PASTOR Aloysius Lamere MSC, akrab dipanggil Pastor Alo, sudah hampir 11 tahun bertugas melayani umat Katolik di Sydney dan Melbourne.
Sudah hampir 30 tahun Pastor Alo yang berasal dari Maluku ini mengabdi menjadi imam, dengan pengalaman bertugas di Karanganyar (Jawa Tengah), Jakarta, Kiribati hingga Fiji.
Sejak bulan Februari lalu, Pastor Alo melayani umat di Paroki St Thomas di Blackburn, Melbourne.
“Karena saya sudah terbiasa melayani dan belajar dari pastor lain di Australia, ketika saya pulang ke Indonesia, cara saya melayani sangat berbeda dengan pastor lain di Indonesia,” katanya.
Menurut Pastor Alo, banyak umat gereja di Indonesia memandang imam sebagai tokoh yang pendapatnya harus didengar sepenuhnya.
“Di negara berkembang, pastor itu orang yang harus ditinggikan, harus dipatuhi, sementara di negara seperti Australia, pastor itu dianggap sebagai salah satu anggota masyarakat saja.”
“Imam di sini tidak punya posisi yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.”
Dari pengalamannya, kebanyakan umat Katolik di Australia tidak terlalu menuntut pastor untuk bisa lebih dari mereka, meski membutuhkan pastor.
Tak hanya itu, ada pula perbedaan dengan materi khotbah.
“Di Indonesia kalau kita berkotbah, umat mengharapkan pastornya memberikan jalan, atau petunjuk mengenai kehidupan.”
“Sementara di sini kita hanya memberikan pendapat kita saja.”
Pendeta Ignatius Bagoes Seta sekarang melayani umat di Heidelberg Presbyterian Church di Melbourne.
Gereja dengan jemaat beragam budaya
Pendeta Ignatius Bagoes Seta asal Surabaya,Jawa Timur, sudah menjadi pendeta Gereja Presbiterian di kawasan Heidelberg, Melbourne sejak tahun 2017.
Ia menceritakan keberagaman etnis jemaatnya, ada yang berasal dari Eropa juga Asia, seperti India dan China.
“Kami tidak pernah membagi jemaat menjadi kebaktian sendiri, melainkan semua duduk di satu kebaktian.”
“Dengan demikian kami melihat identitas kami sebagai gereja multi-etnis,” katanya kepada ABC Indonesia.
Tapi ia mengatakan gereja Protestan, seperti Presbiterian tidak mengalami kekurangan pendeta.
“Masih banyak pendeta lokal dan calon pendeta lokal yang menjalani pendidikan, dan dipersiapkan untuk pelayanan.”
“Fenomena pendeta atau pastor dari negara Asia yang melayani di sinode kami murni karena panggilan dan bukan karena kurangnya tenaga lokal,” katanya.
Pendeta Bagoes Seta sebelumnya pernah bertugas selama delapan tahun di Indonesia sejak menjadi pendeta di tahun 2002.
“Perbedaan utama adalah pendekatan kepada jemaat,” ujarnya.
“Kita bisa menyampaikan hal yang sama, yakni berita Injil Kristus, tetapi dalam cara penyampaian dan penguraian itu yang perlu berbeda, contoh utama adalah ilustrasi yang diberikan.”
Ia juga mengatakan banyak pengkhotbah dari luar Australia yang memandang “enteng” masalah ini, misalnya menerjemahkan humor dari negara asal tapi kemudian mendapatkan reaksi yang berbeda.
Memenuhi panggilan spiritual
Ferdinand Haratua yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pernah bekerja di bidang pemasaran iklan, sebelum memutuskan melanjutkan pendidikan di Australia.
Ia meninggalkan pekerjaannya untuk belajar teologi kemudian di tahun 2018 mendirikan gereja bernama Rock City di kawasan Nunawading, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Melbourne.
Gerejanya adalah bagian dari Gereja Baptis Australia dengan jumlah jemaat 30-50 orang yang berlatar belakang etnis berbeda.
“Ada orang Australia kulit putih, ada juga dari Indonesia, Vietnam, Malaysia. Mereka multi-etnis, sama seperti masyarakat Australia saat ini,” katanya.
Ferdinand mengaku merasa terpanggil untuk menjadi pelayan gereja setelah mengamati adanya kebutuhan spiritual dari warga di Australia.
“Dari pengalaman saya sendiri ada teman kerja yang bunuh diri, banyak orang yang mengalami kecemasan, depresi dalam hidup mereka, padahal dari sisi materi mereka tidak kekurangan, rumah besar, mobil ada, karier bagus,” katanya.
Ia mengaku tidak keberatan jika penghasilannya saat ini hanya seperempat dari apa yang diperolehnya ketika bekerja di bidang pemasaran dan periklanan.
“Tapi saya merasa puas dengan apa yang saya lakukan sekarang bisa menjadi bagian Tuhan untuk membantu yang lain,” kata Ferdinand.
“Jadi pendeta juga banyak tantangan, karena hidup itu tidak pernah berhenti,” tambahnya.
Ia mengatakan berbeda dengan saat masih bekerja kantoran yang bisa pulang ke rumah dan berhenti berpikir soal pekerjaan.
Menurutnya hidup jemaat menghadapi berbagai masalah dan saat itulah ia harus memainkan perannya. – ABC/News