Setelah menikah dan keluar dari Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo terjun ke dunia usaha. NoKoes merintis dengan membeli sebuah bemo dan menyopirinya sendiri untuk trayek Pasar Kebayuran Lama – CSW Bulungan. Para sopir yang mangkal di sana, menyepakati untuk membentuk organisasi dan memilihnya sebagai ketua perhimpunan.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id – “Telah berpulang ke rahmatullah, Ayahanda kami, Akung kami, Koesnomo Koeswoyo bin Koeswoyo, Rabu 15 Maret 3024 pukul 19:30 WIB di Magelang, Jawa Tengah, dan akan dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Pasarminggu, Jakarta Selatan,” demikian antara lain topik berita yang dilayang-luaskan Chicha Koeswoyo, putri sulung Almarhum.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Semoga lapang dan terang kubur almarhum Bang Nomo Koeswoyo.
Mendadak saja saya jadi ingat almarhum Bang Teguh Esha dan almarhum Bens Leo, dua sedulur saya di jalanan yang tahun 1970-an secara berbarengan memper’kenal’kan saya kepada Bang Nomo Koeswoyo di pinggir jalanan CSW Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Almarhum Bang Teguh Esha, jurnalis dan penulis (antara lain) novel populer Ali Topan Anak Jalanan, saya kenal tahun 1969 saat dia sering numpang ngetik di sebuah toko kembang di pinggir Kobakan Comberan Kebayoran (yang kini bersalin rupa memjadi Taman Ayodhia).
Bang Teguh yang menginspirasi saya angkat kaki dari kehidupan sebagai ‘anak jalanan’ untuk kemudian hidup dan bekerja sebagai penulis dan jurnalis.
Almarhum Bens Leo yang bernama aseli Benny Suwandito, adalah adik dari fotografer almarhum Mas Harry Suwandito, aktivis senior di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan/ Gelanggang Bulungan, yang juga sahabat dekat Bang Teguh Esha.
Bens seumuran dengan saya. Di tahun 1969-an juga saya kenal Bens, saat saya masih berprofesi sebagai pengecer koran dan majalah.
Selain berkeliling ke jalan-jalan di Kebayoran Baru, tiap siang saya biasa mangkal, menggelar lapak koran dan majalah di pojok tanah kosong tempat parkir traktor dan alat-alat berat (kini komplek Gedung Sekretariat ASEAN) di perempatan CSW, PLN Kebayoran, Gedung Pusat Kejaksaan RI, dan Peruri yang saat itu masih dikenal sebagai Percetakan Uang Kebayoran.
Benny Suwandito (baru belakanhan saya tahu bahwa dia adalah penulis dengan nama Bens Leo) dan abangnya, Harry Suwandito, tinggal bersama keluarga mereka di komplek perumahan Peruri/Percetakan Kebayoran di Jalan Hasanuddin, persis di seberang Timur Gedung Kejaksaan RI.
Begitulah…di siang hari saat senggang, Bens kerap mampir ke lapak koran/majalah yang saya gelar di hook CSW (Centrale Special Werken/lembaga khusus pekerjaan umum yang membangun kota Kebayoran Baru) untuk mecari Yudha Minggu Sport & Film (koran minggu Harian Umum Berita Yudha) ataupun majalah Varia Nada (dan belakangan majalah Aktuil) yang memuat foto dan tulisan karya Bens Leo.
Sejujurnya, selain Bang Teguh Esha, apa yang dilakukan Bens Leo (memotret artis musik terkenal, menulis dan memuat beritanya di koran atau majalah) sungguh menggugah saya untuk beberapa tahun kemudian hengkang dari jalanan dan coba menjadi penulis. Bens juga …orang pertama yang mengajak saya ketemu langsung sosok figur: Nomo Koeswoyo.
“Nomo Koeswoyo, penabuh drum Koes Bersaudara? Lho, sampeyan kenal, tho…?” tanya saya antusias, saat sekali waktu Bens bilang mau ketemu Nomo, nggak jauh dari lapak koran dan majalah yang saya gelar, dan karenanya, sila bila saya mau ikut Bens juga bilang bahwa Mas Nomo Koeswoyo itu terhitung saudaranya, karena Mas Nomo menikah dengan Mbak Mies (ibunya Chicha, Helen dan Reza) yang tak lain adalah kakak sepupu Bens Leo dan Mas Harry Suwandito.
Seperti sudah saya bilang saya juga dekat dengan Bang Teguh Esha yang wartawan tulis dan Mas Harry Suwandito (abang kandung Bens Leo) yang wartawan foto.. Karena itu berita bahwa saya akan diajak Bens ketemu Mas Nomo, segera saya bocorkan ke Bang Teguh Esha dan Mas Harry Suwandito. Siapa tahu keduanya juga tertarik datang dan bikin berita, ha…ha…ha…!
Siapa mengira, baik Bang Teguh maupun Mas Harry (sebagai wartawan dan Anak Kebayoran Baru) nyatanya sudah tahu bahwa akan ada acara ‘kecil” menyangkut Nomo Koeswoyo di pangkalan bemo (kendaraan nermotor roda tiga produk Daihatsu -Japang yang sejak 1963 jadi angkutan umim di banyak ruas jalan di Kota Jakarta) di pinggir lapangan bola (kini kolam renang Bulungan) di pojokujung timur Jalan Kiyai Maja – Bulungan, CSW, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Lho, apa hubungannya antara Nomo Koeswoyo dan Pangkalan Bemo di ujung Jl. Bulungan? Ternyata, pasca Koes Bersaudara bubar (usai dibui 3 bulan penjara Glodok tanpa diadili, di zaman Soekarno), Nomo Koeswoyo memilih jalan sendiri sebagai pengusaha. Usaha awal yang dilakoninya adalah membeli sebuah bemo dan menyopirinya sendiri untuk trayek Pasar Kebayuran Lama – Velbak – Taman Puring – Pasar Majestic – CSW Bulungan (sebagai pangkalan utama) hingga Pasar Santa di pinggir ujung timur Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Berhimpun, berorganisasi adalah hak semua orang. Sore itu, tahun 1970 di pinggir lapangan bola CSW Bulungan, para sopir bemo sepakat mengangkat Nomo Koeswoyo – mantan drummer Koes Bersaudara sebagai Ketua Perhimpunan Sopir Bemo untuk trayek itu. Maka beberapa hari kemudian terbetik berita: “Nomo Koeswoyo, Ketua Persatuan Sopir Bemo Kebayoran” begitu tulis Bens Leo di koran Yudha Minggu Sport & Film.
Sementara di Majalah Selecta, Bang Teguh Esha (dan fotografer Harry Suwandito) menulis judul: “Nomo Koeswoyo, Boss Sopir Bemo Kebayoran.
Kenangan ringan yang imdah. Al-Fatihah buat almarhum.Bang Teguh Esha, Mas Harry Suwandito , Bens Leo, dan Bang Nomo Koeswoyo.
Selamat Jalan Bang Nomo Koeswoyo!
16/03/2023 PK 12:10 WIB.