Oleh PANDUPAKSI
Seperti biasanya, Arjuna pergi meninggalkan Kasatrian Madukara, tanpa ada yang tahu tujuannya ke mana. Wara Sembadra, Srikandi, ataupun Niken Larasati pun tidak tahu. Apalagi Arjuna sengaja tidak membawa serta para ponakawan. Tambah gelap. Sesungguhnyalah Arjuna sedang ingin melaksanakan tapa ngrame. Itu perintah dari dewa yang didapatkannya dari bersamadi selama berhari-hari, untuk menebus dosanya. Sudah beberapa hari belakangan ini Arjuna terbayang-bayang akan wajah Bambang Ekalaya alias Palgunadi dan istrinya, Dewi Anggraini. Ingat perbuatannya yang sungguh memalukan. Nista. Betapa tidak!
Belum lama tragedi itu terjadi di Pertapan Sokalima. Arjuna telah berbuat nista, ingin merebut Dewi Anggraini dari sisi Bambang Ekalaya. Kali ini Arjuna ketemu batunya. Ia kalah perang tanding melawan Bambang Ekalaya. Malu mana yang bisa menandingi? Arjuna pun mengadu ke hadapan Resi Dorna, “Tidak menyangka ternyata Bapa Dorna punya murid di belakang Arjuna.”
“Lole-lole soma-lole, Arjuna, maksudmu Bambang Ekalaya? Oh, dia bukan muridku. Dia hanya ingin jadi muridku. Tapi, aku menolaknya.”
“Mustahil dia bisa sesakti itu kalau belum menyerap ilmu Bapa Dorna.”
“Arjuna, jangan keliru. Dia sakti karena Cincin Gandhok Ampal di jari manisnya.”
“Kalau benar dia ingin jadi murid Bapa Dorna, tentu dia mau menyerahkan Cincin Gandhok Ampal.” Untuk kedua kalinya Arjuna berpikiran nista. Kini malahan bercampur dengki.
Bambang Ekalaya sendiri tidak menyangka bahwa cincin itu berhubungan erat dengan nyawanya. Setelah cincin yang berada di bawah kulit itu diambil paksa Resi Dorna, Bambang Ekalaya tersungkur, mati. Oleh Resi Dorna, jari manis itu terpaksa dipangkas agar bisa merampas Cincin Gandhok Ampal.
“Ekalaya, kalau memang kamu ingin menjadi muridku, serahkan cincin di jari manismu itu,” kata Dorna sebelum memangkas jari manis bercincin itu.
“Cincin ini tidak mungkin bisa lepas dari jari manis saya, Bapa. Dia sudah ada sejak saya lahir.”
“Kalau begitu, serahkan istrimu Anggraini sebagai ganti cincin,” kata
Resi Dorna setelah Arjuna berbisik di telinganya.
Sedumuk Bathuk Senyari Bumi. Tentu Raja Paranggelung itu tak mungkin menyerahkan permaisuri tercintanya. Karenanya, ia tak ragu lagi menyodorkan tangannya, dan secepat kilat Resi Dorna memangkas jari manisnya yang bercincin.
Dewi Anggraini tak kalah cepat menubruk keris di tangan Resi Dorna. Persis menghunjam di dadanya. Tewas menyusul suaminya.
“Setan mana yang sudah menguasai pikiranku waktu itu,” sesal Arjuna.
Lalu, berangkatlah Arjuna, mencari orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Demi suksesnya tapa ngrame yang diniatkannya.
Dan, seperti biasanya juga, dalam perjalanan, Arjuna cenderung bertemu gadis desa yang cantik. Meski dalam kondisi rambut awut-awutan, napas ngos-ngosan, dan keringat berdleweran, kecantikan gadis desa itu tak bisa sembunyi dari mata Arjuna.
Gadis desa itu menangis seraya memohon, “Tolonglah saya, Raden. Ayah saya hendak dibunuh orang.”
Pucuk dicinta ulama pun tiba, pikir Arjuna. Tapa ngrame sudah bisa dimulainya.
“Tunjukkan di mana ayahmu. Eh, siapa namamu?”
“Saya Dewi Ulupi, Raden. Saya putri Resi Jayawilapa dari Pertapan Yasarata.”
Arjuna bergegas menarik lengan Dewi Ulupi untuk diajak terbang. Gadis desa itu memeluk erat pinggang Arjuna. Memang itu tujuan Arjuna mengajak gadis itu terbang. Sampai di atas Pertapan Yasarata, Arjuna mendarat.
“Yang mana ayahmu?” tanyanya demi melihat seekor ular sebesar pohon kelapa bertarung melawan singabarong, dikelilingi selusin prajurit bertombak.
“Yang jadi ular, Raden.”
“Ayahmu bisa jadi ular?”
“Itulah ilmu yang didapat dari Sang Hyang Anantaboga.”
Arjuna melihat, Sang Ular terdesak hebat. Liak-liuk tubuhnya selalu terbaca oleh lawan. Rupanya Singabarong itu memang lebih sakti. Arjuna melepaskan Panah Ardhadhadhali ke tubuh Si Singabarong.
Daaar!
Terdengar ledakan dahsyat. Singabarong terpental dan berubah menjadi manusia setengah raksasa.
“Keparat, bosan hidup!” teriak raksasa jelmaan Singabarong.
“Sebutkan namamu sebelum mati di tangan Arjuna.” Arjuna berkacak-pinggang.
Mendengar nama Arjuna disebut-sebut, manusia setengah raksasa itu menciut nyalinya.
“O, kamu yang namanya Arjuna. Aku Prabu Singalodra dari Kerajaan Guapura. Badanmu cuma sebesar lidi berani menantangku?”
“Justru karena aku lidi bisa dengan mudah mecah perutmu yang mirip balon.” Arjuna menghunus Kiai Pulanggeni.
Prabu Singalodra menyerang Arjuna dengan kuku-kuku beracun di jari-jari tangannya. Gesit Arjuna berkelit. Sepuluh jari tangan lawan lewat di sampingnya. Arjuna mengibaskan Kiai Pulanggeni. Persis merobek pinggang lawan. Prabu Singalodra tersungkur ndepani bantala!*