FAHD MUHAMMAD, tokoh yang saya ceritakan ini melewati gelombang hidup dan perubahan drastis dari pemilik kendaraan yang mendapat perlakuan istimewa dari tukang parkir, dimuliakan oleh bartender – karena rutin dugem, rajin buka botol dan hura hura bersama teman atau klien, menjadi peminta kopi gratisan di kafe langganan – saat duduk dipojok merenungi nasibnya yang terpuruk. Blangsak.
Setiap hari dia pergi ke mana saja, naik motor butut, sekadar lari dari kejaran debt collector. Untuk beli bensin pun dia minta sama emak.
Sampai satu ketika dia main ke tempat teman menemukan foto mengejutkan. Foto seorang mirip imam di Iran. Dia menanyakan iseng, “itu siapa?” Dan temannya menyatakan itu guru spiritualnya. Lalu dia tertarik untuk ketemu.
Perubahan terjadi sejak itu. Dia mulai mendapat ketenangan. Meski tak belajar apa pun. Sekadar main dan ngobrol. Numpang tidur juga. Lalu sang guru datang dari luar negeri. Mengejutkan saat sang guru menyebutnya, “sudah lama saya tunggu.” Dia mendapat pencerahan.
Maka perubahan terjadi lagi drastis. Dia balik kanan. Dari atheis kembali ke syariah. Sepenuhnya. Rejeki berlimpah. Masalah ekonominya teratasi.
Kini Syeh Fahd Muhammad menjalani hidup sebagai imam, memimpin tarekat, mengelola pengajian, di pinggiran perbatan Jakarta – Bekasi – banyak melakukan perjalanan dakwah. Masuk ke basis HTI.
Saat saya jumpai, Kamis malam itu, bersama teman teman GUSDURian, dia baru pulang dari Kalimantan, tapi banyak cerita saat ikut muktamar NU di Lampung beberapa waktu lalu.
“Saya ikut ‘Romli’ – rombongan liar selorohnya.
Dia berteman karib dengan Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan muslim, tokoh Islam Liberal itu. Ikut mendukung Gus Yahya yang terpilih sebagai Ketum NU terpilih, kini.
Gelombang hidupnya seperti cerita film. Riwayat spiritualnya banyak kejutan. Naik turun. Di usianya yang belum lagi 50 tahun, Syech Fadh Mohammad melewati masa masa religius, menjadi sekuler, pergi haji, berubah jadi atheis, merosot ke titik nadir dan kini religius lagi.
Alhamdulillah. ***