Oleh PANDUPAKSI
Dewi Kunthi tersenyum. Baru kali ini, terhitung sejak peristiwa Bale Gala-Gala, ibunda Pandawa ini bisa tersenyum. Lucu melihat Destrajumna salah-tingkah.
“Destrajumna, jamak jika kamu khawatirkan Mbak Ayumu. Siapa orangnya tidak cemas melihat Sekaring Kedhaton Pancalaradya dibawa masuk hutan.”
“Ampun, Kanjeng Bibi. Kalau begitu, buru-buru saya mohon pamit. Betapa gembiranya Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu mendengar berita ini.” Tak bisa dicegah, Destrajumna bergegas pulang ke Pancalaradya dan melapor ke hadapan ayahandanya, Prabu Drupada.
“Jagad dewa bathara. Destrajumna, cepat kamu siapkan penjemputan bibimu Kunthi dan Pandawa. Oh, beja kemayangan kamu Drupadi.” Prabu Drupada tak bisa menyembunyikan kegembiraan hatinya.
Dan, sejak itu Dewi Kunthi berikut Pandawa tinggal di Kerajaan Pancalaradya. Tentu lebih dulu diadakan pesta perkawinan Puntadewa dengan Dewi Drupadi. Permadi menyerahkan Dewi Drupadi ke hadapan ibundanya, dan Dewi Kunthi menjodohkan Dewi Drupadi dengan Puntadewa. Toh, Permadi masih terlalu muda untuk beristri, sedangkan Bratasena baru saja berjodoh dengan Dewi Nagagini.
“Pesta perkawinan sekaligus penyambutan bagi tamu-tamu agung,” sabda Prabu Drupada.
Dewi Kunthi tak lagi keberatan. Biarlah Korawa tahu keberadaan Pandawa di Kerajaan Pancalaradya. Beranikah mereka menyerbu Pancalaradya?
Sudah pasti Harya Gandamana tak akan berpangku tangan.
“Biarkan Sengkuni dan Korawa berhadapan dengan Dimas Gandamana. Sulung Mlebu Geni,” kelakar Prabu Drupada.
Kembali tinggal di lingkungan kemewahan, lingkungan yang serba ada, Pinten dan Tangsen merasa senang bukan kepalang. Tak ada lagi acara kelaparan dan sulit tidur. Lebih dari itu, Harya Gandamana selalu siap melindungi mereka kapan saja. Bahkan, pelan tapi pasti, mulailah Harya Gandamana melatih mereka olah kanuragan.
“Sebagai Putra Prabu Pandu Dewanata, kalian harus bisa melindungi diri dari segala macam ancaman.” Harya Gandamana tak bosan-bosannya memotivasi Pinten-Tangsen.
Bratasena dan Permadi pun merasa menemukan kesempatan untuk memperdalam ilmu yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya memikirkan makan dan makan.
Bukan Dewi Kunthi kalau begitu saja mau menikmati kemewahan. Belum saatnya Pandawa bermanja-manja, bermewah-mewah. Tentu bukan ini yang dimaksudkan Resi Abiyasa.
Dewi Kunthi merenung dari hari ke hari. Prabu Drupada bisa membaca kegelisahan ibunda Pandawa ini. Dari itu, Prabu Drupada mencari cara untuk membantu Pandawa, yang kiranya sesuai dengan kehendak Dewi Kunthi.
“Sudah pasti Yayi Ratu Kunthi merasa tidak nyaman tinggal berlama-lama di Pancalaradya. Padahal, aku pribadi sangat senang jika Yayi Ratu dan Pandawa tetap tinggal di Pancalaradya.” Prabu Drupada membuka pembicaraan dari hati ke hati.
Sebagai raja yang memiliki wilayah begitu luas, Prabu Drupada dengan senang hati menghadiahkan Alas Wisamarta kepada Pandawa.
“Sebaiknya Pandawa memang tidak perlu berharap lagi memiliki Kerajaan Hastinapura lagi. Kita tahu siapa Sengkuni dan Korawanya. Bukankah lebih baik mendirikan kerajaan sendiri?”
Alas Wisamarta, sepintas-kilas tidak berbeda dengan hutan pada umumnya. Akan tetapi, sesungguhnya di sinilah berdiri sebuah kerajaan dari bangsa jin yang begitu megah. Inilah Kerajaan Amarta, kerajaan di bawah kekuasaan Prabu Yudhistira beserta keempat adiknya: Jin Werkudara, Jin Arjuna, dan Si Kembar Jin Nakula serta Sadewa.
Keberadaan kelima jin sakti ini lantas menjadikan Alas Wisamarta gawat kaliwat-liwat. Sato mara sato mati, janma mara keplayu. Bratasena, karena memang tidak tahu bahayanya masuk Alas Wisamarta, menyanggupi babat Alas Wisamarta. Syukurlah ada Permadi yang memiliki Lisah Jayengkaton. Minyak yang jika dioleskan ke pelupuk mata bisa menampak keberadaan makhluk halus. Maka, sewaktu Bratasena diringkus oleh para prajurit Kerajaan Amarta, Permadi berhasil membebaskannya.
Setelah Bratasena mencoba daya Lisah Jayengkaton, barulah ia sadar ancaman yang membayanginya.
“Sekalian kita datangi rajanya.” Bratasena mengajak Permadi melabrak Kerajaan Amarta.
Puntadewa tak tega membiarkan kedua adiknya berhadapan dengan kelima jin sakti itu. Meski seumur hidup belum pernah berperang, Puntadewa sangat disayang oleh para dewa. Halnya Pinten-Tangsen, meski baru beberapa hari mendapat gemblengan dari Harya Gandamana, keberaniannya maju pesat. Mereka tak mau ketinggalan ketiga kakak mereka. Putra kembar Dewi Madrim ini harus berhadapan dengan Jin Nakula dan Jin Sadewa.
Jin Yudhistira yang harus melawan Puntadewa merasa kewalahan. Puntadewa yang klemar-klemer ternyata menguarkan hawa panas membakar. Adapun Jin Werkudara tak bertahan lama adu kesaktian dengan Bratasena. Pun, Jin Arjuna terpaksa mengakui keunggulan Permadi dalam hal perang tanding.
“Kami mengaku kalah. Tetapi, kami masih ingin hidup dan ikut mengelola Kerajaan Amarta. Untuk itu, izinkan kami menitis ke dalam raga Pandawa Lima. Dan, demi Kerajaan Amarta, agar Pandawa Lima bisa menempati dan memiliki Kerajaan Amarta, sudilah kiranya Pandawa Lima mewarisi nama-nama kami berlima.” Demikian Prabu Yudhistira berwasiat.
Maka, mulai detik itulah Puntadewa dikenal juga sebagai Yudhistira, Bratasena sebagai Werkudara, Permadi sebagai Arjuna, dan Pinten-Tangsen lebih terkenal sebagai Nakula dan Sadewa. * (Tamat)