CERITA WAYANG Pinten Tangsen (4)

PRABU ANOM KURUPATI

Oleh PANDUPAKSI

Cintalah  yang membuat semuanya harus terjadi di Kerajaan Hastinapura. Cinta Prabu Sentanu Murti kepada Dewi Gangga maupun Dewi Durgandini. Cinta Dewi Gendari kepada Pandu Dewanata. Dan, cinta Harya Suman kepada Dewi Kunthi. Ditambah lagi dengan cinta kedudukan. Semuanya dalam kemasan cinta membabi-buta!

Kini, Maharsi Bisma yang semestinya paling berhak atas tahta Kerajaan Hastinapura, merasa tidak harus ngotot  menghadapi ulah Si Mahajulig Patih Sengkuni.  Sekalipun, Maharesi Talkandha ini haqul yakin Pandawa dan Dewi Kunthi selamat dari amukan api.

Entah bagaimana kejadiannya. Jangkaning dewa, Pandawa tidak akan mati sebelum melaksanakan kuwajiban suci membasmi angkaramurka dalam kancah Baratayudha. Pun, Baratayudha tidak akan terjadi tanpa kehadiran Pandawa. Padahal Baratayudha harus terjadi. Ini sudah digariskan oleh dewa dan tertulis dalam Kitab  Jitapsara.

Maharsi Bisma merasa tidak perlu lagi memojokkan Patih Sengkuni. Semakin dipojokkan akan semakin menyakitkan jawabannya. Tak ada gunanya mengoreksi ucapan-ucapan Patih Sengkuni yang selalu berbisa. Hanya akan memancing emosi dan mendatangkan dosa. Atau, jangan sampai bisa yang ada di mulut Patih Sengkuni muncrat dan meracuni jiwa yang suci. Kesucian jiwa yang dijaganya sejak ia berperan sebagai Dewabrata.

Bahwa Pandawa diberitakan tewas terbakar di Bale Gala-Gala, dan Adipati Desatrarastra percaya, lalu Duryudana diwisuda menjadi Raja Hastinapura, memang di sinilah bibit Baratayudha mulai ditanam.

“Menurut Eyang Maharsi Bisma, haruskah tahta Kerajaan Hastinapura jatuh ke tangan Duryudana?” desak Adipati Desatrarastra.

“Kalau memang Kaki Adipati Desatrarastra sudah yakin Pandawa musnah, apa boleh buat,” jawab Maharsi Bisma. “Hanya saja, seandainya ternyata Pandawa masih hidup dan muncul di Hastinapura, tahta Kerajaan Harus tetap dikembalikan kepada mereka.”

“Oh, itu sudah pasti, Eyang.” Entah berapa kali Adipati Desatrarastra mengangguk takzim.

Patih Sengkuni, Dewi Gendari, dan Duryudana bersorak-sorai dalam hati, setelah untuk beberapa jenak menahan napas, menunggu sabda Maharsi Bisma.

Masalah Pandawa ternyata muncul lagi dan meminta hak atas  tahta kerajaan, nanti dipikirkan lagi. Yang penting nikmati yang tengah tersaji.

Pesta besar-besaran diadakan untuk menyambut raja baru di Kerajaan Hastinapura. Prabu Anom Kurupati alias Prabu Duryudana duduk di singgasana seraya berkepanjangan menebar senyum bahagia. Dursasana bersama adik-adiknya pesta-pora sembari menenggak tuak. Tak ketinggalan, Dewi Gendari dan Patih Sengkuni merasakan kegembiraan yang sundhul-puyuh.

Akhirnya, apa yang mereka gadhang-gadhang rina lan wengi terwujud. Siang dan malam mereka beharap Harya Gandamana terusir, Prabu Pandu Dewanata gugur, dan Pandawa lenyap. Puncaknya, tahta Kerajaan Hastinapura dalam kekuasaan Prabu Duryudana. Nikmat mana lagi yang mampu menandingi.

Dalam pada itu, nun jauh di kedalaman bumi, di Kahyangan Saptapertala, Dewi Kunthi merasa sudah lebih dari cukup ngrepoti Sang Hyang Anantaboga. Ia dan Pandawa harus pamit meneruskan perjalanan. Bulan madu Bratasena dengan Dewi Nagagini pun dirasa sudah cukup. Mereka harus berpisah untuk sementara waktu.

“Kalau ulun menahan kalian terus tinggal di sini, itu namanya ulun ngrusak jangkaning dumadi.  Ketetapan dewa memang harus begini, Kunthi. Nanti saja, kalau Bratasena sudah mapan, Nini Nagagini pasti menyusul kalian,” sabda Sang Hyang Anantaboga mengantar kepergian Dewi Kunthi dan Pandawa.

“Mohon doa restu Pukulun agar kami selamat di manapun kami berada,” pinta Dewi Kunthi mewakili pribadi dan kelima anaknya.

“Jangan berkecil hati, Kunthi. Para dewa akan mengawasi ke mana kalian pergi. Percayalah bahwa seberat apa pun  cobaan serta beban hidup, suatu saat pasti berakhir.”

Matahari mulai melesak di cakrawala. Sebentar lagi gelap akan berkuasa. Serangga dan binatang malam akan menjelang. Jin-setan akan gentayangan. Setelah sehari penuh berjalan melintasi hutan, mereka berenam tiba di sebuah dusun, di wilayah Kerajaan Ekacakra, di bawah kekuasaan Prabu Baka. Mereka ditampung oleh Keluarga Wijrapa. Keluarga kecil, hanya memiliki seorang anak, toh rumah terlalu besar bagi mereka.

Mereka terpaksa tinggal karena Pinten dan Tangsen tak sanggup lagi menahan lapar dan letih. Sebentar saja mereka berbasa-basi dengan yang empunya rumah sambil menikmati suguhan yang tersedia.

Selebihnya, mereka diayun kantuk dan terlelap. Hanya Dewi Kunthi yang tetap terjaga. Bagaimana mungkin mantan Prameswari Prabu Pandu Dewanata itu bisa tidur jika semayup tertangkap telinganya Wijrapa dan istrinya sedang bertangis-tangisan.

(Bersambung).

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang