersihkan kamar yang pernah ditempatinya. Nola merasa Romo Bayu memahaminya. dan telah berupaya sungguh mengantarnya pulang menuju cahaya keabadian.
“Speak up! Angkat bicara, bukan hal buruk yang memalukan. Justru harus diperjuangkan. Pergilah dalam damai, sahabatku, ” Teta dan Flora menguntai doa khusyuk di dalam hati. Tulus mengharu biru.
Dan, Nola pun memeluk cahaya putih keemasan yang datang itu dengan tenang….
Awal Desember 2021,08:31.
BACA JUGA