Melihat hasil pemeriksaan CT-Scan tiga dimensi yang diberikan dr, Drew, pikiran Julaika pekat, sepekat hatinya. “Ada tiga benjolan di rahim Ibu, yang dua masih kecil, yang satu lagi besar, sebesar kepalan tangan orang dewasa. Andai saja benjolan itu letaknya tidak terlalu menjorok ke dalam, bisa kami kuretase. Tapi ini posisinya sulit dijamah alat untuk dikuret, jadi susah kami bersihkan. Benjolan itu akan terus membesar, itu akan memengaruhi menstruasi Ibu dan ini berbahaya, Ibu bisa mengalami anemia, sebab menstruasinya tidak normal. Jalan satu-satunya, rahim Ibu harus kami angkat. Hanya rahim, dua indung telur tidak.”
Julaika mengangguk-anggukkan kepala. Mengangkat rahimnya? Perempuan berusia dua puluh sembilan tahun ini batuk-batuk kecil, ada dahak liar yang tiba-tiba bersarang di kerongkongannya. Ia tercekat. “Haruskah, Dok?” tanyanya. Matanya yang indah mengerjap tak percaya. Pipi chubbynya bersemu merah kepucatan.
“Kenapa, Bu, Ibu takut? Operasi angkat rahim memang operasi yang cukup besar, tapi jika benjolan yang diprediksi miom itu tidak segera diambil, kami curiga itu akan berubah menjadi kanker ganas. Sebelum dioperasi pun Ibu harus kami biopsi kanker dulu, sebab kami tidak mau mengambil resiko setelah operasi selesai, kanker itu akan menjalar dengan cepat. Keputusan memang ada di tangan Ibu, tapi sebaiknya Ibu pikirkan saran saya matang-matang.” dr. Drew ahli kandungan dan kebidanan itu memandang serius wajah Julaika. Ada sesuatu tampaknya yang ia sembunyikan di balik kesan seriusnya itu. Julaika berusaha mencari jawaban, namun, ucapan sang dokter tetap sama, ia menyarankan miom itu harus dibasmi dari rahimnya.
“Bisakah saya punya anak, Dok?”
“Bisa dengan meminjam rahim orang lain!”
Julaika termenung. “Meminjam rahim orang lain, maksudnya, Dok?”
“Begini, sperma suami dan sel telur Ibu disatukan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang bersedia menghamilinya. Kalau mau, carilah perempuan itu, bayar dia!” dr. Drew berkata dengan ringannya.
Siapa yang bersedia rahimnya digunakan untuk mengandung bayinya? Andaipun ada, sesudahnya akan menjadi masalah yang cukup pelik, si ibu yang mengandung bayi itu bisa saja berubah pikiran, naluri keibuannya akan muncul dan tidak mau memberikan bayinya. Lalu, setelah bayi itu besar apakah ia mau menerima dia sebagai ibunya? Konflik psikologis akan muncul, dan itu akan berkelanjutan hingga ia dewasa. Kepala Julaika mulai pening.
Tiga bulan sudah Julaika merasakan ada yang aneh dengan dirinya, menstruasinya yang datang sebulan sekali mulai menunjukkan ketidakberesan, berangsur-angsur darah merah segar itu muncul setiap dua minggu, kemudian waktunya berubah menjadi seminggu sekali. Tatkala gumpalan darah itu datang bagai air sungai yang deras kemudian memenuhi kamar mandinya seminggu yang lalu, Julaika semakin yakin, benjolan sebesar sekepalan tangan itu, bukan lagi sekedar benjolan jinak yang selama ini bersabahat dengan tubuhnya, namun dia telah berubah menjadi monster kecil yang sebentar lagi akan menggerogoti seluruh jaringan yang ada di rahim dan sekitarnya. Benjolan itu mulai menunjukkan kuasanya, dan dia tidak tahu bahwa di balik semua itu, ada masalah besar yang akan dihadapi perempuan cantik berkulit sawo matang dengan mata indah bak kejora di langit biru itu. Semua itu akhirnya menjadi ketakutan yang samar yang ia pendam bersama isak tangisnya yang tertahan di setiap malam nan sepi.
“Aku akan kehilangan segalanya,” katanya suatu hari pada Anna sahabat sekaligus teman sekantornya.
“Maksudmu?”
“Jika rahim ini diangkat, semua yang berkaitan dengan keperempuananku berakhir sudah. Dengan begitu, pernikahanku pun ikut berakhir.”
“Hah, kau gila? Jangan ngaco Aika. Pikiranmu ngawur, tidak mungkin Tito akan meninggalkanmu hanya gara-gara kau tak memiliki rahim lagi. Kalian kan saling mencinta? Pacaran selama sebelas tahun apakah tidak cukup untuk membuktikan kesetiaan suamimu?”
Julaika meringis tertahan. Ia ingat ketika dirinya dan Tito merayakan ulangtahun pernikahan mereka yang ke lima, Tito berbisik perlahan di telinganya, “Mudah-mudahan tahun depan kita bisa punya anak ya, sayang. Lima tahun menikah tanpa anak rasanya sepi…”
Julaika mengangguk perlahan. Ia sudah memeriksakan diri ke dokter dan dokter bilang dirinya tidak mandul, begitu juga Tito. Mereka pasangan muda yang sama-sama subur. Semua kebahagiaan itu mulai memudar tatkala kebersamaan melalui pergumulan lembut di pembaringan mereka yang empuk berlangsung, ada rasa sakit merambat perlahan di rahimnya. Rasa sakit itu kian hari datangnya kian sering, Julaika mulai merasakan ketidaknyamanan yang menerpa perasaannya setiap kali Tito mulai mencumbunya. Ia takut rasa sakit itu kembali menerjang.
Kenyataannya memang demikian, diam-diam, usai bercumbu, Julaika menangis perlahan di kamar kecil, ia melihat percikan darah selalu muncul saat buang air kecil dan itu membuat bagian bawah perutnya terasa nyeri serta ngilu. Ia ingin berbagi cerita pada suaminya. Namun Tito yang memiliki semangat tinggi untuk bercumbu, rasanya tak akan mungkin mau menerima alasan yang diberikannya. Rasa sakit itu kian lama berubah menjadi derita berkepanjangan yang ia rasakan sendirian. Julaika mulai merasa tak aman bila berdekatan dengan Tito. Pulang kantor, ia sengaja mampir ke rumah orangtuanya, duduk berlama-lama di situ hingga larut. Bahkan tak jarang ia memilih tidak pulang, menghindar dari serbuan mesra sang suami.
“Haruskah ini berlangsung terus Anna? Aku menjadi takut sekali bila melihat wajah Tito. Bagiku ia telah berubah menjadi laki-laki ganas yang akan memerkosaku, sungguh aku sangat ngeri. Dan ini penyiksaan buatku, aku tersiksa oleh rasa takut pada suamiku sendiri. Seks bagiku bukan lagi hal menyenangkan, tapi mengerikan.” Keluhnya.
“Ceritakan yang sesungguhnya pada Tito. Aku yakin ia pasti mau mengerti.”
“Jika ia mengerti, apakah masalahnya akan tuntas? Kurasa tidak. Tito baru berusia tiga puluh dua tahun. Ia segar dan kuat. Kau tahu, jika kuturuti, hampir setiap hari ia menginginkannya. Aku tak sanggup, Anna. Aku kesakitan, aku menderita…”
“Lalu apa solusimu? Kau akan membiarkan ini berlarut-larut? Ini tidak baik untukmu dan juga Tito. Kau mau minta cerai?” selidik Anna, menatap tepat di bola mata Julaika.
“Tidak, aku akan mencarikan ia isteri pengganti yang bisa memberikan anak dan melayaninya. Aku bersedia dimadu.”
“Apa? Pikiranmu masih waras, kan?”
“Dengar Anna, keberadaanku sebagai perempuan sudah tamat. Rahimku akan diangkat, aku tidak tahu apakah di tubuhku sudah bersarang kanker laknat itu atau tidak. Aku tidak bisa punya anak lagi. Andai pun pernikahan tetap dijalani, aku yakin Tito pasti tidak puas dan kecewa. Biarlah perempuan itu yang melahirkan anak Tito, biar ia yang melayani semua kebutuhan biologisnya. Aku bersyukur andai Tito tidak menceraikanku. Aku akan menjadi isteri boneka yang selalu menemaninya kemana pun ia pergi. Aku…”
“Hentikan Aika, aku tak mau mendengarnya lagi. Katakan semua yang kau derita pada Tito. Dia harus menerima kau apa adanya. Semua ini kan hanya imajinasimu saja. Aku yakin Tito tidak akan berbuat securang itu padamu, aku yakin!”
Tapi apa yang ada di pikiran Anna, tak sama dengan apa yang dikehendaki Julaika. Sahabatnya sejak SMP itu membisu tatkala ia memperkenalkan perempuan itu padanya. Dia muda, segar, cantik dan seksi, sesuai dengan selera Tito. Oh ya, ada satu hal yang membuatnya sengaja memilihnya, ia exhibitionist, suka berdandan dengan pakaian sedikit terbuka, terutama di belahan dada dan pangkal lengan. Ketiaknya yang selalu bersih tanpa rambut-rambut halus, kerap diperlihatkan jika ia sedang berbicara. Payudaranya yang penuh itu sering menyembul diam-diam tatkala ia menundukkan bahunya. Sepertinya ia sadar jika dirinya memiliki tubuh molek dan menggiurkan. Julaika juga suka melihat pinggulnya yang lebar, ia yakin dari situ kelak bisa lahir anak Tito yang molek, seperti yang pernah diidam-idamkannya dulu. Nama perempuan itu Malika, nama yang memiliki akhiran sama dengan namanya. Julaika yakin, Malika bisa ‘memproduksi’ anak seusai dengan permintaan Tito. Ya, meski getir, ia yakin itu bisa terlaksana.
“Kau mulai sinting Aika, di mana kau temui perempuan ini?” bisik Anna tatkala ia diperkenalkan dengan gadis itu.
“Dia office girl di kantorku. Anak broken home, dia minta dicarikan suami yang kaya, punya penghasilan tetap dan bisa menghidupi ibu serta seorang adiknya. Bapaknya sudah meninggal beberapa bulan lalu.”
“Kau sudah cerita apa tujuanmu?”
“Belum, itu tak perlu. Aku punya rencana lain untuknya.”
“Apa itu?”
“Dia akan kuajak tinggal di rumahku.”
“Hah? Kali ini kau memang benar-benar sinting Aika.”
“Ya aku memang telah sinting, sinting karena sebentar lagi kanker rahim biadab itu akan merenggutku…”
Anna terdiam, Julaika juga. Malam itu, bulan masih setengah bulat. Di keremangan teras rumahnya, Julaika memandang bulan, air matanya mengambang di pipi. Ia yakin awalnya skenario pernikahannya dengan Tito tidak seperti ini endingnya. Tapi apa boleh buat, inilah jalan satu-satunya yang harus ia lakukan. Dan Malika, gadis dengan penampilan exhibitionist itu benar-benar membawa barang-barangnya ke rumah. Lalu, permainan ‘sinetron’ perihal kehidupan anak manusia pun akan segera dimulai.
Tito berdiri terhuyung usai meminum ramuan yang diberikan Julaika. Tubuhnya memanas, adrenalinnya meninggi, ia merasakan gejolak birahi yang sangat di luar ambang batas. Matanya berkunang-kunang, samar-samar ia melihat Julaika menghampirinya, mengenakan baju tidur yang biasa ia kenakan, celana G’String-nya membayang kontras, membentuk lekukan nyata yang sangat seksi. Tito kian garang. Malam itu, di luar gerimis turun perlahan. Julaika menangis diam-diam di kamarnya. Malika memainkan peran yang telah disusunnya. Ketika pintu rumah dibuka paksa oleh Pak RT dan beberapa warga, Malika dan Tito terpana bisu di atas pembaringan tanpa sehelai benang pun di tubuh. Saat itu juga mereka dinikahkan secara paksa oleh warga. Dan Julaika menarik nafas dalam-dalam tatkala keesokan harinya mendengar suara Tito yang garang memanggil-manggil namanya.
“Mengapa, mengapa kau lakukan ini padaku, Aika?” Tanya Tito bersimbah air mata.
Dingin dan kelu Julaika berkata, “Itu kulakukan karena aku sangat menyintaimu.” Perempuan cantik yang hampir tujuh tahun menjadi isteri laki-laki berwajah tampan yang sangat maskulin ini, kemudian memberikan hasil Ct-Scan rahimnya pada Tito. Meski tak ada bibit-bibit kanker, rahimnya tetap harus diangkat. “Aku tak bisa melahirkan. Rahimku terserang mioma parah. Berilah aku anak melalui perempuan itu!” sambungnya dingin.
Tito menangis lebih keras, ia bersimpuh, memeluk dengkul Julaika. “Aku tak ingin seperti ini jadinya, aku sangat mencintaimu. Tak ada anak pun, tak apa Aika. Kita bisa hidup bersama sampai tua, kita bisa mengangkat anak-anak terlantar yang tak memiliki orangtua, mengapa…mengapa kau tidak menceritakannya padaku. Mengapa kau mengambil keputusan sepihak? Mengapa kau nikmati deritamu sendirian Aika…”
Namun nasi telah menjadi bubur. Di malam-malam berikutnya, Julaika merelakan belahan jiwanya terbenam bersama perempuan pilihannya, perempuan yang menjadi isteri suaminya. Ia menangis tak bersuara tatkala mendengar lenguhan perempuan itu di sebelah kamarnya, kamar yang setiap saat bisa dimasukinya, kamar yang dulu menjadi tempat malam pengatinnya, malam saat ia menyerahkan keperawanannya pada Tito, kekasih hatinya, suaminya. Dan itulah akibat dari skenario yang telah dibuatnya. Isak Julaika terdengar seperti bisikan di malam yang dingin itu.
“Tampaknya, skenarioku endingnya tak seperti yang kuharapkan Anna,” ujar Julaika serak.
“Maksudmu?”
“Aku harus keluar dari rumah itu. Aku tak kuat melihat perempuan itu, isteri suamiku, memerlihatkan perut buncitnya di hadapanku. Rencana peminjaman rahim gagal total, orang sekampung sudah keburu datang, aku belum sempat bernegoisasi dengan perempuan itu. Obat kuat yang kumasuki ke dalam minuman Tito terlalu cepat bekerja. Dan perempuan itu ternyata tak sebodoh yang kukira, ia mengenakan baju tidur serta celana G-Stringku di saat yang tepat, saat otakku buntu untuk melakukan tindakan selanjutnya. Saat libido Tito telah berubah menjadi seganas serigala. Kini, ia akan memiliki anak dari suamiku. Rencanaku gagal total, ia kini yang berkuasa di rumah itu.” Mata Julaika memanas.
“Apakah ada perubaan pada Tito?”
“Ada.”
“Maksudnya?”
“Setelah operasi angkat rahim, ia tidak pernah lagi tidur bersamaku. Ia juga jarang pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi.”
“Ha, lalu kau diam saja?”
Julaika mengedikkan bahunya. Itu pertemuannya yang terakhir dengan Anna.
Malam itu, di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Julaika dan Tito duduk berdampingan. Bayi mungil yang baru berusia satu bulan terbungkus hangat dengan selimut flannel tebal yang nyaman. Julaika memeluk bayi itu dengan erat. Semalam hujan turun dengan lebat, dinginnya udara merambat berhembus perlaham mengalahkan dinginnya pendingin udara yang ada di ruang tunggu bandara. Tito memeluk bahu Julaika. Lalu ia mencium pipinya lembut. “Kau tidak lupa dengan susunya, kan sayang?” bisik Tito di telinga isterinya.
“Kau pikir mentang-mentang aku tidak pernah melahirkan, aku tidak bisa mengurus bayi? Tito, semua sudah kuatur dengan cermat dan teliti. Uang pensiun dini, green card menetap di Kanada, dan semua uang tabungan termasuk kartu kredit sudah kuurus dengan baik. Kau tenang saja.”
“Terimakasih, kau memang isteri yang cerdas. Aku sangat menyayangimu, aku takut kehilanganmu. Ini terakhir kalinya ya Aika, jangan menjebakku lagi.”
Julaika tersenyum. Tak akan pernah lagi Tito, kita akan hidup bahagia selamanya bertiga, gumamnya.
Pesawat Boeing 737 dengan jurusan Kanada menerbangkan ketiganya. Sebelum mereka tiba di situ, ada secarik kertas bertuliskan huruf-huruf miring dengan susunan yang rapi dan rata, di letakkan di atas meja kamar Malika. Tinta berwarna biru itu bertuliskan begini; dear Malika, terimakasih atas segalanya. Aku, Tito dan Dito telah pergi ke sebuah negara yang tidak bisa kusebutkan di mana letaknya. Kuserahkan seluruh harta benda serta rumah kami kepadamu. Kau bebas mau diapakan saja semua benda itu. Surat-suratnya ada di laci lemari kamarku, pintunya tidak terkunci. Sekali lagi terimakasih Malika, maafkan aku, Julaika, Tito…
Jari jemari Malika gemetar. Di luar sana, secercah cahaya berkelebat cepat lalu melesat tinggi dan hilang di balik awan. Dengan suaranya yang lantang Malika berteriak, “Julaikaaaaa kembalikan anakku….!” Awan hitam menutup gema suaranya. Skenario Julaika pun tamat. Di dalam pesawat, Julaika memeluk bayi itu dengan penuh kasih sayang.
Oleh : Fanny Jonathan Poyk