Oleh PANDUPAKSI
Patih Tuhayata, yang duduk persis di belakang Narasoma, mulai gelisah. Ia merasakan gelagat yang tidak baik. Agaknya Prabu Mandratpati mulai tidak berkenan. Wajahnya mulai memerah saga.
“Narasoma, kamu dengar apa kataku? Tuli kamu?”
“Kanjeng Rama, belum saja Narasoma selesai bercerita…”
“Ceritamu sudah jelas. Kamu lancang meminang Nini Setiawati, tapi kamu tidak bilang siapa ayahmu. Kamu anggap apa ramamu ini?!”
“Bukan itu, maksud Narasoma, Rama. Narasoma pikir Kanjeng Rama bakal menolak berbesanan dengan Bapa Bagaspati. Karena, maaf-maaf….”
“Karena Kakang Bagaspati raksasa! Begitu?”
“Betul, Rama.”
“Kamu pikir kalau sosoknya raksasa pasti jahat? Picik! Bodoh!”
“Ampunkan Narasoma, Kanjeng Rama. Karena itu, sekali lagi mohon ampun, Narasoma terpaksa mengantar Bapa Bagaspati sowan Sang Hyang Yama…”
“Kamu bunuh Kakang Bagaspati? Iblis laknat!” Prabu Mandratpati menghunus keris dan hendak dihunjamkan ke dada Narasoma.
Waspada Patih Tuhayata.
“Larilah, Raden,” katanya sambil menahan tubuh Prabu Mandratpati. “Ampun, Gusti Prabu. Sabar, sabar.”
Seperti anak panah terlepas dari busurnya, Narasoma melesat pergi.
Hampir saja ia bertabrakan dengan Dewi Madrim, adiknya, yang sudah menunggu di luar sitihinggil.
“Kakang Narasoma mau ke mana?”
“Minggat lagi.”
“Aku ikut.”
“Hussst! Kamu pikir aku mau tetirah? Minggat, Madrim.”
“Iya. Aku ikut minggat.”
“Ayo, ngomongnya sambil jalan!” Narasoma mengambil dua ekor kuda dan memacunya bersama Dewi Madrim.
“Kenapa kamu ngotot ikut minggat, Madrim?” tanya Narasoma setelah jauh dari istana. Sambil memekak kendali kudanya.
“Kakang Narasoma yang putra mahkota saja kalau salah diusir, apalagi aku?”
Narasoma tercekat. Tak menyangka adiknya berpikiran sejauh itu.
“Lagipula, selama ini aku selalu dikurung, sesekali ingin tahu dunia luar istana.”
“Madrim, ini urusan minggat, bukan plesiran.”
“Iya. Aku juga sudah lama ingin minggat. Bukan plesiran. Kalau aku berterus terang ingin keluar istana, pasti Rama Prabu melarang.”
Narasoma tertawa. Ia bisa menangkap maksud Dewi Madrim. Pasti ada yang dicari di luar istana.
“Kamu ingin ke mana, Madrim?”
Lalu, Dewi Madrim menceritakan tentang mimpinya. Mimpi bertemu jodoh dan mereka naik pelaminan.
“Wah, siapa jodoh dalam mimpimu, Madrim?” Narasoma menahan tawa.
“Pandu Dewanata, Putra Mahkota Kerajaan Hastinapura.”
“Oh, ya? Bukan main. Mantab itu, Madrim. Kalau begitu, kita cari Pandu Dewanata. Biar Narasoma yang meringkusnya.”
“Kenapa diringkus?”
“Kalau dia menolak, kenapa tidak? Apa kamu yakin Pandu bakal menerimamu?”
“Belum tentu Kakang Narasoma menang tanding dengannya. Dia kalok ing rat sakti mandraguna.”
“Pasti aku menang. Kamu belum tahu saja. Aku punya Aji Candhabirawa, Madrim.”
“Apa itu Candhabirawa? Lawanmu Pandu Dewanata. Jangan sombong.”
“Aji Candhabirawa, jika aku wateg, akan keluar dari dadaku raksasa bajang…”
“Apa hebatnya raksasa kerdil?” tukas Dewi Madrim sambil tertawa.
“Dengar dulu aku cerita. Buta bajang tadi, kalau tersentuh senjata akan pecah jadi dua. Dua jadi empat. Empat jadi delapan. Begitu seterusnya.”
“Wah, hebat juga. Tapi, Pandu Dewanata pasti bisa mengatasinya.”
“Mbuhlah. Ayo, kita ke Mandura, Madrim.”
“Pandu Dewanata adanya di Hastinapura, Kakang.”
“Kita cegat di Mandura. Pasti dia ke sana. Di sana sedang ada Sayembara Pilih, memperebutkan Dewi Kunthi Talibrata alias Dewi Prita. Sekaring Kedhaton Mandura. Pandu Dewanata pasti datang. Tapi, kalau dia yang dipilih Dewi Kunthi, kamu jangan mewek.”
Narasoma tidak berbohong. Di Kerajaan Mandura memang sedang berlangsung Sayembara Pilih. Barangsiapa dipilih oleh Dewi Kunthi Talibrata maka dialah yang menjadi jodohnya. Dan, Narasoma beruntung. Menang banyak dia. Begitu dia naik panggung, setelah berpuluh-puluh putra mahkota mancanegara tertolak, Dewi Kunthi menghampirinya dan mengalungkan roncean bunga melati. Yang hadir pada bersorak. Sorak ambata-rubuh. Sayembara dinyatakan selesai. Basudewa, Putra Mahkota Kerajaan Mandura, naik panggung, mengumumkan bahwa Sayembara Pilih ditutup.
Pandu Dewanata datang terlambat. Tak bisa lagi mengikuti sayembara.
Hampir saja ia balik kanan ketika terdengar suara menegurnya, “Pandu, tunggu!”
Pandu Dewanata menoleh. Ia kenal siapa yang memanggilnya.
“Tunggu, Pandu. Sayembara Pilih memang sudah ditutup. Tapi, aku ganti dengan Sayembara Perang Tanding. Siapa yang bisa mengalahkan Narasoma dia berhak memboyong Dewi Kunthi Talibrata!”
Pandu Dewanata menoleh Basudewa yang berdiri di sudut ring. Basudewa melompat turun dan menghampirinya.
“Naiklah, Pandu. Hajarlah Si Sombong Narasoma!” bisik Basudewa. (Bersambung).