Cerita Warga Indonesia yang Tinggal dan Kerja di Vanuatu

WNI di Vanuatu - ABCNews

Vanuatu adalah salah satu negara kepulauan di kawasan Pasifik yang memiliki penduduk sekitar 300 ribu orang. Ada lima keluarga warga Indonesia menetap di sana dan mengisahkan perantannya pada Sastra Wijaya di ABCNews.

“Saya pertama kali ke sini tahun 2014, terlibat proyek satu atau dua bulan kemudian kembali ke Jakarta.  Namun di tahun 2018 saya ditawari kerja penuh waktu di sini,” kata Syafrizal kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Pria asal Jakarta tersebut bekerja di lembaga bantuan internasional Australian Aid sebagai tenaga ahli di bidang manajemen informasi yang membangun sistem informasi bagi pemerintahan setempat.

“Kami keluarga yang semuanya asal Indonesia, ada juga orang asal Indonesia lain yang menikah dengan orang Prancis dan orang Australia dan sekarang tinggal di Vanuatu,” katanya lagi.

Secara diplomatik, Vanuatu merupakan negara yang ditangani oleh Kedutaan Indonesia di Australia berkedudukan di Canberra.

Duta besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Siswo Pramono baru saja berkunjung ke Port Vila pekan lalu.

Menurut keterangan resmi dari KBRI di Canberra saat ini ada lima keluarga yang memiliki hubungan dengan Indonesia dan delapan orang anak buah kapal yang sedang berada di negara tersebut.

Karena pekerjaannya berhubungan dengan bidang pekerjaan umum, Syafrizal mengatakan sudah melakukan perjalanan ke seluruh pulau yang ada di Vanuatu.

Syafrizal Rawindra sudah lima tahun tinggal dan bekerja di Vanuatu bersama istri dan ketiga anaknya.

Ia pun merasa terkesan dengan ramahnya penduduk di sana. “Orang-orang di sini luar biasa baik. Soal keamanan tidak ada masalah sama sekali, saya merasa lebih aman di sini dibandingkan ketika tinggal di Jakarta,” ujarnya.

Padahal sebelumnya, pria berusia 42 tahun tersebut sempat merasa was was dengan kehidupan di Vanuatu.  “Kesan pertama melihat mereka ada rasa takut, namun setelah kenal mereka sangat baik. Juga terutama di daerah pedesaan, warga suka pergi membawa parang, namun karena memang kebiasaan mereka saja.”

Syafrizal mengaku ia mendapat nama kehormatan ‘Moli Herenahala’ dari suku Ambae, salah satu suku yang ada di sana.  “Mirip seperti di Sumatera, ada suku tertentu memberikan nama kehormatan kepada orang dari suku lainnya,” katanya.

Tidak Perlu Biaya Transportasi

Berbeda dengan Syahfrizal, Yanuario Legoh, 55 tahun tahun, baru dua bulan lebih tiba di Vanuatu dengan mendapat kontrak kerja selama dua tahun.

Rio, nama panggilannya, bekerja sebagai tenaga pengajar pembuat sistem piranti lunak komputer di sebuah lembaga pendidikan, selain juga membuat program di perusahaan induk dari lembaga pendidikan tersebut.

“Saya dapat tawaran kerja karena bos saya dulu di Jakarta punya kenalan dengan bos saya sekarang di Vanuatu, dan kemudian saya membantu di tahun 2021 dengan sebuah proyek,” kata Rio kepada ABC Indonesia.

Walau baru dua bulanan di Vanuatu, Rio mengatakan kehidupan di Vanuatu sangat membuatnya betah.  “Saya orangnya suka hal yang teratur. Di Jakarta banyak hal yang saya korbankan, misalnya pergi pulang kantor sudah habis tiga jam,” katanya.

“Di sini saya sangat teratur, kerja 8 jam, tidur 8 jam, olahraga 1 jam dan masih banyak waktu untuk saya dan ini penting di usia saya sekarang.”

Walau sekarang masih tinggal sendirian karena istri dan kedua anaknya masih tinggal di Jakarta, Rio mengatakan kemajuan teknologi membuatnya tidak merasa kesepian. Ia juga merasa jika kehidupannya saat ini “berkualitas”.

“Di sini saya merasa kualitas hidup saya sangat bagus. Juga dalam pekerjaan, saya tidak perlu biaya transportasi, ke pantai hanya lima menit dari tempat saya tinggal,” kata pria lulusan ITB tersebut.

Bila Vanuatu berada di bawah naungan KBRI di Australia, maka negara Pasifik lain seperti Samoa dan Kepulauan Cook berada di bawah KBRI Selandia Baru di Wellington.

Ada dua kawasan yang menggunakan nama Samoa di Pasifik.

Samoa yang berada di bawah pemerintahan Amerika Serikat memiliki penduduk 45 ribu orang, sementara Samoa sebagai negara berdiri sendiri memiliki penduduk 200 ribu orang dengan ibu kota Apia.

Di kota Apia inilah tinggal Dede Komarudin, pria berusia 45 tahun asal Cirebon bekerja sebagai mekanik mobil di sebuah bengkel besar.

“Saya pertama kali di sini kerja di tahun 2011 ikut teman yang membawa saya ke sini, dan kerja sampai tahun 2015 dan kemudian pulang karena mertua saya meninggal,” kata Dede kepada ABC Indonesia.

Dede sempat bekerja di Indonesia karena istrinya tidak mengizinkannya kembali ke Samoa.

Kemudian Dede kembali lagi ke Apia bulan Desember lalu.  “Dulu saya pernah kerja sama adik bos saya di sini, dan sekarang saya kerja sama kakaknya yang punya beberapa usaha di antaranya bengkel mobil,” katanya.

Sebagai mekanik, Dede mengatakan sebulan dia bekerja selama 200 jam dengan bayaran US$10 per jam.  “Saya dikontrak kerja dua tahun dan dengan perusahaan diberi tiket pulang pergi,” katanya.

Dengan pendapatan, jika dirupiahkan setidaknya lebih dari Rp20 juta per bulan, Dede mengatakan kebutuhan sehari-hari per bulan di sana mencapai Rp5-7 juta.

Sama seperti di Vanuatu, tidak banyak warga asal Indonesia yang tinggal di sini.  “Baru-baru ini Dubes Indonesia dari Selandia Baru datang, ya kami bertemu, saya dan satu teman yang juga kerja di sini dan ada tiga orang pastor Katolik. Itu saja yang ada di sini,” kata Dede.

Menurutnya kadang ada warga Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal nelayan asal Taiwan yang merapat di pelabuhan Apia.  Di wilayah Kepulauan Cook, yang hanya berpenduduk 17 ribu orang menurut sensus tahun 2016, terdapat ratusan orang asal Indonesia.

Salah seorang di antaranya adalah Zainal Apipi, usia 48 tahun asal Pandeglang, Banten, yang sudah tinggal di sana sejak tahun 2008.  Apipi bekerja di perusahaan pembangunan rumah dan toko.

Sebagai lulusan SMA, Apipi bisa mendapat kerja di Kepulauan Cook, setelah ada pengusaha dari kepulauan tersebut yang berlibur di Indonesia dan tinggal di sebuah hotel, tempat kakak iparnya bekerja.  “Dari situ kemudian kakak ipar saya membina hubungan bisnis dan kemudian akhirnya pindah ke sini dan saya diajak,” katanya lagi.

Menurutnya saat ini ada sekitar 200-300 warga asal Indonesia yang bekerja di Kepulauan Cook, kebanyakan bekerja di sektor layanan wisata. “Kepulauan Cook ini tempat berlibur, banyak vila, penginapan, jadi warga asal Indonesia datang kerja jadi pengurus vila, housekeeping, mekanik,” katanya.  “Mereka datang ke sini diajak oleh teman lain yang sudah kerja di sini, jadi dari mulut ke mulut saja.”

Dengan semakin banyaknya warga Indonesia yang datang, menurut Apipi, kehidupan lebih memudahkan bagi dirinya, khususnya soal makanan. “Dulu kita merasa sengsara, makanan Indonesia susah didapat. Dulu saya minta dikirim paket terasi dari Indonesia,” katanya.

“Sekarang semua sudah ada terasi, kecap, sambal, bumbu dapur.”

Ia mengatakan kehidupan sehari-harinya cukup sibuk dengan sejumlah panggilan kerja. “Pagi hari saya kerja sama bos di perusahaan di bagian bangunan, habis itu dari jam 4 sore sampai 9 malam saya kerja lagi, masang keramik,” katanya.

Alhamdulillah, kerjaan ada saja, saya sering dihubungi oleh orang untuk kerja, sering saya sendiri keteteran, sehingga akhirnya saya bawa teman dari Indonesia untuk membantu.”

Menurut Apipi, salah satu kelemahan orang Indonesia adalah tidak terlalu menguasai bahasa Inggris.  “Kalau soal hasil kerja, banyak yang suka dengan orang Indonesia. Namun kita punya kelemahan di bahasa untuk bisa komunikasi dengan baik, termasuk saya.” – ABCnews/dms

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.