CERITA WAYANG Narasoma (1)

NARASOMA

Oleh PANDUPAKSI

Prabu Mandratpati sedang pusing memikirkan kelakuan Narasoma, Sang Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka. Betapa tidak! 

Sebagai ahli waris (bukan pewaris) tahta Kerajaan Mandaraka, Narasoma diharuskan mencari calon permaisuri, baru setelah itu naik tahta menggantikan ayahandanya sebagai penguasa tertinggi di Mandaraka. Tetapi, Narasoma bersikeras menolak.

Padahal, sudah lama Prabu Mandratpati ingin rereh keprabon dan bertekad mandhita. Ia ngebet meneruskan cita-citanya yang pernah kandas. Waktu muda dulu, ia ingin  menjadi brahmana yang sakti mandraguna, yang dekat dengan dewanya. Toh, keadaan memaksanya menjadi raja di Mandaraka.

Sekarang, dipojokkan lagi oleh kenyataan. Satu-satunya yang boleh dan layak menerima warisan tahta kerajaan hanya Narasoma, putra mahkota tunggal. Adiknya, Dewi Madrim, tak mungkin diwisuda sebagai raja. Ia akan tetap menjadi bunga yang semerbak di lingkup istana.

“Tidak, Rama Prabu. Narasoma masih harus banyak belajar. Narasoma masih ingin mencari pengalaman di luar pagar istana. Ingin berguru mencari ilmu kanuragan, kasantikan, tosing balung uleting kulit.

“Kamu masih bisa belajar dan mencari pengalaman setelah kamu menjadi raja. Malah kamu punya kekuasaan untuk mendatangkan siapa saja yang kamu anggap bisa menjadi guru.”

“Tapi, Narasoma belum ingin beristri. Belum ada wanita yang sekiranya cocok untuk mendampingi Narasoma.”

“Kamu tinggal pilih putri mana, atau Sekaring Kedhaton Kerajaan mana, nanti Rama yang akan meminangnya.”

Dan, debat semacam ini hampir tiap hari berulang. Hingga akhirnya Sang Prabu Mandratpati kehabisan sabar, terpaksa mengusir Narasoma dari Kerajaan Mandaraka.

“Jangan pulang kalau kamu belum menggandeng calon permaisuri!”

Memang, maksud Prabu Mandratpati memberikan shock theraphy, gertak sambal. Akan tetapi, Narasoma benar-benar pergi. Ia bahkan tak sempat pamit Sang Ibu dan Dewi Madrim, adik satu-satunya.  Anak bengal ini melenggang tanpa terbebani samasekali. Ia pergi naik gunung, turun gunung, menyebrangi ngarai, mencari tempat yang cocok buat bertapa. Tak kunjung ia temukan.

Hingga suatu hari, tatkala mendaki Gunung Argabelah, Narasoma seolah tersihir memandangi gadis gunung yang sedang mengambil air di sebuah telaga. Seketika niatnya bertapa lenyap. Serta-merta ia ingin memiliki prameswari dan menduduki tahta Kerajaan Mandaraka. Inilah kekuatan cinta pertama. Ya, baru kali ini Narasoma merasakan jatuh cinta.

“Namamu siapa, Cah Ayu?”

Gadis itu terbelalak memandangi Narasoma. Ia merasa yakin sedang berhadapan dengan Sang Hyang Kamajaya. Maka dengan bibir gemetar ia menjawab, “Hamba Pujawati, Pukulun.”

Narasoma tertawa.

“Aku bukan dewa, Pujawati. Tapi juga bukan orang mbuh kanane. Aku Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka. Namaku Narasoma.”

Baru sekali ini Narasoma merasa bangga menjadi putra mahkota.

Pujawati semakin malu. Kepalanya semakin dalam tertunduk.

“Lha, kamu ini putri dari mana kok bisa keblasuk-blasuk nyasar ke sini, Pujawati?”

“Saya hanya seorang endang, putri Begawan Bagaspati, Raden…”

Endang?” tukas Narasoma.”Jadi, kamu anak seorang pertapa?”

“Betul, Raden.”

“Kalau begitu, antar aku menghadap ayahmu.”

“Raden mau jadi…”

“Jadi menantu!” sahut Narasoma sambil tertawa.

Betapa terkejut  Narasoma demi melihat Begawan Bagaspati ternyata  pendeta bersosok raksasa. Besar, serem, dan nggilani.

Begawan Bagaspati sangat memaklumi  kekagetan Narasoma. Jangan dikata isi hati manusia, isi hati hewan pun bisa terlihat olehnya.

“Jangan kaget, Raden. Anakku memang ayu, sebab mirip ibunya. Jebles turun ibunya. Jelek-jelek begini aku pernah mendapat hadiah bidadari dari Sang Hyang Jagad Giripati. Begitu melahirkan Pujawati, dia kembali ke kahyangan. Ini aturan beristrikan bidadari, Raden.”

“Apes amat itu bidadari,” sahut Narasoma dalam hati.

Selebihnya, ia hanya bisa manggut-manggut sambil menelan ludahnya yang terasa pahit. Pun, ia takut salah bicara dan menyinggung perasaan tuan rumah. Sungguh, ia merasa tidak nyaman lagi. Bagaimana mungkin Prabu Mandratpati berbesanan dengan seorang raksasa gunung! Betapa rakyat Mandaraka akan bersorak mengejek.

Seketika kesombongan Narasoma bangkit. Akan tetapi, kekerasan hatinya pun tak  kalah tampil. Bagaimanapun caranya, ia harus tetap mendapatkan Pujawati, tanpa harus melibatkan Begawan Bagaspati! 

Narasoma berpikir keras, mencari cara agar bisa beristrikan Pujawati, tetapi tidak harus bermertuakan Begawan Bagaspati.

Kepalanya mulai berdenyut ketika Begawan Bagaspati bertanya, “Setelah Raden tahu Pujawati anak pendeta brahala, Raden masih tetap ingin menyuntingnya?”

“Mungkin tidak sekarang, Sang Begawan.” Tiba-tiba saja Narasoma melihat lobang untuk meloloskan diri dari kesulitannya.

“Kenapa begitu, Raden?”

“Aku masih harus menyelesaikan tugas dari Kanjeng Rama Prabu, Sang Begawan.”

“Kalau saja Raden mau membagi tugas itu,  mungkin aku bisa membantu.”

“Sebenarnya bukan tugas yang berat, tapi sulit. Tugasku hanya menebak teka-teki. Dan, tugas ini sekaligus hukuman buat aku yang berani membantah perintah Kanjeng Rama Prabu. Aku belum boleh kembali ke istana sebelum aku yakin mampu menjawab dengan benar teka-teki Kanjeng Rama Prabu.” (Bersambung).

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang