Oleh PANDUPAKSI
Prabu Partawijaya terperangah. Mimpi pun belum pernah bahwa dirinya akan menjadi babi hutan. Maka, seketika Prabu Partawijaya lemas lahir-batin. Meski begitu, kemarahannya belum kunjung mereda. Ia masih mencoba menyeruduk lawannya, tetapi malah tersungkur.
“Jangan memaksa saya berbuat kejam kepadamu, Sang Prabu.”
“Duh, Raden Sekutrem, ampuni aku. Aku benar-benar menyesal telah meremehkan Raden. Tolonglah aku. Kembalikan aku ke ujud semula,” ratapnya melas.
“Bagaimana aku bisa menolongmu? Bukankah kamu sendiri yang membuat dirimu berubah ujud? Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting, Sang Prabu.”
Hampir saja Bambang Sekutrem melangkah pergi kalau saja Prabu Partawijaya tidak meratap, “Duh, Bambang Sakri, tolonglah mertuamu ini…..”
“Apa?” Bambang Sekutrem terlonjak.
“Oh, Bambang Sakri, mantuku….”
“Bambang Sakri mantu Sang Prabu?” tukas Bambang Sekutrem.
“Kalau Raden kenal Bambang Sakri, ampuni aku. Ketahuilah, aku mertua Bambang Sakri, Raden.”
“Bambang Sakri anakku, cucu Resi Manumayasa. Jagad Dewa Bathara….”
“Bambang Sakri putra Raden? Benarkah?” Mata babi hutan itu melebar.
“Sang Prabu, pejamkan mata dan mintalah kepada dewa biar aku membantumu, kembali ke ujud semula.” Bambang Sekutrem bersedekap sambil memejamkan mata.
Kahyangan Jung Giri Kaelasa bergetar oleh doa Bambang Sekutrem. Tiba-tiba babi hutan itu terkepung asap tebal. Di balik asap kini berdiri tegap Prabu Partawijaya.
Begitu terbebas dari sesiku, Prabu Partawijaya merangkul Bambang Sekutrem.
“Oh, Raden, tidak menyangka bakal bertemu besan. Mantuku, Bambang Sakri, tidak pernah mau mengaku kalau masih keturunan Bapa Resi Manumayasa. Sekali lagi aku mohon ampun, Raden.”
“Sudahlah, Sang Prabu. Aku pengin cepat-cepat melihat anakku.”
“Jangan-jangan kita malahan sudah punya cucu, Raden. Ya, aku pergi lebih dari sembilan bulan rasa-rasanya.”
Memang benar, ketika Prabu Partawijaya dan Bambang Sekutrem tiba di Kerajaan Tabelasuket, Dewi Sati baru saja melahirkan putra pertama.
Girang bukan kepalang Prabu Partawijaya. Bambang Sekutrem tak kalah gembira bisa bertemu dengan Bambang Sakri beserta anak-istrinya.
“Tapi, siapa nama cucu kita, Raden?” tanya Prabu Partawijaya setelah mereka puas berkangen-kangenan.
“Sudah kamu namai putramu, Sakri?” Bertanya Bambang Sekutrem.
“Belum, Rama. Biarlah Rama Begawan yang menamainya.”
“Setuju sekali!” sambut Prabu Partawijaya.
“Tapi, lebih tepat kalau Bapa Resi Manumayasa yang menamai jabang bayi. Kalau begitu, izinkan aku membawa pulang Sakri beserta anak-istrinya, Sang Prabu. Atau, Sang Prabu sekalian ikut ke Wukiratawu?”
“Pasti aku menyusul, Raden. Tapi, aku harus lebih dulu kembali ke Padepokan Resi Dwapara untuk menghajarnya!”
Dan, oleh Resi Manumayasa, jabang bayi putra Bambang Sakri ini dinamai Bambang PALASARA. Begitulah!*