Oleh PANDUPAKSI
Narasoma tak begitu peduli dengan suara di angkasa yang didengarnya. Ia lebih menikmati kelegaan hatinya. Lega bahwa Begawan Bagaspati tak perlu lagi terlibat dalam urusan perjodohan Narasoma dengan Pujawati. Narasoma pun tak perlu malu lantaran dapat mertua dari golongan raksasa. Dan, dijamin tak akan ada penolakan dari Prabu Mandratpati lantaran Pujawati anak seorang pendeta brahala. Maka, dengan senyum berkepanjangan Narasoma menemui Pujawati di tepian telaga.
“Pujawati, aku sudah meminangmu. Kita sekarang bisa menghadap Kanjeng Rama Prabu.”
“Kalau begitu, kita harus pamit Bapa Begawan, Raden.”
“Pamit? Oh, tadi aku sudah pamitan sekalian…”
“Tapi, Pujawati belum pamit Bapa Begawan, Raden.”
Narasoma terhenyak. Sejenak ia bingung bagaimana menyampaikan berita tentang Begawan Bagaspati. Rasanya tidak mungkin ia harus jujur, mengatakan bahwa Begawan Bagaspati sudah dibunuhnya. Di sisi lain, ia ingin secepatnya pulang ke Mandaraka. Ingin pamer ke hadapan ayahandanya bahwa ia sukses mendapatkan calon prameswari. Ia mulai membayangkan betapa senang Prabu Mandratpati
menerima Pujawati sebagai menantu. Sekalipun Pujawati seorang endang dari gunung, toh kecantikannya pilih tanding. Boleh ditandingkan dengan Sekaring Kedhaton mana pun.
“Pujawati, Bapa Begawan muksa setelah menurunkan ilmunya ke Narasoma.”
“Muksa?”
“Ya. Bapa Begawan sudah menyerahkan putri tunggalnya untuk aku jadikan prameswari. Malahan aku dapat hadiah tambahan Aji Candhabirawa.”
Pujawati menangis. Belasan tahun ia hidup berdua dengan Begawan Bagaspati. Saling menyayangi dan menghormati. Kini harus berpisah tanpa ada sepatah kata tertinggal. Narasoma berusaha membujuk dan menghibur.
Segala pujian dan rayuan berloncatan dari mulutnya.
Pujawati, yang sejak kecil belum pernah mendengar rayuan dan pujian dari lawan jenis, terlebih dari lelaki yang gagah dan tampan, lambat-laun lumer.
“Nah, Pujawati, ternyata kamu bukan saja cantik, tetapi juga setia. Kamu tetap mencintai Narasoma meski harus mengorbankan Bapa Begawan. Sejak sekarang, kamu bukan hanya Pujawati, kamu juga Setiawati. Dewi Setiawati.”
“Jadi, Nini Setiawati putri Bapa Begawan Bagaspati?” Berbinar-binar mata Prabu Mandratpati memandangi Pujawati alias Dewi Setiawati. Bukan saja senang dan bangga mendapatkan menantu secantik Dewi Setiawati. Lebih dari itu, bahagia karena bakal bertemu kakak seperguruannya sewaktu ia menempuh ilmu jaya-kawijayan, kanuragan, dan kasantikan.
“Kasinggihan dhawuh, Rama Prabu.”
“Ternyata kamu bukan orang lain, Nini Setiawati. Kamu masih ponakanku sendiri. Bapakmu itu sudah aku anggap saudara tua. Waktu itu kami sama-sama berguru ilmu kesaktian. Ini namanya Ngumpulke Balung Pisah. Tapi, kenapa Bapa Begawan Bagaspati tidak ikut ke Mandaraka, Nini Setiawati?”
Hampir copot jantung Narasoma. Begawan Bagaspati kakak seperguruan Kanjeng Rama Prabu? Celaka!
“Nini Setiawati, kenapa malah menangis?”
“Ampun, Kanjeng Rama, sebaiknya Setiawati Kanjeng Rama izinkan bertemu Kanjeng Ibu dan Madrim. Narasoma yang akan menjelaskan tentang kenapa Bapa Begawan Bagaspati tidak bisa ikut ke Mandaraka.” Narasoma tidak ingin Dewi Setiawati kembali sedih memikirkan ayahandanya.
“Ya, ya. Nini Setiawati, pergilah. Kanjeng Ratu pasti senang bertemu denganmu.” Prabu Mandratpati mempersilakan.
Ketika Narasoma sudah kembali menghadap ayahandanya, kembali Prabu Mandratpati bercerita tentang masa mudanya dihabiskan untuk berguru bersama Begawan Bagaspati.
“Waktu Kakang Bagaspati dipanggil Sang Hyang Guru naik ke kahyangan, terpaksa kami berpisah. Aku pun kebetulan dipanggil pulang Kanjeng Rama Prabu, untuk menggantikan kedudukan Rama Prabu sebagai raja di Kerajaan Mandaraka sini. Narasoma, ceritakan kenapa Kakang Bagaspati tidak mau ikut serta ke Mandaraka. Pasti ada alasan. Jangan kamu bilang Kakang Bagaspati lupa punya adik seperguruan bernama Mandratpati.”
“Ampun, Rama Prabu. Narasoma sama sekali tidak menyangka Bapa Begawan Bagaspati kenal baik dengan Rama Prabu. Narasoma belum sempat bercerita tentang Rama Prabu…”
“Apa?” sergah Prabu Mandratpati. “Sekarang juga kamu bawa beberapa prajurit berkuda, jemput Kakang Begawan Bagaspati!” (Bersambung)