“SAUDARA dari mana? ” tanya pria tua bersarung itu dari tempat duduknya.
“Saya dari jl. Gajah Mada, saya wartawan… , ” gagap, saya menjawab dengan kikuk, sembari menyebut media tempat saya bekerja.
“Ya. Itu, buku buku itu, memang makanan saudara, ” katanya dengan suara parau, khas perokok, sembari menunjuk buku yang sudah dibungkus dan disiapkan untuk saya.
Seingat saya hanya sepotong pembicaraan itulah antara saya dengan Pramoedya Ananta Toer. Dan sangat membekas di ingatan saya. Sastrawan legendaris itu, duduk dengan kaos putih kusamnya, memegang rokok yang ujungnya membara dan sesekali menghisap dan mengepulkan asap. Tatapannya menerawang .
Saya datang ke Utan Kayu, Jakarta Pusat, untuk membeli novel “Arus Balik” dan “Arok Dedes”. Sebelumnya, saya sudah terhanyut setelah menyelesaikan Tetralogi Buru yang mendunia itu : “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Rumah Kaca”, dan “Jejak Langkah”.
Saya juga membaca dan mengoleksi karya lainnya, “Gadis Pantai”, “Bukan Pasar Malam”, “Keluarga Gerilya”, “Mangir”, “Arok Dedes” dan “Arus Balik.
Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006) sastrawan kita yang karyanya menggetarkan dunia. Satu satunya sastrawan kita yang masuk nominasi penghargaan Novel – yang sangat bergengsi itu.
BUDAYAWAN, teaterawan dan penyair WS Rendra lah yang memperkenalkan Pram kepada saya, semasa saya rajin mondar mandir ke rumahnya sekaligus markas Bengkel Teater di Jl. Mangga Raya 87 – Depok. “Semua intelektual baca Pram. Kamu harus baca, ” katanya. Mas Willy dan Mbak Ken Zuraida memfotokopi novel “Bumi Manusia” untuk saya. Selanjutnya, saya beli sendiri.
Masa itu beli tetralogi Pram adalah pertaruhan nasib – bisa hidup dan mati. Karya Pram dilarang Kejaksaan Agung, militer sedang berkuasa – siapa yang nekad membeli taruhannya interograsi dan jeruji besi. Seorang aktifis, teman saya, Isti Nugroho namanya, masuk LP Nusa Kambangan karena memperjual-belikannya di kampus di Univ. Gajah Mada.
Saya ingat, saya membayar Rp.40 ribu untuk empat buku itu. Diam diam. Harga di tahun 1980-an sangat sepadan. Sejujurnya itu baru pertamakalinya membeli empat novel berseri dari seorang sastrawan besar. Sekarang saya merasa beruntung.
PRAM dan karya karyanya sangat mempengaruhi pikiran saya. Juga sikapnya. Pendirannya. Pikiran pikirannya. Boleh jadi saya “Pramis” – sebutan bagi para pengikut Pram – sebab, dia mengajari saya menulis dengan semangat realisme sosial. Tidak mengawang awang.
Sepanjang pergulatanya di bidang sastra dan pemikirannya, Pramoedya Ananta Toer telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Saya membaca dua memoarnya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, juga “Panggil Aku Kartini Saja”, “Hoakiau di Indonesia” dan tersentak. Selain karya fiksinya juga artikel yang menuangkan pokok pikirannya kumpulan wawancaranya. Bahkan cerita tentangnya dari catatan adiknya, Koesalah Toer – yang juga sastrawan.
Kurang “Pramis” apalagi saya ini!?
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – demikian antara lain katanya.
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
“Menulislah sedari SD. Apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi, ” pesannya
MESKI dikenal sebagai seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer menjalani hidup yang keras dan menempuhnya dengan gagah berani. Pilihan sikapnya mengantarkannya ke bui di zaman Jepang, orde Lama dan dikirim ke buru oleh rezim Orde Baru. Dia jalani 14 tahun dua bulan penjara tanpa pengadilan.
Tentang keberanian, Pram berkata: “Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak. Karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”.
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita, ” kata Pramoedya Ananta Toer.
“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas” katanya tegas.
ANTARA menyesal dan tidak saya tidak mendekati Pram, sebagaimana saya mendekati dan intens berdialog dengan WS Rendra, Guruh Soekarnoputra, Motinggo Busye, Teguh Karya dan para maestro pada zamannya. Yang pasti dari mereka saya banyak belajar. Takzim. Sampai sekarang. Mereka adalah para maha guru saya di jurnalistik dan juga guru kehidupan. Kyai kyai saya yang sesungguhnya.
Semoga surga menjadi tempat terakhir bagi orang orang hebat yang menginpirasi saya ini. Amin. ***