Oleh PANDUPAKSI
Sementara Pandu Dewanata masih bimbang, Narasoma gencar memprovokasinya. Bocah bengal ini memang sangat ingin menjajagi kesaktian Putra Mahkota Kerajaan Hastinapura, yang sudah tersohor di kolong langit. Yang konon pada usia sepuluh tahun sudah mampu mengalahkan musuh para dewa. Sesungguhnyalah Narasoma mengakui itu. Tetapi, ada dorongan lain yang tak bisa ditepisnya. Ia sekaligus kepingin menjajal kesaktian Aji Candhabirawa.
“Pandu, kenapa masih ragu? Takut kalah? Malu kalau sampai kalah lawan Narasoma? Jangan sombong kamu!”
Tak tahan lagi telinga Pandu Dewanata. Ia melenting naik ke panggung. Suasana seputaran panggung tegang. Para penonton menahan bicara. Bahkan ada yang menahan napas.
“Pandu, aku tidak hanya mempertaruhkan Dewi Kunthi. Aku juga membawa adikku, Sekaring Kedhaton Mandaraka, Dewi Madrim. Akan aku serahkan juga Madrim jika kamu bisa mengalahkan Narasoma!” Suara Narasoma memekakkan di telinga.
“Silakan, keluarkan segala kesaktianmu, Narasoma.” Pasang kuda-kuda Pandu Dewanata.
Dewi Madrim yang memantau dari kejauhan terus berdoa, memohon kepada dewanya agar Pandu Dewanata memenangkan perang tanding. Ia sudah telanjur minggat, sudah bertemu Pandu Dewanata, harus bisa mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.
Dan, Dewi Madrim ikut bersorak sewaktu melihat kakaknya, untuk yang kesekian kalinya, terbanting karena kibasan tangan Pandu Dewanata.
“Jangan dulu besar kepala, Pandu. Lihatlah apa yang akan menimpamu!” Narasoma menahan napas, memejamkan mata, dan memanggil Candhabirawa.
Ketegangan seputar panggung bertambah-tambah. Penonton penasaran, ingin melihat apa yang Narasoma bakal lakukan. Agaknya hanya Dewi Madrim yang tahu apa yang sedang dilakukan Narasoma. Hanya saja, baik Dewi Madrim maupun Narasoma pribadi tidak tahu apa yang membuat Candhabirawa tidak kunjung mau keluar dari raga Narasoma dan membantu. Aji Candhabirawa memang sangat berguna bagi pemiliknya, jika Sang Pemilik tidak sombong, suka bertapa, sedikit tidur, dan utamanya suka berpuasa. Jika Sang Pemilik suka tidur, Candhabirawa justru kurang tidur. Dan, jika pemiliknya doyan makan maka Candhabirawa akan kelaparan. Penjelasan ini yang tidak didapat Narasoma dari Begawan Bagaspati.
Merasa usahanya memanggil Candhabirawa sia-sia, Narasoma kembali menyerang. Satu pukulan mematikan mengarah ke ulu hati Pandu Dewanata. Sengaja yang diserang tidak menghindar.
Desss!
Pukulan Narasoma mendarat, dan Narasoma yang justru terlempar mundur. Tubuh Narasoma terbanting ke luar panggung. Penonton kembali bersorak. Basudewa naik panggung dan mengumumkan bahwa perang tanding dimenangkan Pandu Dewanata. Bertambah gemuruh sorak-sorai penonton.
“Dan, seperti janjinya, Narasoma harus menyerahkan Dewi Kunthi dan Dewi Madrim menjadi boyongan Pandu Dewanata!” seru Basudewa.
Dalam sekerjapan mata, Pandu Dewanata sudah berdiri di samping Narasoma dan meminta maaf atas apa yang terjadi.
“Aku yang harusnya minta maaf, Pandu. Aku terlalu gegabah, meremehkanmu.”
“Kakang Narasoma tidak apa-apa?” Tiba-tiba muncul Dewi Madrim dan menyela pembicaraan.
“Tidak apa, Madrim. Pandu masih menaruh belas kasihan. Inilah Madrim, Pandu. Aku titipkan kepadamu untuk kamu jadikan boyongan.”
“Kakang Narasoma terus mau ke mana?”
“Aku harus pulang ke Mandaraka, Madrim. Kasihan Mbak Ayumu Setiawati.” Serta-merta Narasoma ingat janjinya, tidak akan menduakan Dewi Setiawati. Apa pun yang terjadi, ia harus menghadap Prabu Mandratpati.
“Raden, Gusti Prabu menunggu kepulangan Raden Narasoma. Dewi Setiawati menangis terus memikirkan Raden.” Patih Tuhayata tiba-tiba muncul di antara mereka.
Maka, Narasoma bersyukur dikalahkan Pandu Dewanata. Kalau tidak, mau dikemanakan Dewi Kunthi. (Selesai)