CERITA WAYANG Narasoma (2)

BEGAWAN BAGASPATI

Oleh PANDUPAKSI

Begawan Bagaspati tertawa. Sebenarnya ia sudah bisa membaca arah pembicaraan Narasoma. Sengaja ia ulur, ingin tahu sampai  sejauh mana kemauan calon mantunya itu.

“Lha, teka-tekinya itu seperti apa, Raden?” Pura-pura penasaran Begawan Bagaspati.

“Ini teka-teki dari Kanjeng Rama, Sang Begawan…”

“Dari dewa juga tidak apa, Raden. Mudah-mudahan saja aku bisa mbatang.” Begawan Bagaspati menukas.

Cuma Pujawati seorang, yang benar-benar ingin tahu macam mana teka-teki itu. Ia sangat berharap teka-teki terjawab oleh ayahandanya. Dan, tuntaslah tugas Narasoma dari Kanjeng Rama.

“Begini isi teka-teki itu, Sang Begawan. Ada Kembang Cepaka Mulya mekar di tengah telaga. Indah dalam balutan embun pagi. Aku harus memetiknya. Harus sebab begitu cantik kembang itu. Sayangnya, kembang itu dijaga oleh buaya besar dan ganas. Menurut Sang Begawan, bagaimana caranya aku bisa memetik kembang itu tanpa dimangsa oleh buaya itu.”

Tertawa lagi Begawan Bagaspati. Lalu, disuruhnya Pujawati menyingkir terlebih dulu.

“Jangan masuk Pertapan sebelum dipanggil oleh Raden Narasoma ya, Nini,” kata Begawan Bagaspati.

Kasinggihan, Bapa.” Pujawati mengundurkan diri.

“Kenapa Pujawati tidak boleh mendengarkan jawaban Sang Begawan?”

“Ini bukan teka-teki sembarangan, Raden. Yang boleh mendengarkan jawabannya hanya yang punya teka-teki dan yang menjawab.”

“Begitukah? Lalu, jawabannya seperti apa, Sang Begawan?”

“Sebelum aku menjawab, ada yang aku ingin tahu dari Raden. Raden Narasoma tulus lahir-batin ingin memperistri anakku Pujawati?”

“Apa aku harus bersumpah, Sang Begawan? Akan aku jadikan Pujawati prameswariku. Mukti wibawa di Kerajaan Mandaraka, Sang Begawan.”

“Tapi, ada syaratnya, Raden. Raden Narasoma harus berjanji tidak akan menduakan Pujawati. Itu saja. Sanggup?”

“Sanggup!”

“Terima kasih.” Menghela napas berat Begawan Bagaspati. “Yang dimaksud Kembang Cepaka Mulya itu Pujawati anakku. Buaya besar dan ganas itu aku sendiri. Benar begitu?”

Narasoma blingsatan. Mulutnya seolah terkunci untuk menjawab. Tak disangkanya Begawan Bagaspati begitu cepat menyimpulkan.

“Raden, aku rela mati demi kebahagiaan putri tunggalku. Percayalah. Raden harus membunuh buaya itu untuk bisa memetik Kembang Cepaka Mulya. Raden malu punya mertua raksasa sepertiku. Jangan sungkan, Raden. Aku siap mati demi kebahagiaan Pujawati.”

“Ampunkan aku, Sang Begawan. Aku memang menantu yang tidak tahu diri. Tetapi, aku berjanji akan membahagiakan Pujawati dan tidak akan pernah aku duakan. Hanya Pujawati seorang yang akan mendampingi hidupku, Sang Begawan.”

“Cabutlah keris Raden, hunjamkan ke dadaku. Jangan ragu-ragu.” Begawan Bagaspati membuka jubahnya di bagian dada.

Narasoma, meski dengan tangan gemetar, menghimpun tenaga dan mengayunkan kerisnya. Tepat di arah ulu hati Begawan Bagaspati.

Clang!

Keris seolah menusuk tembok baja. Keris mental dan terbanting di lantai.

“Dusmalaningrat, pamer kesaktian!” omel Narasoma. “Dasar 

berhala…”

.”Oh, maaf, Raden ada yang aku lupa. Jangan gusar. Tunggu sebentar,” kata Begawan Bagaspati seraya menahan napas serta memejamkan mata.

Terloncat mundur selangkah  Narasoma. Tiba-tiba nampak raksasa kerdil berdiri di depannya. Meski kecil, tapi wajah dan bentuknya sangat menakutkan. Nggegirisi.

“Ada apa Bapa membangunkan aku?” ujar Raksasa Kerdil.

“Candhabirawa, sementara waktu kita harus berpisah. Kamu aku titipkan kepada kesatria yang ada di belakangmu. Percayalah, nanti ada waktunya kita kumpul lagi.”

Narasoma benar-benar dibuat bingung. Ia memandangi Candhabirawa dengan tengkuk bergidik.

“Raden Narasoma, ini namanya Candhabirawa. Sekaligus aku titipkan ke Raden sebagai ajian. Tahan napas Raden agar Candhabirawa bisa masuk ke tubuh Raden.”

Narasoma mengikuti instruksi. Candhabiarawa masuk ke dalam tubuhnya.

“Candhabirawa, meski awalnya hanya segelintir buta bajang, tetapi jika disentuh senjata  bisa menjadi dua, dua jadi empat, empat jadi delapan, begitu seterusnya. Nah, sekarang Raden lebih gampang membunuhku. Goreskan keris Raden ke siku kiriku. Pasti aku mati.”

“Duh, Sang Begawan. Sekali lagi aku mohon ampunan.” Narasoma memungut kerisnya dan menggoreskan ujungnya ke siku kiri Begawan Bagaspati.

Darah putih mengucur dari luka goresan itu. Sejurus kemudian tubuh Begawan Bagaspati lenyap dari pandangan Narasoma. Hanya terngiang di telinga Narasoma, “Narasoma mantuku, aku tidak akan sowan Sang Hyang Wenang jika tidak bersamamu. Aku tunggu kamu di kancah Baratayudha. Jika ada senapati Pandawa yang berdarah putih maju ke medan laga, itulah saatnya aku menjemputmu. Semua itu aku lakukan karena aku sangat menyayangimu, Narasoma.” (Bersambung)

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang