Oleh PANDUPAKSI
Permadi dan Bratasena agak terlambat datang. Eh, sangat terlambat malah. Raja-raja dari seberang sudah bertumbangan. Nyatanya mereka hanya besar mulut dan nyali. Kesaktian mereka nol besar. Nafsu syahwat mereka terhadap Dewi Drupadi saja yang berkobar. Mereka tak kuasa mengangkat langkap, jangan dikata menarik tali busurnya.
“Kehormatan bagi Prabu Anom Kurupati dari Hastinapura, dipersilakan,” suara teriakan penyelenggara bergema. Korawa bersorak. Seolah kemenangan sudah di depan mata.
Bratasena dan Permadi maju beberapa langkah, mendekati panggung.
“Jangan terlalu dekat dengan mereka. Sengkuni sudah plirak-plirik,” kata Bratasena mengingatkan adiknya.
“Paman Prabu Drupada, aku yang akan memboyong putrimu. Sembahku katur,” ucap Duryudana kelewat pede.
“Silakan, Anakmas Kurupati.” Prabu Drupada menyahut, tapi pandang matanya ke arah Harya Gandamana.
Putra mahkota Pancalaradya Mendiang Prabu Gandabayu, Harya Gandamana, tanggap ing sasmita. Biasanya, manakala Korawa kalah dalam sayembara, terus bikin onar.
Duryudana, yang berbadan besar mirip sapi glonggongan, nyaris putus napas. Ia merasa mengangkat Gunung Himawat. Dursasana, Durkempa, dan Dur yang lain, semuanya gagal mengangkat langkap keramat yang disediakan di panggung. Boro-boro memanah sasaran tembak yang ada. Lain halnya dengan peserta berikutnya, Permadi alias Brahmana Muda. Dengan entengnya, setelah sejenak berdoa dan menyembah langkap, Permadi mengangkat langkap dan membidik sasaran. Clap! Sorak-sorai penonton bergemuruh mengiringi sukses Brahmana Muda Kleyang Kabur Kanginan itu.
Dahi Harya Gandamana berkerut-kerut. Ada yang mencurigakan dari penampilan peserta yang satu ini. Mudah-mudahan benar dugaanku, pikirnya.
“Sontolotis! Korawa memang bisanya cuma hura-hura,” omel Patih Sengkuni. “Kalian lihat itu, Brahmana Kumal malah sukses!”
“Kita begal di jalan, Man. Kasihan Yayi Drupadi diboyong brahmana gelandangan macam dia!” Prabu Anom Kurupati alias Duryudana menggamit Patih Sengkuni.
Marah bukan kepalang Bratasena melihat Korawa menghadang mereka di luar Gapura Kerajaan Pancalaradya. Bisa dibayangkan bagaimana Korawa dilibas Bratasena yang benar-benar mendendam selama ini. Korawa kocar-kacir. Patih Sengkuni mengerutkan dahi. Katanya, “Rasanya aku kenal brahmana ini. Tapi, di mana ya?”
“Ora nggagas. Pulang, Man! Bikin malu. Malu, Man!” sahut Duryudana kesal.
“Bangkekan kula, Man.” Dursasana terseok-seok mendatang Patih Sengkuni.
“Crigis! Ayo, Korawa pulang!” Patih Sengkuni memimpin barisan.
Melihat Permadi yang memenangkan Sayembara Menthang Langkap, bukan saja Korawa yang tidak terima, melainkan Destrajumna juga. Adik Drupadi ini sangat keberatan jika kakaknya diboyong oleh Brahmana Muda yang penampilannya meragukan. Anak lelaki Prabu Drupada yang lahir dari asap sesaji ini tak tinggal diam. Diam-diam ia menguntit kepergian Permadi dan Bratasena.
Dan, Destrajumna semakin marah sewaktu kakak yang disayanginya dibawa masuk hutan belantara.
“Dusmalaningrat leketheking jagad! Mau jadi apa Kakangmbok Drupadi hidup di hutan! ” Destrajumna semakin semangat menguntit laNgkah mereka. Kini ia menghunus keris dari pinggangnya.
Dan, di dalam sebuah goa, Dewi Kunthi, Puntadewa, dan Pinten-Tangsen menyambut Permadi, Bratasena, dan Dewi Drupadi.
“Jangan kaget, Nini Drupadi. Aku dan anak-anakku terpaksa seperti ini. Menyamar dan hidup di hutan,” sambut Dewi Kunthi ramah.
Bukan hanya Dewi Drupadi yang kaget. Destrajumna lebih-lebih. Keris di tangannya gemetar dan terjatuh.
Suara keris membentur batu berdenting membuat Permadi dan Bratasena menoleh.
“Ampunkan saya, Raden. Saya Destrajumna, adik Kangmbok Drupadi.” Destrajumna bergegas maju dan menghaturkan sembah.
“Ada apa kamu menyusulku, Destrajumna?” Dewi Drupadi kaget bercampur malu.
“Ampun, Kakangmbok. Saya hanya ingin memastikan siapa sebenarnya Brahmana Muda yang memboyong Kangmbok Drupadi. Syukur Mangayubagyo, ternyata Kakangmas Permadi dan Kakangmas Bratasena, kesatria toh jalining jagad, Pandawa yang kaloking rat…”
“Destrajumna,” tukas Dewi Kunthi. “Kamu keberatan Mbak Ayumu diboyong Permadi?”
“Duh, Kanjeng Bibi Kunthi, sembah saya katur. Ampunkan saya yang berani memata-matai Kangmbok Drupadi. Berani mencurigai Kangmas Permadi dan Kangmas Bratasena. Saya siap menerima hukuman dari Kanjeng Bibi Kunthi.” (Bersambung).