Jika boleh memilih, aku ingin hidup normal seperti kalian. Namun kalian telah memberikan stempel hitam untuk jalan yang kupilih. Haruskah aku menyalahkan Tuhan? Tidak! Tuhan selalu baik padaku. Mungkin kalianlah yang kerap menghujat dan menganggap aku aneh. Jadi, jika aku mencintainya, salahkah aku? Cinta datang tanpa kuminta, cinta menyerangku tanpa bisa kutahan, maka tolong mengertilah akan aku.
Tak ada yang salah dengan diriku, aku bertubuh normal, kurang feminin, tapi kata orang aku cantik meski dilahirkan dalam lingkup keluarga yang agak porak-poranda. Ayahku meninggalkan ibu, menikah tiga kali dan memberikan anak-anak (yang diisitilahkan ibu kotoran) kepadanya. Ibu menikah lagi dengan lelaki yang lebih muda usia darinya, sekitar 12 tahun. Dahulu kuanggap ini hal yang wajar, jika cinta sudah tak ada lagi, maka kebencianlah yang selalu muncul. Ibu pun demikian, setiap ayah ke rumah menjengukku dan anak-anaknya yang lain, ia mengusir ayah seperti anjing buduk pembawa bau busuk. “Sana, kau tinggal di kolong jembatan, jangan pernah datang lagi ke sini. Selama hidupmu, kau selalu membawa masalah. Untung aku memeroleh suami yang lebih baik darimu. Kau memang pecundang!” begitu selalu ucapan ibu.
Aku memandang dan mendengarnya sambil lalu. Aku merasa ibu sudah berubah menjadi wanita tangguh, wanita yang tak lagi merengek dan menangis tatkala mengetahui ayah menikah lagi. Ibu ibarat kaum feminis yang mencoba mengubah situasi bahwa perempuan bukanlah semata-mata perempuan, ia tidak bisa lagi diperlakukan secara tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki di mana mereka dianggap kuat, perempuan lemah, laki-laki lebih rasional dan mereka lebih emosional. Aku melihat cara pandang ibu terhadap pernikahan sudah bergeser, ia mulai meninggalkan pernikahan konvensional yang dulu sangat dipuja oleh angkatan sebayanya. Maka tatkala dua belas tahun kemudian, aku terkejut melihat keramaian di rumah dan Ibu serta Om Yan suami baru ibu tersenyum padaku lalu mengatakan bahwa mereka baru saja mensyahkan pernikahan mereka di catatan sipil, jiwaku terguncang. Itu berarti selama dua belas tahun bisik-bisik tetangga yang terkadang nyinyir membicarakan kehidupan pernikahan ibuku dan Om Yan benar adanya.
Selama dua belas tahun mereka hidup bersama, mereka tak pernah menikah, mereka kumpul kebo dan ini sangat berarti dalam pemikiran dan jiwaku yang beranjak remaja, selama itu pula mereka hidup dalam gelimang dosa. Ah, aku menangis di perayaan peresmian pernikahan Ibu dan Om Yan. Di situ batinku bergolak. Pengaruh luka batin yang diam-diam merambat di hatiku membentuk kepribadianku. Aku selalu bertanya dan bertanya, apakah cinta yang diberikan ibu kepada Om Yan sama sucinya seperti tatkala ia jatuh cinta pertamakali dengan ayah?
Aku teringat ucapan Simone de Beauvior, tokoh feminis asal Prancis; perempuan harus mengikuti aturan keluarga, terikat dengan laki-laki sejak masih kanak-kanak, terbiasa melihat laki-laki sebagai sosok teladan yang tidak akan bisa setara dengannya, sehingga perempuan hanya bisa bermimpi dan berharap bisa melampaui superioritas laki-laki dan menganggap dirinya menyatu dengan sosok yang berkuasa itu. Mungkin itulah yang ada di benak ibuku. Setelah kecewa dengan ayah, dia tidak merasa risih dengan pilihan hidup bersama Om Yan. Dosa telah menjadi putih dan aku tetap bingung dengan situasi yang ada, maka tatkala Om Yan menawariku melanjutkan sekolah ke negeri Paman Sam tepatnya Los Angeles, California di Amerika sana, kuterima tawaran itu dengan senang hati. Aku telah tumbuh menjadi remaja dengan postur yang melebih ukuran anak muda seusiaku, darah Kaukasia dari ayah yang diturunkan kepadaku, membuat aku berbeda dengan remaja lainnya. Dan di situ aku menyimpan semua hal tentang cinta.
Bahkan Freud yang mengatakan; seks meliputi cinta, kehalusan budi, kemurahan hati dan simpati, seks muncul sebagai fenomena alam, dan umumnya terjadi pada manusia dan hewan serta cinta adalah hasil dari perkembangan kebudayaan dan tidak bisa ditemukan pada semua manusia, sedikit banyak memengaruhi perkembanganku. Naluri libido mulai menjalar di segenap urat nadiku. Pemikiran itu kubawa hingga aku menginjakkan kaki di kota kecil Camarillo sekitar tiga puluh kilometer dari Los Angeles.
Aku membawa pergolakan batin dalam menjalani hari-hariku. Di kota kecil itu semuanya berubah. Selain kuliah, aku bekerja menjadi pembantu di rumah seorang profesor perempuan yang sudah berusia tujuh puluh tahun. Ia akrab kupanggil Mrs. Kim Yo Ra, campuran Amerika dan Korea. Mrs. Kim yang tidak menikah ini memperlakukan aku dengan penuh kasih sayang. Perhatiannya yang berlebih kuanggap sebagai rasa sepinya karena ia tak memiliki anak atau pun cucu. Dan suatu ketika, tatkala tangannya yang keriput membelaiku, aku masih menganggap itu sebagai ungkapan kasih yang hendak ia salurkan. Namun, suatu hari ia memanggilku dan katanya, “Sebentar lagi usiaku berakhir, aku tidak memiliki pewaris untuk semua harta dan asset-asetku yang tersimpan di bank. Keturunanku sudah berakhir di generasiku. Itu sebabnya aku akan mewariskan seluruh hartaku padamu, hanya ada syarat yang kuminta, aku berharap kau mau menerimanya.”
“Syarat apa itu, Mrs. Kim?”
“Menikahlah denganku!”
Aku terlongong. Desiran angin keras yang bertiup masuk ke jendela rumahnya di jalan Cervato Drive, menusuk tajam ke gendang telingaku.
“Kau pasti kaget. Tapi tolonglah, hidupku paling tinggal beberapa tahun atau beberapa bulan lagi, terlebih lagi Minggu lalu aku divonis kanker usus, pikirkanlah dengan hati tenang Marjo!”
Terlalu lama memang untuk menimbang hal-hal yang baik atau pun buruk, kenangan akan pernikahan ibu dan Om Yan masih membuat hatiku teriris. Hal lain yang menjadi alasan aku menerima tawarannya, posisiku sebagai mahasiswa yang tidak boleh bekerja magang mulai diketahui kepolisian. Dan satu hal yang lebih penting lagi, di kampus aku jatuh cinta pada Jessica, seorang mahasiswa imigran asal Bosnia. Gadis itu sunggguh membuatku mabuk kepayang. Dan saat ia tahu Mrs. Kim melamarku, ia tampak sedih. Aku meyakinkannya untuk menunggu beberapa tahun lagi. Sebenarnya ini alasan yang tidak manusiawi, setelah aku menerima warisan dari Mrs. Kim, aku dan Jess akan menikah di San Francisco, di sana urusan pernikahan tidak berbelit-belit.
Pada akhirnya kisah cintaku dengan Jess pun sama ‘heboh’nya dengan kehidupan pernikahan Ibu dan Om Yan. Banyak orang mencap kami gila, terlebih lagi keluargaku yang ada di Indonesia. Ibuku bahkan menyuruhku tak usah pulang sebab aku dianggapnya telah menyimpang dari aturan yang berlaku, aku juga telah dianggap menyalahi Kitab Suci dan melanggar tata cara adat-istiadat kehidupan orang-orang timur. Tapi di awal sudah kukisahkan, jika cinta itu datang, aku tak bisa menentangnya, aku tak bisa menolaknya. Semakin aku dilarang, cintaku pada Jess semakin kuat.
Mrs.Kim akhirnya tiada. Seperti anjuran Jess, aku menyerahkan seluruh hartanya ke Kedutaan Korea untuk dibagi-bagikan pada orang-orang miskin di sana. Yang kuambil hanya upahku selama bekerja di sana, dan statusku sebagai suaminya, sama sekali kulupakan. Tak ada sentuhan fisik, tak ada rasa kasih selama aku menikah dengannya. Jess adalah belahan jiwaku. Ia yang selalu ada di hari-hariku selama aku menjalani kehidupan California yang lumayan berat. Ya, sejak aku lulus kuliah dari jurusan Bisnis Administrasi, di Santa Monica Collge, aku memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia. Selain belum memeroleh green card, gambaran negeriku dengan situasi politik yang penuh dengan korupsi serta sulitnya memeroleh pekerjaan yang layak, membuatku pesimis dan enggan untuk kembali. Masa hampir 20 tahun menetap di Amerika membuat pola pikirku berubah.
Ketika Jess berhasil memperoleh pengacara handal untuk membantuku memeroleh ijin tinggal, aku menangis di pangkuannya. “Sekarang kita bisa jalan-jalan ke Indonesia, kau akan bertemu dengan ibu, Omku dan saudara-saudaraku!”
Air mata Jess mengambang. Sebulan lalu kami telah meresmikan pernikahan kami, di sebuah chapel/gereja kecil di San Frasisco. Chapel itu tidak mempersoalkan status kami, sang pendeta tahu aku mencintai Jess dan Jess juga mencintaiku.
“Akankah mereka bisa menerima kehadiran kita dengan normal?” Tanya Jess, ada kekhawatiran di matanya.
“Aku yakin tidak, Ibuku tidak bisa menerimanya. Negeriku adalah negeri yang hampir puritan, agama berada di atas segala-galanya.”
“Lalu?”
“Biarkan drama ini berkembang semestinya. Kita akan memerkenalkan cinta kita secara perlahan-lahan. Aku sudah dewasa, lambat laun Ibu pasti mau menerima keadaan kita.”
“Drama?”
“Ya, seperti kisah Harry Potter, kita tidak boleh menyebut nama Voldermort si Iblis jahat secara langsung. Kita harus merahasiakannya sampai mereka tahu dengan sendirinya. Mereka belum bisa menerima keadaan kita. Kita harus berani menghadapinya.”
Jessica menangis. Itulah terakhir kali kulihat ia sangat sedih. Cinta yang besar untuknya memang berada di tempat yang salah. Maka tatkala Ibu dan Om Yan menyambut kedatanganku bersamanya di bandara Soekarno-Hatta, wajah mereka biasa-biasa saja. Aku tahu mereka paham tentang keberadaan kami. Kami seperti teman biasa, sama seperti kesepakatan yang kuajukan padanya; kita harus bermain drama!
Tukikan panah cinta yang diarahkan padaku untuk sementara orang memang membingungkan. Tuhan telah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, karena Adam tak memiliki siapa-siapa, Tuhan menciptakan seorang perempuan dari dagingnya. Kurenungkan semua itu. Benarkah? Batinku bertanya. Dan ketika aku berjalan di sebuah mall yang ada di pusat kota Jakarta bersama Jess, aku masih takut-takut memegang tangannya. San Francsico telah memberikan kebebasan pada kami, tapi di sini, aku harus bergerak di bawah tanah. Semuanya serba rahasia, bahkan ibu, om Yan dan saudara-saudaraku pun membisu dan senyap bersuara.
“Apa yang salah dengan kita? Aku mencintaimu dan kau mencintaiku. Kita manusia dewasa yang normal. Cinta datang tanpa bisa kita cegah” Jessica menggerutu.
Aku terdiam, semilir kemarau panjang yang menerjang kotaku, membuat tenggorokanku kering dan tercekat. “Untuk orang-orang Asia seperti kita, ada daerah khusus yang tertutup yang hanya diketahui oleh kaum kita. Agama dan lingkungan kita belum bisa menerima. Aku tak tak tahu sampai kapan mereka baru bisa menerima kita. Sejak jaman Bizantium orang-orang seperti kita tetap ada dan kerap dianggap sebagai penyakit kusta yang bisa menular. Cinta yang kuberikan padamu tak bisa kupangkas dengan aturan-aturan sosial yang berlaku di negaraku. Mengertilah Jess, yang terpenting dalam dunia ini aku mencintaimu. Meski ini cinta terlarang, tak ada yang bisa melarang perasaanku untuk mencintaimu.”
Jessica, di dalam mata birunya yang bening, dengan kulit putihnya yang halus sehalus pualam, bergumam perlahan, Marjorie aku juga mencintaimu, sangat!” dan di tengah keramaian penduduk kota yang mencoba merasakan dinginnya AC di mall itu, Jessica memegang tanganku lembut. Ia tak berani menciumku, sebab jika itu terjadi, maka akan gemparlah mall itu. Bisa-bisa mereka akan mengusir kami dan itu dianggap telah menyalahi aturan normal yang berlaku di masyarakat timur.
Cintaku pada Jessica ada namun masyarakat memaksa seharusnya tak ada. Ini adalah anomali yang tak pernah diingini oleh para kaum moralis.
Aku bukan membela diriku, andai saja kalian punya usul untuk membantai cintaku padanya, kurasa aku tak sanggup. Cinta telah melesat jauh dari busurnya, dan aku tak sanggup melepaskan Jessica, sama seperti kalian yang tak dapat meninggalkan kekasih atau orang-orang yang kalian cintai. Jika aku bersalah di mata Tuhan, Tuhan tahu apa yang kurasa. Biarlah dosa ini kutanggung sendiri. Aku jatuh cinta padanya, sangat. Dan cinta itu bersemayam dengan kuat di diriku, diri seorang perempuan yang juga jatuh cinta pada perempuan yang kebetulan dia bernama Jessica… ***
Oleh : Fanny Jonathan Poyk
Ikuti cerpen menarik lainnya: