Cerita Kenangan Penganut Atheis ‘Bersyariah’

Dibesarkan dari keluarga santri, keluarga besarnya memiliki pesantren, lalu menjadi sekuler, ingin jadi religius, pergi haji, tapi sesudahnya terpuruk terlempar secara ekstrim, menjadi atheis. Atheis syar’i.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

KALAU Anda mengira saya sedang mengolok olok orang dengan menciptakan istilah “atheis syar’i” atau “atheis bersyairah” di tengah trend komunitas muslim wajah baru – gelombang Islam kagetan – yang mabuk penampilan serba “syar’i” kini – Anda keliru.

Sebutan dan istilah itu lahir dari pelakunya sendiri. Dia mengaku sendiri, pernah menjalani kehidupan sebagai “atheis bersyariah” alias “atheis yang syar’i”.

Yang dimaksud dengan “atheis bersyariah” adalah dia kehilangan rasa percaya kepada Tuhan – menganggap Tuhan tidak ada dan tidak ada campur tangan dalam nasib dan kehidupannya – namun dalam pada itu dia masih beribadah layaknya umat beragama; rajin shalat dan puasa – lantaran dia tinggal di tengah keluarga yang taat ibadah. Sebagai penyamaran.

“Shalat dan puasa buat basa basi. Karena saya sudah bergelar haji. Dilakukan secara mekanis, sebab nggak enak hati sama saudara, ” katanya. “Kalau di hati saya sudah nggak ada rasa percaya sama Tuhan. Bagi saya Tuhan tidak ada, ” tegasnya.

Saya terkejut mendengar pengakuannya yang blak blakan itu. Ada banyak pengalaman saya ketemu “atheis” (tidak percaya tuhan) dan “agnostik” (percaya tuhan, tapi tak percaya agama), “abangan” (percaya tuhan dan agama, tapi tak menjalani ibadah dan ritualnya) atau “freelance religion” alias beragama suka suka. Biasanya mereka bicara diam diam, bisik bisik, hanya kepada teman karib atau saling tahu saja.

Dia mengenangkan masa masa krisis iman yang parah, di antara tahun 2005 – 2007 lalu. Dibesarkan dari keluarga santri, keluarga besarnya memiliki pesantren, lalu menjadi sekuler, ingin jadi religius, pergi haji, tapi sesudahnya terpuruk terlempar secara ekstrim, menjadi atheis. Atheis syar’i.

Hal yang mengejutkan adalah dia menjadi atheis setelah menjalani ibadah haji plus plus, dengan biaya 1.500 dollar . “Sudah dapat gelar haji, tapi hilang rasa percaya sama Tuhan, ” akuinya.

Dia mengaku salah perhitungan dan dapat pelajaran yang keliru.

Dulu, dalam bayangannya – dan sebagaimana dinasehatkan para orangtua – mereka yang pergi haji akan menjadi makmur, ongkos akan kembali, karena hidupnya berkah dan rezeki melimpah. “Tak ada riwayat orang pergi haji jatuh miskin, ” kata para pendakwah. Umumnya pergi haji tambah kaya dan ketagihan, hingga menjalani ibadah haji ke dua ke tiga dan seterusnya.

Yang terjadi padanya sebaliknya. Gara gara pergi haji, dia jatuh miskin. Bangkrut. Hilang segalanya. Dengan gelar haji yang disandangnya, teman teman sekulernya menghindar, projek proyek yang mendatangkan uang menjauh, bahkan menghilang. Peralatan kerja raib dibawa partner bisnis. Hutang bertumpuk. Dikejar debt collector.

Diakuinya, sejak pulang berhaji – dia pilih pilih pekerjaan dan tak terima sembarang job. Teman teman dan client pun menyingkir satu per satu.

Krisis ekonomi yang parah, hingga menjadi pekerja tanpa alat – dikejar para penagih hutang – berimbas pada krisis iman juga. Janji para pendakwah dengan haji hidup akan berkah – tak sesuai fakta. Dia malah terpuruk. Merosot ke titik nadir. Tuhan yang telah disambangi di rumahNya di Tanah Suci dirasa tak menolongnya. Dia menyalahkan Allah.

Hingga dia menegaskan diri memilih jadi atheis. Atheis bersyairah.

SEBELUMNYA dia menjalani hidup sebagai fotografer profesional. Bahkan menjadi instruktur di kelas kelas fotografi. Mendapat kemakmuran dan kejayaan dari memotret. Dia banyak mengerjakan proyek foto di hotel hotel berbintang, menggarap wedding, iklan dan job dari korporasi.

Mengejutkan ketika dia menyebut peralatan dan project yang dikerjakan. Dia menyebut Canon serie D. Kamera level pro. Pernah memotret untuk National Geography, majalah esai foto bergengsi. Klas dunia.

Sudah menjadi kelaziman di kalangan fotografer untuk ‘kepo’ seputar perangkat yang dipakai, projects yang dikerjakan – karena dengan itu menunjukan kelas dan level profesionalitasnya.

Spontan saya pun bertanya “pakai kamera apa?” dia menjawab Canon serie D generasi awal. Setahu saya itu kamera masa transisi di antara manual / mekanis ke digital.

Bowens atau Broncolor ? ” saya pun tergelitik mencari tahu perangkat lain yang dipakainya.

“Jimbe, made in China. Murah meriah. Tapi kalau ada project besar ya saya sewa Bowens, ” akuinya. Broncolor dan Bowen merk lampu – untuk para fotografer dan studio papan atas. Untuk kamera, ada Hasselblad, format medium bikinan Swiss, yang dijuluki “Mercy-nya kamera”.

Selanjutnya menemukan titik cerah

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.