CERPEN : Bayi dalam Bus Malam

Oleh NADJIB KARTAPATI Z.

     Ketidaksabaranku telah menciptakan perasaan tergesa yang amat sangat. Tetapi kini ketergesaan itu berakhir ketika bus yang kutunggu mencium Terminal Induk Semarang. Jam di lenganku sudah menunjukkan pukul 18.00 kurang tujuh menit. Aku bergegas turun dan setengah berlari menuju Bus Malam “M” yang tampak sudah siap berangkat. Dan ketika kudapatkan tempat dudukku pada nomor empat belas, barulah kemudian hatiku merasa lega. Aku tidak perlu cemas lagi ditinggal bus ini ke Jakarta, dan dengan sendirinya tidak jadi kehilangan uang tiket yang sudah terbeli.

     Setelah terlambat tujuh menit dari waktu yang ditentukan, Bus Malam “M” yang digolongkan kelas kambing ini mulai berangkat menuju Jakarta. Dan pada saat itu barulah aku sadar bahwa yang duduk di sebelahku adalah seorang pemuda dengan membawa seorang bayi perempuan. Mula-mula kurasakan sebagai kebetulan yang tak punya arti apa-apa. Namun ketika kulihat pemuda di sebelahku ini tidak membawa perlengkapan bayi apa pun, ditambah baju yang dikena-kan bayi itu bukan jenis pakaian yang pantas untuk bepergian, perhatianku menjadi ganda dan dipenuhi perasaan aneh.

     “Mau ke Jakarta?” tanyaku kepada pemuda di sebelahku seka¬dar basa-basi, tetapi sebenarnya hatiku ingin tahu lebih banyak.

     “Ya,” jawabnya singkat.

     “Ini anaknya?”

     “Ya… Oh, bukan. Keponakan saya,” jawabnya lagi tergugup. Ia lalu membuang pandangnya ke luar jendela seperti sengaja menghindari pertanyaanku lebih lanjut. Dan karenanya  aku menjadi bertanya-tanya.

     Kuperhatikan bayi perempuan yang kutaksir usianya tak lebih lima bulan itu. Aku memang selalu memperhatikan setiap bayi perempuan di mana saja, sebab aku merindukannya. Kusadari betapa hebatnya rinduku memiliki anak perempuan. Betapa tidak! Sampai-sampai aku menolak ikut KB gara-gara keempat anakku semua lelaki. Mata bocah itu jelalatan seakan ada yang dicari. Wajahnya seperti menyimpan rasa takut. Aku menangkap keterasingan bayi ini dalam pangkuan pemuda yang canggung itu. Sebentar-sebentar ia merengek. Lalu pemuda itu jadi gugup dan membenahi letak pangkuannya, dan bus pun berlari kencang membelah ujung malam.

     “Ibunya di mana?” tanyaku lagi. 

     “Di Jakarta…” jawab pemuda itu masih dengan gugup.

     “Di Jakarta? Anak sekecil ini diperbolehkan ibunya dibawa oleh orang lain?” tanyaku mulai mengekspresikan keheranan.

     “Saya ini pamannya. Dan…em… dia saya ajak ke rumah neneknya, ibu saya, di Purwodadi….” begitu jawabnya. Tetapi cara menjelaskannya sungguh dengan nada ketakutan, dan karenanya menambah kecurigaanku saja.

     Dari rengekannya yang tidak terpenuhi, bocah itu kemudian menangis keras-keras. Penumpang di dalam bus semua menengok ke arahnya. Pemuda itu jadi kebingungan. Tangannya menggagap-gagap ransel kecil dan dari sana ia mengeluarkan sebotol air putih. Dan rasa heranku semakin menjadi-jadi. Apa mungkin anak sekecil ini diberi minum air putih? Selanjutnya pemuda itu memaksa meminumkannya. Dan bocah itu memberontak sehingga dari mulutnya yang menganga itu bertumpahan air. Hampir-hampir aku tak tega melihat karena perasaan iba, tetapi aku harus menyaksikannya karena curiga. Sementara aku menekan rasa pilu di lubuh hatiku.

     Setelah anak itu didekap-dekap, lerailah raung tangisnya. Pikiranku jadi tidak tenteram. Aku mulai teringat berita-berita di koran tentang penyelundupan bayi ke luar negeri. Dan tiba-tba timbul kecurigaanku terhadap pemuda ini. Bukan mustahil bayi  ini didapat dari mencuri, atau katakanlah menculik. Entah milik tetangganya atau milik ibu yang tak dikenal.

     “Kok tidak dibawakan susu?” tanyaku menyelidik.

     Pemuda itu tidak menjawab. Kuterkamkan tatapan mataku ke wajahnya. Dan ia jadi tampak tak tenang. Wajahnya mendadak pucat, setidaknya  dalam penglihatanku—tidak seperti ketika kutegur pertama kali. Diam-diam aku membayangkan betapa ibunya di rumah menangis meratap-ratap kehilangan putrinya yang mungil dan cantik ini. Dadaku semakin menggempa saja, tetapi anehnya semua penumpang tidak ada yang menaruh perduli.

     Ketika bus melewai Alas Roban, aku tidak tahu apa sebabnya bayi itu mendadak menangis lagi. Setelah pemuda yang kuduga penculik itu menghibur dengan susah-payah dan bayi itu masih tak mau berhenti menangis, dari koporku segera kukeluarkan jaket.

     “Mungkin dingin, Dik, cobalah selimuti ia dengan jaket ini,” kataku.  

     Dengan ragu-ragu pemuda itu menyambut dan membungkus bayinya dengan jaketku. Dan tak lama kemudian bayi itu pun terdiam. Kedua matanya yang bening membola itu menatapku seakan mohon perlindungan. Hatiku merasa tersayat. Dan tiba-tiba  timbul  keinginanku untuk menggendongnya. 

     “Kalau Adik capek aku mau menggendongnya,” kataku menawarkan. 

     “TerIma kasih…” jawab pemuda di sebelahku ini, dingin.

     Tahu-tahu tanganku sudah menjulur meraih bayi itu dari dukungannya. Mula-mula ia menahan, tetapi setelah aku merenggutnya setengah paksa barulah ia mau mengalah. Bayi iyu menyerah dalam dekapanku. Matanya tiada berkedip memandangku. Dan ketika aku tersenyum seraya mencolek dagunya yang mungil, bayi itu tersenyum. Aduh cantiknya! Ia seakan merasa aman dalam pelukanku dan karenanya hatiku pun jadi tersentuh.

     Bus melaju ditingkah hingarnya suara kaset yang mendendangkan lagu ndang-ndut, membuai para penumpang yang terkantuk-kentuk. Aku mengkhayal suatu saat memiliki bayi perempuan secantik ini. Tetapi kapan? Demikian kesadaranku menyanggah. Bayi ini kudekap erat-erat seakan tak hendak kuserahkan kepada pemuda itu kembali. Aku tiba-tiba ingin mengambil alih kekuasaan atas bayi ini. Dan aku membayangkan betapa istriku akan gembira melihat kepulanganku dengan membawa seorang bayi perempuan cantik.

     Tanpa kusadari aku sudah merancang akal untuk merebut bayi ini dari kekuasaan pembawanya. Aku pikir tidak terlampau sulit kalau toh bayi ini memang benar-benar curian. Apalagi kecurigaanku tampaknya sudah tercium olehnya, dan ia pun jadi semakin ketakutan. Tetapi sejenak aku berpikir, membawa bayi ini apakah bukannya malah jadi bumerang? Salah-salah aku bisa dituduh sebagai penculiknya. Ah, tidak! Aku toh bisa segera mengumumkan kepada masyarakat luas begitu bayi ini jatuh ke tanganku. Kalau ada ibu yang bisa membuktikan bahwa ini adalah benar-benar bayinya, tentulah ia akan memberiku tebusan, paling tidak imbalan materi. Bukankah itu juga satu keuntungan bagiku? Apalagi kalau ternyata tidak ada seorang pun ibu yang mau mengakui, bayi ini akan sah jadi milik keluargaku.

     “Di Jakarta Adik tinggal di mana?” tanyaku memancing.

     Dengan tergugup pemuda itu menjawab, “Di Tanah Tinggi.”

     Dan ketika kukejar dengan detail, ia tampak semakin kedodoran. Mantaplah keyakinanku bahwa ia sengaja berbelit. Dan ketika dengan sengaja aku menceritakan tentang santernya berita penyelundupan bayi ke luar negeri, pemuda itu semakin kelihatan gelisah. Wajahnya mendadak pias bagai kertas. Kemudian kuberondong ia dengan berbagai pertanyaan yang kemudian membuatnya gelagepan menjawab. Tahulah aku bahwa ia telah berbohong.

     Bus berhenti di terminal kota Tegal. Beberapa anak penjaja beramai-ramai menawarkan dagangannya lewat mulut jendela. Segera kubeli dua buah telor asin dan kepada penjaja kupesan agar cepat-cepat membelikan aku susu ultra. Anak itu melaksanakan tugasnya dengan baik sebelum bus sempat bergerak lagi.

     Dan ketika bayi ini mulai merengek, lekas-lekas kuberi makan dia telor. Lewat mulutnya yang mungil itu kusuapi cuilan demi cuilan telor asin yang ternyata tidak begitu asin. Ia melahap dengan rakus sampai habis hampir satu butir. Lalu kuminumkan susu ultra lewat tutup termos yang kubawa. 

     Bus terus melaju kencang sementara bayi ini terlelap dalam dekapanku. Sesekali kulirik pemuda yang duduk di sebelahku: tampak masih pucat dan gelisah. Kemudian aku pun memeras akal lagi. Dan inilah yang membuatku tak bisa tidur meski kepenatan menggerogoti seluruh persendian tulang-tulangku. 

     Bus sampai di Sukamandi dan berhenti di depan sebuah restoran. Hampir semua penumpang pada turun. Pemuda di sebelahku meminta bayi ini kembali. Dan aku pun menyerahkannya untuk kemudian turun. Dari luar kuawasi pemuda itu duduk dengan gelisah di tempatnya. Kepalanya menoleh ke kanan kiri. Dan pada saat itu aku menemukan satu taktik licik. Segera kuhampiri salah seorang penumpang bus kami yang sedang makan di restoran. Rasanya tepatlah kalau aku memilihnya sebab ia punya potongan yang agak menyerampak. Lelaki itu berpostur tinggi tegap, tubuhnya perkasa, berambut pendek dan berjaket kehijauan, mirip-mirip potongan tentara, tetapi aku tidak yakin ia aparat negara.

     “Baiklah kalau begitu,” katanya meyakinkan, setelah kuceritakan semua rencanaku. “Maksud Saudara… pemuda yang duduk di sebelah Saudara tadi?”

     “Ya, benar! Tolong janganlah Anda berhenti mengawasinya di saat dia menatap Anda.”

     “Jadi saya harus sering-sering memelototi dia?”

     “Kalau pas dia melihat Anda saja.”

     Begitu bus berangkat lagi aku segera melaksanakan rencanaku.

     “Aku kasih tahu Adik jangan kaget ya!” kataku berbisik.

     Pemuda itu menatapku dengan wajah sepucat kapas.

     “Adik tahu tidak, lelaki yang berjaket dan berambut pendek yang duduk di sebelah nenek tua di belakang itu? Dia ternyata intel yang sedang mengawasi Adik. Karena itu Adik harus hati-hati….”

     “Memangnya saya kenapa?” katanya dengan suara agak menggigil. “Hanya karena saya membawa bayi ini?”

     “Intel itu bilang sama saya bahwa dia akan menyergap Adik begitu bus ini tiba di Pulo Gadung. Katanya dia tahu dari mana bayi ini. Sebenarnya ini sih bukan urusan saya. Saya hanya memberitahu Adik karena kebetulan intel itu sempat bercakap-cakap dengan saya. Tadi dia mengira saya ini temannya Adik….”

     “Masak intel cerita begitu sama orang lain?” tanya pemuda di sebelahku ini hampir tak kedengaran.

     Mendengar jawabannya itu aku langsung menyadari akan kebodohanku sekaligus tahu bahwa pemuda ini cukup cerdas.

     “Mungkin dia memang intel yang agak tolol,” jawabku. “Tadi saja saya hampir jadi korban salah tangkap! Yang jelas Adik mesti hati-hati!”

     Sampai di sini pemuda di sebelahku tidak menjawab lagi. Matanya jadi terbelalak dan kedua bibirnya bergetar. Wajahnya yang sudah pucat itu semakin menjadi seperti mayat. Dan aku terus melancarkan intimidasi.

     Sempurnalah ketakutannya ketika ia sengaja menoleh ke belakang menatap penumpang berjaket dan berambut pendek itu. Lelaki perkasa yang mendukung rencanaku itu benar-benar hebat membawakan peranannya. Matanya yang bagai burung hantu itu terus mengawasi pemuda ini. Dalam kepanikannya yang kuduga sudah memuncak, aku terus menakut-nakuti pemuda ini secara tak kenal ampun.

     “Kalau Adik sayang sama jiwa Adik, saya bersedia menolong,” kataku meyakinkan, membuat kedua mata pemuda itu berbinar. “Saat bus mencapai Pulo Gadung nanti, Adik harus segera meloncat turun setelah menyerahkan bayi ini kepada saya. Bereslah nanti setelah kita bertemu di luar terminal….”

     “Baiklah kalau begitu. Terima kasih sekali,” ucapnya sungguh-sungguh.

     “Tetapi itu pun harus menunggu siyarat dari saya.”

     “Baiklah, saya menyerahkan keselamatan diri saya kepada Bapak. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.”

     Betapa gembiranya hatiku. Rencanaku tampaknya cenderung akan berhasil. Kami akan bahagia memperoleh bayi perempuan. Cantik, lagi. Dan aku akan merencanakan untuk langsung balik ke Semarang begitu bayi ini jatuh ke tanganku. Toh kepergianku ke Jakarta tidaklah terlalu penting, hanya untuk menghadiri undangan seorang teman. Aku meletakkan tengkukku pada sandaran kursi bus. Udara dini hari yang dingin mendayu-dayu mataku. Dan….

     Aku tersadar dari kantuk ketika bus sudah memasuki mulut Terminal Pulo Gadung. Aku menoleh, dan pemuda di sebelahku sudah tidak ada lagi di tempatnya. Mataku jelalatan mencari-carinya dalam bus. Sia-sia! Dengan kesetanan aku pun menerombol ke tengah-tengah penumpang yang berebutan turun, menuju tempat lelaki berjaket dan berambut pendek tadi. Ternyata dia juga sudah tidak ada di tempatnya. Sesaat semua penumpang memperhatikan diriku. Dan ketika aku bertanya kepada siapa saja tentang ke mana perginya pemuda di sebelahku, nenek tua yang duduk di sebelah lelaki berjaket tadi menjawab, “Dia sudah turun begitu bus ini masuk Jakarta.  Lelaki di samping saya yang menggelandangnya turun….”

     Blass! Jantungku bagai copot. Betapa bodohnya aku. Perasaan menyesal luar biasa tiba-tiba menghimpit jiwaku. Aku merasa kehilangan besar meskipun kusadari bahwa aku tidak pernah memilikinya. Selebihnya aku terseok-seok turun dengan perasaan tak menentu. Tubuhku ngelimbung bagai tidak menatak bumi. Di bahuku masih tampak bekas liur bayi tadi. Betapa malang nasibnya!***

Sekarjalak, Pati, 1981