Oleh PANDUPAKSI
Prabu Partawijaya nekad merambah hutan, menuruni jurang, dan mendaki gunung, guna menjumpai Resi Manumayasa di Pertapan Wukiratawu. Dibilang nekat sebab ia sesungguhnya tidak tahu harus ke arah mana. Dan, kepergiannya yang tidak jelas waktunya ini tentu setelah ia menyerahkan tahta kerajaan kepada Sang Menantu, Bambang Sakri, sementara waktu.
Sebenarnya bukan soal Malu Bertanya Sesat di Jalan, melainkan memang Prabu Partawijaya tidak menjumpai seorang pun yang bisa ditanya. Prabu Partawijaya tersesat. Ia masuk jebakan yang dipasang oleh Resi Dwapara. Pertapa leketheking jagad yang mengaku berasal dari Atas Angin ini memang sudah lama ingin Nabok Nyilih Tangan, Lempar Batu Sembunyi Tangan.
“Jika Sang Prabu mau menjadi muridku, soal urusan dengan Resi Manumayasa di Pertapan Wukiratawu serahkan kepadaku,” ujar Resi Dwapara.
Bukan sekadar ucapan, melainkan ucapan yang disertai mantra-mantra sakti berupa sihir penunduk.
Prabu Partawijaya yang selama ini hanya menguasai ilmu lahir, dengan begitu mudahnya tersihir.
“Kamu menjadi muridku, tak akan ada yang bisa mengalahkanmu. Untuk apa harus berguru ke Wukiratawu?” lanjut Resi Dwapara masih sambil menyihir.
Bak burung pelatuk, Prabu Partawijaya mengangguk takzim.
Resi Dwapara memang bukan sembarang resi. Bukan manusia mbuh kanane. Dialah sesungguhnya Bathara Dwapara yang terusir dari kahyangan karena keburukan akhlaknya. Setelah turun ke madyapada, dewa culas serta pendengki ini meriang mendengar berita tentang kesaktian Resi Manumayasa. Pantang baginya ada manusia lebih sakti dari dirinya. Maka, ia bertekad Resi Manumayasa harus dilenyapkan dari muka bumi.
“Jagad Dewa Bathara. Selama ini aku silap, pikiranku tertutupi nama besar Resi Manumayasa,” reaksi Prabu Partawijaya.
“Kamu malahan bakal bisa menaklukkan Resi Manumayasa.”
“Bisa mengalahkan Resi Manumayasa?” sahut Prabu Partawijaya takjub.
Berbulan-bulan Prabu Partawijaya digembleng batinnya dengan ilmu sesat oleh Resi Dwapara. Di samping itu, secara rutin dijejali cerita bohong tentang Resi Manumayasa. Kebohongan yang terus-menerus dilancarkan itu akhirnya menjadi kebenaran bagi yang mendengar. Kebencian Prabu Partawijaya terhadap Resi Manumayasa lambat tapi pasti berkembang subur.
Setelah yakin akan kesetiaan Prabu Partawijaya, tidak akan berkhianat kepada guru spiritualnya, Resi Dwapara melancarkan tujuan akhir.
“Pergilah ke Pertapan Wukiratawu, dan bunuh Resi Manumayasa!”
“Baiklah, Guru. Aku akan bawa kepala Resi Manumayasa ke hadapan, Guru.”
Berbekal petunjuk arah dari Resi Dwapara, berangkatlah Prabu Partawijaya ke Pertapan Wukiratawu. Tujuannya, sudah pasti untuk membunuh Resi Manumayasa. Dalam perjalanan inilah Prabu Partawijaya bertemu Bambang Sekutrem, putra Resi Manumayasa, ayahanda Bambang Sakri.
“Untuk apa Sang Prabu mencari Pertapan Wukiratawu?” tanya Bambang Sekutrem, setelah saling sapa dan tahu tujuan Prabu Partawijaya.
Kalau saja Prabu Partawijaya sedikit sopan dan sabar, akan tahu siapa lawan bicaranya. Sayang, kesombongannya membuat Bambang Sekutrem muak dan terpaksa menyembunyikan identitasnya. Bahkan menyembunyikan pula tujuannya mencari Bambang Sakri yang sudah berbulan-bulan tidak pulang ke Pertapan Wukiratawu.
“Aku harus membunuh Resi Manumayasa!” jawab Prabu Pratawijaya jumawa.
“Resi Manumayasa orang baik. Mustahil Sang Prabu ingin membunuhnya jika tanpa alasan.”
“Dia musuh bebuyutan guruku!”
“Seperti itu?” Bambang Sekutrem tertawa dalam hati. “Siapa itu guru Sang Prabu?”
“Tak perlu kamu tahu. Ayo, kamu antar aku ke sana. Sekalian kamu biar tahu bagaimana aku membunuh Resi Manumayasa yang tersohor kesaktiannya itu.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku bunuh juga!”
“Prabu Partawijaya, di atas langit ada langit. Kamu bisa membunuh Resi Manumayasa jika kamu bisa membunuhku,” tantang Bambang Sekutrem.
“Dusmalaning rat leketheking jagad, berani kamu menantangku, Iblis Laknat?”
“Keluarkan segala kesaktian dan japamantramu, Prabu Partawijaya!”
Kali ini Prabu Partawijaya ketemu batunya. Ia boleh bangga bisa meringkus Bambang Sakri, tetapi tidak Bambang Sekutrem. Bambang Sakri memang belum tuntas menyerap ilmu ayahandanya. Barangkali belum sepertiganya berhasil diserap. Prabu Partawijaya kehabisan akal untuk merobohkan lawan. Maka ia mateg aji pamungkasnya, mencoba menyihir Bambang Sekutrem. Tetapi, yang terjadi sungguh mencengangkan. Sihir itu berbalik menyerangnya dan Prabu Partawijaya menjelma menjadi babi hutan!*