Seorang lelaki baya yang merasa suci dan paling benar dibandingkan orang lain itu kaget sekagetnya. Bahkan nyaris pingsan, ketika ia melihat wajahnya sendiri di atas permukaan air telaga itu!
Ia tidak lagi melihat wajahnya yang ganteng segantengnya mirip cover sampul majalah. Bentuk wajahnya jadi kotak tanpa rambut di kepala, mata belok, dan hidung lancip berbentuk segitiga yang ditempel.
Secara reflek ia meraba wajah sendiri. Hidungnya sedikit mancung, tapi tidak tempelan seperti yang tampak di permukaan air telaga. Ia lalu meraba mulut, mata, lalu rambut … semua normal. Berarti permukaan telaga itu menipu.
Saking penasaran ia mengambil hape, dan motret wajah sendiri.
Astaga! Potret yang di hape dan permukaan air telaga itu sama! Tapi, kenapa wajah yang diraba dan hasil potret itu berbeda?
Saking penasaran sepenasarannya ia lalu menuju ke mobilnya untuk bercermin di spion, spion tengah dalam, juga di kaca pintu. Potret itu sama pleg dengan wajahnya. Aneh, semua cermin itu seperti menipunya!
Tiba-tiba tubuhnya jadi merinding, karena ngeri. Mungkinkah tempat ini angker, banyak lelembutnya…
Ia tidak takut makhluk halus, karena martabat manusia itu lebih tinggi dibandingkan ciptaan Allah yang lain.
Ia lalu mengheningkan cipta sambil merapal ajian agar penghuni telaga itu tidak mengganggu. Ternyata ia tidak merasakan getaran aneh. Apa yang baurekso alias dedengkot danau itu lebih mumpuni, atau…?
Dicubitnya lengan sendiri. Sakit! Berarti ia tidak bermimpi.
Tidak mau dihantui oleh penasaran yang amat sangat, ia meninggalkan telaga itu. Tidak ada guna percayai tahayul, tapi keanehan itu disimpan dalam hatinya.
Ia lalu memarkir mobilnya di warung langganan untuk sarapan.
Sekali lagi ia terperangah kaget, lalu melangkah mundur. Karena, baik pemilik warung dan semua tamu yang sedang sarapan itu wajahnya kotak. Sama pleg dengan wajahnya yang dilihatnya di telaga.
Ia juga makin kaget, karena pemilik warung itu tidak mengenalinya, bahkan memandangnya dengan sorot mata aneh.
“Bapak mau makan apa?” tanya pemilik warung itu ramah.
“Biasa Pak Djo,” katanya agak dongkol.
“Sekali lagi maaf, saya tidak tahu sarapan kesukaan Bapak,” katanya.
Pemilik warung itu diamatinya dengan seksama. Ia tampak jujur dan tidak berpura-pura. Tapi kenapa tidak mengenalinya?
“Jika kau tidak mau menghargai perbedaan itu, untuk selamanya kau akan melihat bentuk semua orang itu sama pleg, terduplikasi,” tegur hati nuraninya tiba-tiba.
Untuk yang kesekian kali ia kaget. Teguran nuraninya itu membuat dadanya menyesak sakit. Ia sering jengkel, jika melihat orang jahat, intoleran, dan hobi mengkafirkan orang itu hidupnya dilimpahi harta, sukacita, dan damai sejahtera. Ia pun komplain melihat kepincangan itu, bahkan ia pernah memprotes Allah, seandainya semua orang itu diciptakan setipe atau bentuk…
Penyesalan yang menyesakkan dada itu membuat kakinya jadi lemas tanpa tenaga. Ia terduduk di lantai. Ia memejamkan mata sambil menarik nafas panjang…
“Ada apa, Pak?” sapa Pak Djo sambil menyentuh lengan lelaki itu.
Astaga! Ternyata ia sedang duduk sarapan, lalu sendoknya terjatuh. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang dilihatnya tadi? Apakah semua itu halunisasi?
Manusia yang berwajah kotak itu seperti menampar-ingatkan untuk sadar diri agar ia tidak mudah protes akan anugerah Allah, tapi mensyukurinya dengan penuh hikmat.
“Ketika kita membalas perbuatan buruk orang lain itu, apa bedanya kita dengan mereka?”
Penyesalan yang dalam untuk insyaf itu membuat ia seperti menemukan dirinya hidup kembali.
Mas Redjo/ Red-Joss