‘Lockdown’ berkepanjangan tidak menyurutkan semangat Warga Senior asal Indonesia di Australia, untuk tetap beraktivitas. Berlatih Zumba, mengajar bahasa, tari Bali via online, juga mengaji. Laman Radio Australia mewawancarai mereka. foto : ABC / Australian Indonesian Association of Victoria (AIA)
INI cerita tentang para lansia – warga lanjut usia – Indonesia yang menetap di Australia. Di sana mereka disebut sebagai Warga Senior. Di tengah lockdown yang berkepanjangan, sejumlah warga senior asal Indonesia tetap aktif melakukan kegiatan. Selain latihan Zumba, mengajar bahasa, hingga menari Bali.
Sitti Mulia, 80 tahun, menetap di Australia sejak tahun 1972, dan saat pandemi Covid 19 – sekarang masih aktif ikut kelas zumba tiap minggu.
Keharusan tinggal di rumah selama pandemi yang ditetapkan Pemerintah Negara Bagian Victoria bukan jadi halangan bagi Sitti Mulia, meski sudah 80 tahun, untuk tetap aktif mengikuti berbagai kegiatan secara daring.
“Untuk saya sih sebenarnya sibuk juga, seperti hari-hari biasa. Saya ikut UTA [University of Third Age], ini sekolah untuk nenek-nenek,” ujarnya kepada jurnalis ABC Indonesia .
Selama pandemi tingkat kesepian yang dialami warga senior berlangsung sepanjang hari. Tante San, panggilan Sitti Mulia, mengikuti pelajar dari sekolah tersebut lewat Zoom.
“Kebetulan saya ikut pelajaran exercises (olahraga), seperti Taichi dan Zumba, dua kali seminggu,” tambahnya.
Sitti Mulia yang masih tetap aktif kuliah pada Univeristy of Third Age, yaitu pendidikan untuk warga senior di Australia. Tante San pertama kali tiba di Australia tahun 1972 bersama suaminya, Sahuri Mulia, yang saat itu bekerja di ABC Radio Australia.
Selain pelajaran olahraga, dia juga sebenarnya ikut kelas bahasa dan piano di UTA. Namun, kelas bahasa dihentikan untuk sementara karena keterbatasan pengajar.
“Sejak sebelum pandemi saya ikut semua kelas ini. Waktu itu saya datang langsung ke kelas, ketemu teman-teman yang lain,” jelasnya.
Tante San juga secara rutin mengikuti kegiatan yang digelar oleh komunitas Indonesia. Salah satunya, mengaji Al Quran bersama, melalui program ‘one day one juz‘.
“Ini semua untuk mengisi waktu sebenarnya. Jadi pandemi ini bagi saya tidak begitu berpengaruh. Malah kadang saya merasa kewalahan,” tuturnya.
Ia menceritakan, kegiatan pengajian komunitas Indonesia itu seringkali memberikan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. “Kalau tidak selesai, ya kita akan ketinggalan,” katanya.
Di tengah kesibukannya saat ‘lockdown’, ada satu hal yang tetap membuatnya tidak terlalu bahagia.
“Sudah hampir tiga bulan lamanya saya tidak ketemu cucu,” ujarnya.
NANI POLLARD adalah kisah lain, warga lansia Indonesia di Melbourne, Australia. Tiba di Benua Kanguru sejak 1970, dia lama bekerja sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Melbourne University sejak tahun 1994 hingga 2017. Ia juga salah satu penulis buku mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk tingkat sekolah menengah di Australia.
Kini dia menjalani masa pensiun. Wanita kelahiran Jakarta ini kini tinggal sendiri di kawasan Carlton, tak jauh dari pusat Kota Melbourne.
Nani mengatakan ia merasa ‘lockdown’ selama pandemi tidak terlalu menjadi masalah baginya.
“Karena kita harus mengikuti peraturan pemerintah. Memang tatanan hidup kita akan berubah sedikit. Tapi karena kita sudah tua ya, tidak selalu menginginkan harus keluar rumah,” ujar Nani.
Sebaliknya ia justru mengapresiasi sejumlah kebijakan Pemerintah Victoria yang tetap memperhatikan kebutuhan kaum lansia.
“Misalnya, karena saya tidak tinggal dengan anak saya, dia tetap masih bisa datang sebagai carer (pengasuh). Kalau saya ada apa-apa, saya telepon dia dan dia boleh datang,” tambah mantan pembawa acara di TVRI Pusat ini.
Nani menjelaskan, layanan ‘essential care’ dari pemerintah juga tersedia, termasuk jasa ‘cleaner’ atau pembersih bagi lansia yang tinggal sendirian dan bukan di panti, jika dibutuhkan.
“Itu belum pernah saya coba, karena saya masih kuat lah,” ujar Nani.
Ia menceritakan pernah saat kamar mandi di rumahnya bocor, ia kemudian mendatangkan pekerja untuk memperbaikinya, setelah berkonsultasi dengan pengelola gedung.
“Jadi banyak hal yang tetap diizinkan semacam itu. Misalnya juga medical. Kita tidak usah keluar rumah kalau misalnya mau dites, kita bisa minta sebagai senior,” ucapnya.
“Kalau saya sendiri masih bisa naik Uber, taksi, atau naik tram,” tambahnya.
Untuk keperluan ke dokter, Nani memutuskan untuk selalu berjalan kaki, meski sebenarnya sebagai warga senior dia bisa memanggil dokter ke rumahnya.
“Ini bagus juga buat exercise. Kita harus sehat, karena kita hidup di negara Australia dan tidak punya pembantu,” ujarnya.
Nani yang kini masih aktif di organisasi Australian Indonesian Association of Victoria (AIA), punya seorang anak yang sudah berkeluarga. Namun ia mengatakan tidak mau merepotkannya.
Selain mengajar Bahasa Indonesia untuk komunitas Australia di Melbourne setiap minggu, satu bulan sekali Nani ikut rapat bersama AIA yang dilakukannya melalui Zoom.
Selain itu, dia juga sibuk menyiapkan ‘newsletter’ untuk organisasi ini, termasuk memeriksa bahasanya sebelum diterbitkan.
“Jadi memang banyak sekali pekerjaan yang mengharuskan saya diam di rumah,” katanya.
Sama seperti Tante San, Nani juga tidak bisa bertemu muka dengan kedua cucunya di saat ‘lockdown’. “Saya tidak bisa memeluk mereka. Karena bagi kita orang Indonesia itu ‘kan, memeluk mereka itu buat saya sangat penting,” katanya. (ABC/dms)