CERITA WAYANG Pinten Tangsen (1)

PINTEN TANGSEN

Oleh PANDUPAKSI

Lahirnya Pinten-Tangsen, bersamaan gugurnya Prabu Pandu Dewanata, berarti pula lahirnya sebutan Pandawa Lima bagi anak-anak Prabu Pandu Dewanata. Pandawa bukan berarti lima anak lelaki, seperti salah pengertian beberapa orang selama ini. Pandawa berasal dari kata ‘Pandu’ dan ‘Hawa’. Pandawa Lima berarti lima  anak lelaki Pandu. Tiga anak lahir dari rahim Dewi Kunthi, dua anak dari Dewi Madrim.

Pinten-Tangsen lahir sebagai yatim-piatu. Syukurlah mereka diasuh oleh ibu tiri yang maha baik. Dewi Kunthi, meski pernah empat kali melahirkan, belum pernah merasakan mengasuh jabang bayi.

Anak pertama lahir dan dinamai Karna Basusena, terpaksa dibuang karena bukan anak dari perkawinan yang sah. Dewi Kunthi hamil anak pertama lantaran melanggar pantangan Aji Kunta Welasing Rasa Sabdha Tunggal Tanpa Lawan. Sebagai Sekaring Kedhaton Kerajaan Mandura, dan banyak raja yang menginginkannya sebagai prameswari, Dewi Kunthi tidak boleh ketahuan sedang hamil.

Resi Druwasa, selaku guru spiritual Dewi Kunthi,  merasa bertanggungjawab dan sanggup melahirkan secara paksa bayi dalam kandungan Dewi Kunthi.

“Tetapi, Kunthi harus tetap perawan!” Tuntutan Basudewa, Putra Mahkota Kerajaan Mandura, kakak Dewi Kunthi.

“Tenang, Raden. Marilah kita berdoa bersama agar dewa mengabulkan rencana hamba,” jawab Resi Druwasa.

Dan, berkat kesaktian Resi Druwasa, bayi bisa dilahirkan lewat jalan lain.

Kenapa bayi lantas dinamai Karna Basusena sebab  jabang bayi berhasil dilahirkan lewat Karna (telinga). Untuk pertama kalinya Dewi Kunthi kehilangan hak asuh bayi.

Anak kedua lahir dan dinamai Puntadewa, setelah Dewi Kunthi diperistri Prabu Pandu Dewanata dan menjadi Prameswari Nata Kerajaan Hastinapura. Tetapi, oleh Sang Hyang Darma, Puntadewa dibawa ke kahyangan dan dibesarkan di sana. Karenanya Puntadewa berhak menyandang nama Darmaputra alias Darma Kusuma. Untuk kedua kalinya Dewi Kunthi kehilangan anak yang baru saja dilahirkannya.

Anak kedua, dari perkawinannya dengan Prabu Pandu Dewanata, lahir masih dalam kondisi terbungkus ari-ari. Celakanya, senjata apa pun tidak berhasil merobek plasenta yang membungkus jabang bayi. Prabu Pandu Dewanata naik ke Kahyangan Jung Giri Kaelasa, mengadu kepada Sang Hyang Guru.

“Dosa apa Pandu Dewanata, Pukulun?” ratap Prabu Pandu Dewanata.

“Nanti akan ada utusan dewa yang sanggup memecahkan bungkus anakmu, Pandu,” janji Sang Hyang Guru. “Sembunyikan Si Bungkus di Alas Tegrasara.”

Selama di dalam bungkus, bayi diasuh oleh Sang Hyang Bayu, dan dinamainya: Bayutenaya. Akhirnya bayi  keluar dari bungkus oleh ketajaman gading Gajah Sena, gajah utusan Sang Hyang Guru. Dari rujukan kejadian ini, Prabu Pandu Dewanata menamai anak keduanya ini: Bratasena.

Anak ketiga Prabu Pandu Dewanata, menjelang usia kelahiran  hilang dari kandungan Dewi Kunthi. Prabu Pandu Dewanata murka dan memutuskan naik ke kahyangan lagi. Sampai di hadapan Sang Hyang Guru, Prabu Pandu Dewanata batal marah. Ternyata ia menemukan anak ketiganya ini tak kurang suatu apa dan diasuh oleh Sang Hyang Indra, dan dinamainya: Indratenaya. Oleh Prabu Pandu Dewanata, anak ketiga ini dinamainya: Permadi.

Anak keempat sekaligus anak kelima Prabu Pandu Dewanata lahir dari rahim Dewi Madrim. Merekalah Si Kembar Pinten dan Tangsen. Tak ada dewa yang berkenan mengasuh mereka. Dewi Kunthi, meski sebagai ibu tiri, begitu menyayangi Pinten dan Tangsen. Tak ubahnya menyayangi anak kandung. Kasih sayangnya terhadap bayi-bayi terdahulu ditumpahkan kepada Pinten dan Tangsen. Sekalipun Dewi Kunthi masih kesal memikirkan ulah Dewi Madrim waktu ngidam kepingin naik Lembu Andini, kendaraan pribadi Sang Hyang Guru.

Penderitaan demi penderitaan Pinten dan Tangsen justru bukan karena mereka anak tiri, melainkan karena fitnah yang dilancarkan Patih Sengkuni. Dalam usia mereka sebagai kanak-kanak, mereka harus  hidup dalam pelarian. Mereka harus menderita karena kurang makan, kurang sandang, dan kurang tidur. Peristiwa Bale Gala-Gala hasil rekadaya Patih Sengkuni memaksa mereka harus keluar dari kenyamanan hidup di dalam Kerajaan Hastinapura, dan ngulandara dari hutan ke hutan ataupun dari desa ke desa. (Bersambung).

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang