CERITA WAYANG Pinten Tangsen (7)

Oleh PANDUPAKSI Tidaklah sama berhari-hari tinggal di dalam hutan dengan berhari-hari tinggal di Kahyangan Saptapertala. Meski dewa tidak makan layaknya makanan manusia, entah kenapa makanan untuk Dewi Kunthi dan Pandawa selalu tersedia. Atau, setidaknya di rumah Wijrapa. Di sini makanan tersedia berlebihan. Berhari-hari di hutan, Si Kembar Pinten dan Tangsen tidak pernah bisa nyenyak tidur. Bukan saja karena gangguan serangga dan binatang malam yang setiap saat bisa muncul, melainkan juga karena kelaparan. Tak tersedia makanan setiap saat seperti waktu di rumah Wijrapa atau Kahyangan Saptapertala. ewi Kunthi benar-benar prihatin memikirkan Si Kembar Pinten-Tangsen yang belum bisa mandiri seperti ketiga kakak mereka. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi, di samping bisa mengurusi diri mereka sendiri, juga kuat tidak makan berhari-hari, dan bisa menjaga diri dari marabahaya. Mereka sudah terbiasa berpuasa dalam rangka membersihkan jiwa. Mereka sempat digembleng ayahanda mereka. Tidak demikian dengan Pinten dan Tangsen. Soal gangguan lingkungan, Bratasena dan Permadi bisa membantu mengatasi. Mereka berdua sudah biasa menghadapi hewan buas atau berbisa. Halnya gangguan serangga, Dewi Kunthi dan Puntadewa bisa menjaga. Tetapi, soal perut lapar Pinten dan Tangsen, Dewi Kunthi benar-benar sedih. Anak Raja Gung Binathara Prabu Pandu Dewanata kelaparan? "Kalau saja ada yang mau beli rambutku, pasti aku pangkas, aku tukar dengan makanan," bisik Dewi Kunthi. "Permadi, bawa panahmu, kita cari makan," Bratasena mengajak Permadi, berniat menangkap kijang untuk dimakan, tetapi Dewi Kunthi melarang. "Mereka juga berhak hidup, bukan berhak dimakan." "Jadi, harus bagaimana, Kanjeng Ibu? Buah-buahan yang layak dimakan sudah tak ada lagi," kata Permadi. "Ya. Sungai yang banyak ikannya sudah jauh di belakang kita," Bratasena menimpali. "Pergilah kalian tapa ngrame, Permadi, Bratasena. Tolonglah orang-orang desa yang butuh pertolongan. Mintalah makanan jika mereka ingin memberi kalian tanda terima kasih. Jangan sekali-sekali kalian minta-minta, tanpa kalian melakukan sesuatu untuk mereka," pesan Dewi Kunthi. Begitu Bratasena dan Permadi berangkat mencari makanan, Dewi Kunthi berangkat bersamadi, berdoa agar ikhtiar kedua anaknya itu berhasil. "Jagalah kedua adikmu, Ibu harus bersamadi," perintah Dewi Kunthi kepada Puntadewa. Lalu, ibunda Pandawa Lima itu duduk menghadap dinding goa di ujung lorong. Begitu selalu dilakukan Dewi Kunthi setelah Bratasena dan Permadi berangkat tapa ngrame. Meski Dewi Kunthi ingat punya Aji Kunta Welasing Rasa Sabdha Tunggal Tanpa Lawan, ajian yang bisa menghadirkan dewa, ia tak mau merapalnya. Belum waktunya mateg aji pamungkas. Malu kepada dewa kalau hanya karena kelaparan saja lantas menghadirkan dewa. Malu! Hingga suatu hari, sewaktu tengah bersamadi, Dewi Kunthi mendengar suara yang dikenalnya, suara Resi Abiyasa, mertuanya, "Kunthi anakku, suruhlah anakmu Permadi pergi ke Pancalaradya. Di sana ada Sayembara Menthang Langkap. Mudah-mudahan inilah sarana lepasnya Pandawa dari penderitaan." "Bapa Abiyasa, mohon doa restu Bapa agar Permadi berhasil memenangkan sayembara," jawab Dewi Kunthi selekasnya mengakhiri samadinya dan menunggu Permadi-Bratasena bersama Pinten-Tangsen di mulut goa. Untuk pergi mengikuti Sayembara Menthang Langkap di Kerajaan Pancalaradya, penyamaran Permadi harus benar-benar sempurna. Harus berani tampil beda. Ia berdandan ala brahmana muda usia. Dan, ia pun menamai dirinya Brahmana Muda. "Bratasena, pergilah bersama Permadi. Jika ada lembutnya biar Permadi yang bertindak, tetapi jika ada agalnya kamu yang harus bertindak. Ibu yakin, Patih Sengkuni dan Korawanya pasti datang juga ke Pancalaradya," pesan Dewi Kunthi sebelum melepas kepergian Permadi dan Bratasena. Kerajaan Pacalaradya tak asing bagi Permadi maupun Bratasena. Di kerajaan inilah Harya Gandamana tinggal, setelah diusir oleh Prabu Pandu Dewanata. Harya Gandamana, yang seharusnya mewarisi tahta kerajaan dari ayahandanya, Prabu Gandabayu, memilih pergi mengabdi ke Kerajaan Hastinapura. Saking kagumnya terhadap kesaktian Prabu Pandu Dewanata. Karenanya, tahta Kerajaan Pancalaradya diserahterimakan kepada Sucitra, kakak iparnya, suami Dewi Gandawati. Permadi dan Bratasena pernah mendengar cerita ini langsung dari penuturan Mahapatih Gandamana. Permadi dan Bratasena sangat berharap, Harya Gandamana tidak mengenali mereka. Jika sampai Harya Gandamana mengenali mereka, tak bisa dicegah Patih Sengkuni dan Korawa pun akan mengenali mereka. Kalau begini kejadiannya, Sayembara Menthang Langkap pasti terganggu oleh perang tanding antara Bratasena-Permadi lawan Korawa. Sejak peristiwa Bale Gala-Gala, Bratasena sangat mendendam kepada Patih Sengkuni dan Korawa. Ingin rasanya melumat tubuh mereka satu demi satu. (Bersambung)

Oleh PANDUPAKSI

Tidaklah sama berhari-hari tinggal di dalam hutan dengan berhari-hari tinggal di Kahyangan Saptapertala. Meski dewa tidak makan layaknya makanan manusia, entah kenapa makanan untuk Dewi Kunthi dan Pandawa selalu tersedia. Atau, setidaknya di rumah Wijrapa. Di sini makanan tersedia berlebihan.

Berhari-hari di hutan, Si Kembar Pinten dan Tangsen tidak pernah bisa nyenyak tidur. Bukan saja karena gangguan serangga dan binatang malam yang setiap saat bisa muncul, melainkan juga karena kelaparan. Tak tersedia makanan setiap saat seperti waktu di rumah Wijrapa atau Kahyangan Saptapertala.

ewi Kunthi benar-benar prihatin memikirkan Si Kembar Pinten-Tangsen yang belum bisa mandiri seperti ketiga kakak mereka. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi, di samping bisa mengurusi diri mereka sendiri, juga kuat tidak makan berhari-hari, dan bisa menjaga diri dari marabahaya. Mereka sudah terbiasa berpuasa dalam rangka membersihkan jiwa. Mereka sempat digembleng ayahanda mereka.

Tidak demikian dengan Pinten dan Tangsen. Soal gangguan lingkungan, Bratasena dan Permadi bisa membantu mengatasi. Mereka berdua sudah biasa menghadapi hewan buas atau berbisa. Halnya gangguan serangga, Dewi Kunthi dan Puntadewa bisa menjaga.

Tetapi, soal perut lapar Pinten dan Tangsen, Dewi Kunthi benar-benar sedih. Anak Raja Gung Binathara Prabu Pandu Dewanata kelaparan?

“Kalau saja ada yang mau beli rambutku, pasti aku pangkas, aku tukar dengan makanan,” bisik Dewi Kunthi.

“Permadi, bawa panahmu, kita cari makan,” Bratasena mengajak Permadi, berniat menangkap kijang untuk dimakan, tetapi Dewi Kunthi melarang.

“Mereka juga berhak hidup, bukan berhak dimakan.”

“Jadi, harus bagaimana, Kanjeng Ibu? Buah-buahan yang layak dimakan sudah tak ada lagi,” kata Permadi. 

“Ya. Sungai yang banyak ikannya sudah jauh di belakang kita,” Bratasena menimpali.

“Pergilah kalian tapa ngrame, Permadi, Bratasena. Tolonglah orang-orang desa yang butuh pertolongan. Mintalah makanan jika mereka ingin memberi kalian tanda terima kasih. Jangan sekali-sekali kalian minta-minta, tanpa kalian melakukan sesuatu untuk mereka,” pesan Dewi Kunthi.

Begitu Bratasena dan Permadi berangkat mencari makanan, Dewi Kunthi berangkat bersamadi, berdoa agar ikhtiar kedua anaknya itu berhasil. 

“Jagalah kedua adikmu, Ibu harus bersamadi,” perintah Dewi Kunthi kepada Puntadewa.

Lalu, ibunda Pandawa Lima itu duduk menghadap dinding goa di ujung lorong. Begitu selalu dilakukan Dewi Kunthi setelah Bratasena dan Permadi berangkat tapa ngrame. Meski Dewi Kunthi ingat punya Aji Kunta Welasing Rasa Sabdha Tunggal Tanpa Lawan, ajian yang bisa menghadirkan dewa, ia tak mau merapalnya. Belum waktunya mateg aji pamungkas. Malu kepada dewa kalau hanya karena kelaparan saja lantas menghadirkan dewa. Malu!

Hingga suatu hari, sewaktu tengah bersamadi, Dewi Kunthi mendengar suara yang dikenalnya, suara Resi Abiyasa, mertuanya, “Kunthi anakku, suruhlah anakmu Permadi pergi ke Pancalaradya. Di sana ada Sayembara Menthang Langkap. Mudah-mudahan inilah sarana lepasnya Pandawa dari penderitaan.”

“Bapa Abiyasa, mohon doa restu Bapa agar Permadi berhasil memenangkan sayembara,” jawab Dewi Kunthi selekasnya mengakhiri samadinya dan menunggu Permadi-Bratasena bersama Pinten-Tangsen di mulut goa.

Untuk pergi mengikuti Sayembara Menthang Langkap di Kerajaan Pancalaradya, penyamaran Permadi harus benar-benar sempurna. Harus berani tampil beda. Ia berdandan ala brahmana muda usia. Dan, ia pun menamai dirinya Brahmana Muda.

“Bratasena, pergilah bersama Permadi. Jika ada lembutnya biar Permadi yang bertindak, tetapi jika ada agalnya kamu yang harus bertindak. Ibu yakin, Patih Sengkuni dan Korawanya pasti datang juga ke Pancalaradya,” pesan Dewi Kunthi sebelum melepas kepergian Permadi dan Bratasena.

Kerajaan Pacalaradya tak asing bagi Permadi maupun Bratasena. Di kerajaan inilah Harya Gandamana tinggal, setelah diusir oleh Prabu Pandu Dewanata. Harya Gandamana, yang seharusnya mewarisi tahta kerajaan dari ayahandanya, Prabu Gandabayu, memilih pergi mengabdi ke Kerajaan Hastinapura.

Saking kagumnya terhadap kesaktian Prabu Pandu Dewanata. Karenanya, tahta Kerajaan Pancalaradya diserahterimakan kepada Sucitra, kakak iparnya, suami Dewi Gandawati. Permadi dan Bratasena pernah mendengar cerita ini langsung dari penuturan Mahapatih Gandamana. Permadi dan Bratasena sangat berharap, Harya Gandamana tidak mengenali mereka. Jika sampai Harya Gandamana mengenali mereka, tak bisa dicegah Patih Sengkuni dan Korawa pun akan mengenali mereka.

Kalau begini kejadiannya, Sayembara Menthang Langkap pasti terganggu oleh perang tanding antara Bratasena-Permadi lawan Korawa. Sejak peristiwa Bale Gala-Gala, Bratasena sangat mendendam kepada Patih Sengkuni dan Korawa. Ingin rasanya melumat tubuh mereka satu demi satu. (Bersambung)

Avatar photo

About Pandupaksi

Jurnalis dan Penulis Cerita Wayang