Oleh PANDUPAKSI
Anantareja melihat wanita hamil pingsan di pundak manusia setengah raksasa. Harus cepat ditolong. Tak mungkin langsung menghajar Si Penculik. Bisa berbahaya bagi yang dipanggulnya.
“Maling aguna, kamu. Putri mana dan anak siapa yang kamu maling?” sergap Anantareja.
“Apa urusanmu?”
“Anak siapa yang kamu maling?”
“Bukan urusanmu.”
Tiba-tiba Anantareja seperti menghilang. Ambles bumi. Lalu ditariknya kedua kaki Patih Kala Bandoga dari bawah tanah.
“Aduh, kenapa ini?”
“Anak siapa yang kamu maling?” Muncul lagi Anantareja.
“Anak Resi Jayawilapa….”
“Keparat! Bosan hidup kamu?” sergah Anantareja seraya merebut Dewi Ulupi dari gendongan Patih Kala Bandoga. Lalu menidurkan wanita pingsan itu di bawah pohon.
“Tolonglah aku. Jangan kamu tanam seperti ini….” rintih Patih Kala Bandoga.
“Diam!” Anantareja mencabut tubuh Patih Kala Bandana dan menendangnya.
Seolah hilang di udara Patih Kala Bandoga. Anantareja kembali mencoba menyadarkan Dewi Ulupi. Berhasil. Dewi Ulupi merintih kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Kisanak siapa?” tanya Dewi Ulupi sambil menahan rasa sakit.
“Anantareja….”
“Kamu yang menculik aku?”
“Bukan.”
“Lalu, kenapa kamu ada di sini?”
“Aku cucu Eyang Anantaboga. Aku yang merebut Bibi dari Patih Kala Bandoga.”
“Cucu Sang Hyang Anantaboga?”
“Ya. Aku anak Ibu Nagagini.”
“Kamu ponakanku sendiri. Ah, aku kira kamu yang membawaku ke sini….”
“Ponakan?” tukas Anantareja kaget.
“Aku istri pamanmu, Arjuna.” Kembali Dewi Ulupi merintih kesakitan.
Arjuna muncul dan langsung menyerang Anantareja. Tak menyangka datangnya serangan, Anantareja terpelanting oleh tendangan Arjuna. Anantareja bangkit berdiri, memandangi orang yang tiba-tiba menyerangnya. Kali ini begitu cepat pukulan menghantam dadanya. Anantareja kembali terpelanting. Arjuna menghunus Kiai Pulanggeni.
“Jangan, Raden. Jangan!” teriak Dewi Ulupi.
Arjuna berpaling memandangi istrinya. Lalu katanya, “Bukankah dia telah menculikmu…?”
“Bukan dia. Dia cucu Sang Hyang Anantaboga. Dia yang menolongku, Raden.”
“Sembah saya, Paman Arjuna.”
“Kamu Anantareja?”
“Betul, Paman. Saya rebut Bibi dari Patih Kala Bandoga.”
“Siapa itu Patih Kala Bandoga?”
“Mungkin Bibi Ulupi tahu, Paman.”
Arjuna seperti baru disadarkan bahwa Dewi Ulupi lebih membutuhkan perhatiannya. Segera ia membopong istrinya dan membawanya pulang ke pertapan.
Gathutkaca dan Harya Setyaki baru saja tiba di Pertapan Yasarata, setelah gagal menjumpai Arjuna di Kerajaan Tasikmadu. Legalah mereka berdua menampak Arjuna datang membopong Dewi Ulupi.
Resi Jayawilapa girang bukan kepalang melihat putrinya kembali bersama Arjuna. Tetapi, pertapa itu lantas menjadi khawatir sewaktu melihat Dewi Ulupi meringis-ringis kesakitan.
“Belum saatnya melahirkan. Tetapi, harus kita paksa lahir sekarang, demi keselamatan ibunya, Bapa Resi,” usulan Arjuna.
Maka, dengan ilmu kesaktian masing-masing, Arjuna dan Sang Mertua menolong kelahiran jabang bayi. Gathutkaca dan Harya Setyaki menunggu dengan dada berdebar.
Bayi lahir dengan selamat. Meski terlalu kecil untuk ukuran bayi lahir. Lalu, oleh Arjuna dinamainya: Bambang Irawan.
“Dimas Setyaki, Gathutkaca, tahu siapa Patih Kala Bandoga?” Tiba-tiba Arjuna ingat kembali penculik istrinya.
“Dia mengaku utusan Prabu Nilawarna dari Kerajaan Parangsotya, Paman….”
Arjuna melesat sebelum Gathutkaca selesai menjawab.
“Saya menyusul Paman Arjuna!” Gathutkaca berpamitan.
Harya Setyaki pun tak kalah sigap.
Anantareja muncul dari dalam bumi, persis di depan Pertapan Yasarata.
“Anantareja?”
“Betul, Paman Resi.”*