CERITA WAYANG Perang Pamuksa Harya Gandamana

wayang

Oleh PANDUPAKSI

Yakin bahwa luweng sudah selesai ditimbun oleh prajurit Pringgadani, Harya Suman berlari kembali ke pasukan Hastinapura.

“Pasukan mundur, kembali ke Hastinapura!” abanya.

“Kita belum kalah, Paman. Kenapa harus mundur?” tanya Jaka Pitana.

“Musuh lari, Man. Kenapa bukan kita kejar?” ujar Dursasana.

“Pamanmu Gandamana mbalik tingal, membelot. Angger berani melawannya?”

Jaka Pitana, juga Dursasana,  terkaget-kaget.

“Mahapatih Gandamana membelot ke pihak lawan?” Termangu Jaka Pitana.

Prabu Pandu Dewanata tak kalah kaget ketika Harya Suman melapor.

“Begitulah kenapa saya terpaksa menarik mundur pasukan, Kaka Prabu. Kiranya tak akan ada yang berani melawan Sang Mahapatih Gandamana, Kaka Prabu.”

“Jagad dewa bathara. Aku sendiri yang akan meringkus Gandamana!”

Dalam pada itu, Mahapatih Gandamana sedang bergulat dengan maut di kedalaman luweng. Sekujur tubuh terhimpit bebatuan bercampur tanah. Tak ada lagi ruang untuk bernapas. Dikerahkan segala kesaktiannya, tetapi himpitan tetap tak mengendor.

Pandangan mata yang gelap bertambah gelap. Tak mampu lagi bertahan, Mahapatih Gandamana pingsan. Ketika sadar kembali, ia sudah terbebas dari himpitan dan bisa bernapas lega. Doa dalam keputusasaannya terkabul.

Seekor landak putih utusan Sang Hyang Anantaboga membebaskannya dari kedalaman luweng. 

Kini ia berhadapan dengan seekor landak raksasa berwarna putih. Dan, landak raksasa ini ternyata bisa bicara, “Aku Naga Pertala, ikuti aku, Gandamana.”

Mahapatih Gandamana menghaturkan sembah, setelah menyadari dirinya berada di Kahyangan Saptapertala. 

Sang Hyang Anantaboga bersabda, “Gandamana, bukan Ulun menundungmu. Tapi, segeralah kembali ke Hastinapura. Semoga belum  terlambat.”

“Terlambat, Pukulun?”

“Ya. Prabu Pandu Dewanata berencana  mengangkat Harya Suman menjadi Patih Kerajaan Hastinapura, menggantikan mu.”

Mahapatih Gandamana mohondiri. Bak anak panah lepas dari busurnya, ia melesat meninggalkan Kahyangan Saptapertala.

“Dimas Gandamana, kembalilah ke Pringgadani. Di sini tidak ada lagi yang bisa Dimas kerjakan. Di sini pun tidak ada maspicis rajabrana yang bisa membuat Dimas Gandamana lupadiri.” Prabu Pandu Dewanata berkata lirih, tapi bagai Guntur di telinga Harya Gandamana.

“Kaka Prabu….”

“Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali,” tukas Prabu Pandu Dewanata.

“Kalau Kaka Prabu nyatanya lebih mempercayai ucapan Harya Suman, untuk apa Gandamana tetap tinggal di Hastinapura.” 

Harya Gandamana mundur dari pisowanan sambil menggelandang Harya Suman. Diseretnya Harya Suman ke alun-alun dan dihajarnya. Tangan Harya Suman yang berusaha menangkis dipatahkan. Bahu diinjak hingga remuk, dan mulutnya yang berbisa dirobeknya.

Melihat Prabu Pandu Dewanata menghampiri, Putra Mahkota Pancalaradya itu secepatnya pergi, pulang ke Kerajaan Pancalaradya.

Tinggallah Harya Suman teronggok mirip cucian basah. Nglumpruk. “Suman, semuanya ini lantaran ucapanmu yang berbisa. Sengka unimu dhewe. Mulai sekarang, kamu bukan Harya Suman lagi. Kamu Sengkuni. Patih Sengkuni,” sabda Prabu Pandu Dewanata. (Bersambung

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang