Cerpen : Kain Batik Ibu

Aku membuka lemari antik ibuku. Kuperhatikan tumpukan kain batik yang tersusun rapi di beberapa rak yang ada di lemari. Mataku tertuju pada kain batik coklat tua dengan warna sedikit memudar. Aku tidak tahu apakah itu batik tulis atau bukan. Aku juga tidak mengerti dari mana kain batik itu berasal.

Kutarik kain batik itu dari tumpukan batik-batik yang lain dengan hati-hati. Namun, sebelum kain itu benar-benar ke luar dari kelompoknya, teriakan kasar terdengar.

“Jangan ambil kain yang itu. Simpan kembali di tempatnya!” Suara Ibu terdengar keras dan penuh emosi.

Aku tertegun. Setelah lebih dari sepuluh tahun, baru kudengar lagi bentakkannya. Ini kali ke dua aku dibentak seperti itu. Ibu marah besar tatkala aku pulang kemalaman diantar Dedy, anak Pak Lurah teman sekelasku.

“Ingat, jangan pernah lagi kamu jalan dengan anak itu. Ibu tidak suka!” ujarnya sengit.

“Kenapa, Bu? Dedy, kan berniat baik. Lagi pula sudah malam.”

“Sudah, jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu tidak suka kamu pulang bersama dia!”

Aku sempat bingung dengan larangannya. Alasan yang sangat konvensional, pikirku. Meski demikian, aku mencoba untuk mengerti, mungkin Ibu takut, karena kala itu aku masih remaja. Sejak itu aku tidak pernah meminta teman-teman pria yang mengantaku pulang, hingga di depan rumah. Mereka cukup mengantar sampai di ujung gang rumahku.

Tapi kali ini, bentakan itu membuatku penasaran. Mengapa ibu begitu ketus dan emosi. Perempuan sabar berhati lembut itu, sudah sebulan tergolek di atas tempat tidur akibat penyakit diabetes.

“Bu, kain yang lain masih bagus-bagus, sayang jika dipakai alas tempat tidur. Kain yang ini sudah agak lusuh, beberapa bagian ada yang robek…”

“Kamu ini, sudah Ibu bilang simpan kain itu di tempatnya, kok masih tetap bandel. Cepat, kembalikan ke lemari!” hardiknya.

“Iya, iya, saya taruh lagi!” aku ikut-ikutan kesal. Kututup pintu lemari dengan keras.

Usai memandikan dan memberinya roti, aku bergegas ke luar dari kamar. Aku benar-benar kecewa. Gara-gara kain batik kusam itu, pagi-pagi sudah kena semprot. Aku mengambil tas kerja dan memasukkan alat perekam serta tustel 16 mega pixelku ke dalam tas. Hari ini aku akan mewawancarai seorang pengusaha tanaman anggrek di daerah Jakarta Selatan. Aku akan bertemu dengannya setelah jam makan siang.

Sebagai redaktur di sebuah majalah tanaman hias dan lingkungan hidup, tugasku rangkap. Aku bisa menjadi editor, wartawan, sekaligus fotografer. Mestinya, aku tidak perlu lagi turun ke lapangan, cukup dilakukan anak buahku. Tapi aku tidak pernah bisa betah duduk di balik meja sehari penuh.

“Praaang!” tiba-tiba terdengar suara gelas yang pecah dari kamar ibu. Suara itu sangat keras. Kemudian disusul dengan omelan panjang yang penuh emosi.

“Kamu ini, sama saja dengan Diah. Sudah berkali-kali Ibu bilang jangan mengambil kain itu. Tapi masih saja bandel!”

“Tapi Bu, kain ini kan sudah jelek, yang lain masih bagus!” suara Nina, kakak iparku terdengar serak.

“Sudah, ke luar kamu. Ke luar!”

Nina ke luar dari kamar ibu dengan mata merah berkaca-kaca. Beberapa menit setelah itu, muncul Doni dan langsung masuk ke kamar ibu. Pagi yang tenang, dimeriahkan oleh suara Doni yang menggelegar. Ia meradang melihat isterinya menangis dibentak Ibu.

“Ibu apa-apaan? Hanya gara-gara kain batik butut ini Ibu membentak-bentak isteri saya. Apa sih yang jadi masalah? Kenapa Ibu bersikap begitu? Ibu tahu, selama sebulan sakit, Nina, saya, dan Diah bergilir menjaga Ibu. Kami bergadang bergantian, sekarang, mengapa Ibu bersikap begini? Mengapa hanya karena kain batik ini Ibu bersikap kasar? Kalau memang kain batik kucal ini yang membuat Ibu uring-uringan, mulai sekarang benda ini jangan ada di sini lagi!”

Doni merobek-robek kain batik itu menjadi beberapa bagian. Lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di sudut kamar. Setelah itu, kakak lelakiku itu, ke luar dari dalam kamar Ibu. Kemudian, aku mendengar tangisan yang teramat sedih dari kamar itu. Aku mengurungkan niatku untuk segera berangkat. Perlahan, aku berjalan ke kamar Ibu. Di sana, kulihat ibu tengah berusaha bangun untuk mengambil sobekan-sobekan kain batik yang ada di keranjang sampah. Air mata masih mengambang di pipinya. Aku tertegun!

Sepanjang wawancara pikiranku terpusat pada Ibu. Ada apa di balik kain batik itu? Adakah kain yang sudah berwarna kusam itu menyimpan kisah yang membuat ibu begitu geram? Aku mencoba menggali apa saja kenangan yang berkaitan dengan kain batik itu. Semua sama. Semua tidak memiliki cerita khusus yang pernah dituturkan ibu. Sejak aku kecil, hingga dewasa, tidak pernah sekali pun ibu menyinggung-nyinggung beragam kisah kain-kain batik yang ada di lemarinya. Setahuku, Ibu hanya memberikan perhatian pada semua koleksi kain batiknya di hari-hari tertentu, seperti mendekati Hari Raya Idulfitri misalnya. Seluruh kain batik koleksinya dikeluarkan dari lemari. Dilipat ulang dan diberi pewangi beraroma melati.

Aku pernah bertanya, apakah ibu berniat menjual seluruh koleksi batiknya? Sebab, setelah ayah meninggal, Ibu tidak lagi berdandan sesempurna saat ayah masih ada. Sesehari ia hanya mengenakan daster. Jika diajak jalan-jalan, ibu cuma mengenakan celana panjang katun dan kaos yang simple. Aku menyarankan agar kain-kain batik itu dijual ke butik-butik yang kukenal. Namun Ibu menolak.
“Kalau aku sudah tidak ada, masukkan saja kain-kain batik itu di dalam peti matiku. Jangan diberikan atau dijual ke siapa-siapa,” katanya.

“Lho, memangnya kenapa? Sayang, kan kalau ikut masuk ke dalam kubur. Dari pada di makan rayap, mending dibagi-bagikan ke orang lain, kan lebih bermanfaat,” ujarku meledek ibu. Tidak ada respon. Sejak itu, aku tidak mau lagi mengungkit-ungkit soal batik itu.

Tapi kali ini, masalahnya sudah berbeda. Aku merasa ada benang merah yang samar antara kain batik yang dirobek-robek Doni dengan perjalanan hidup ibu. Air mata Ibu yang mengambang di pipinya sarat makna. Bukan alasan yang tepat bila Ibu hanya mengatakan itu hanya kain batik biasa. Jika Ibu sampai menyuruh kain-kain itu dimasukkan ke dalam kuburnya bila ia meninggal kelak, tentunya ada kisah menarik yang ditutupinya. Ibu pasti menyimpan sebuah rahasia, pikirku.

Hari itu, usai menyelesaikan tugas-tugasku, aku langsung berangkat ke Bandung. Aku akan menemui Om Dadang adik bungsu ibu. Setidaknya, Om Dadang tahu ada apa di balik kain-kain batik koleksi kakaknya. Khususnya kain batik berwarna coklat tua yang warnanya telah pudar itu. Aku harus tahu. Harus! Kalau tidak, seumur hidup aku akan dihantui rasa penasaran. Seandainya Om Dadang juga tutup mulut, seluruh orang di kampung Ibuku akan kutanyai. Paling tidak, dari sekian orang yang kuinvestigasi, ada cerita yang “nyambung” dengan kain batik misterius itu.

Bis yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu melayu yang diputar di layar TV tepat di sisi kiri kepala sopir bis, mendayu-dayu mengiringi beragam pikiran yang memulintir isi kepalaku. Suara merdu Iyet Bustami dengan lagunya Raja di Laut pun tidak membuat aku terhibur. Kain batik yang dirobek-robek Doni kakakku dan air mata ibu masih terus membekas. Aku pusing, aku tersentak tatkala kenek bis membangunkan tidurku.

“Neng, sudah sampai terminal Leuwi Panjang, bis mau balik lagi ke Jakarta!” tegur kenek mengejutkanku.
Tiba di rumah Om Dadang, Aku disambut tatapan heran oleh dia dan isterinya. Tidak biasanya gadis super sibuk seperti aku, datang tiba-tiba ke kampung asal ibuku.

“Ada apa Diah? Bagaimana khabar Ibumu?” tanya Om Dadang cemas. Dia sudah mendengar kalau Ibuku kurang sehat beberapa bulan belakangan ini.

“Ibu masih sakit. Penyakit diabetesnya bertambah parah. Sekarang dia dirawat di rumah. Kami menyewa seorang suster yang memantau kesehatannya setiap hari.”

“Hm…apa Om harus ke Jakarta menemani Ibumu?”

“Oh nggak usah, Om. Selama ini segalanya masih bisa diatasi. Ada Kak Nina yang juga ikut menjaga Ibu kalau saya kerja. Pokoknya, kami saling bahu-membahu menjaganya.”
Om Dadang mengangguk-anggukkan kepalanya. aku tahu, di balik raut wajah penuh tanda-tanyanya itu, ia ingin menanyakan maksud kedatanganku yang tiba-tiba ke rumahnya. Maka, sebelum Om Dadang terlihat bertambah bingung, Aku langsung mengemukakan tujuanku.

“Om pasti tahu mengapa Ibu begitu marah saat saya dan Kak Nina mengambil kain batik yang sudah pudar warnanya itu dari lemari. Saya bukan anak kecil lagi, Om. Setidaknya Om bisa cerita ada apa di balik kain batik itu. Jika saya tidak memperoleh penjelasan, seumur hidup saya akan penasaran. Please Om, ceritakan pada saya. Habis ini, saya akan kembali ke Jakarta!”

Om Dadang memandangku dengan ragu. Ada perasaan tidak rela di raut wajahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, sambil menghembuskan nafas perlahan, ia berkata, “Akhirnya, semua akan terkuak juga.”

“Maksud, Om?”

“Yah begitulah lakon sebuah kehidupan. Tapi jangan salahkan Ibumu. Dia telah menjalani lakon itu dengan penuh kepedihan, perjuangan dan penderitaan. Hampir sepanjang hayatnya dia harus berjuang dengan perasaannya, caci maki, dan duka nestapanya. Diah, kain batik yang lusuh itu saksi bisu Ibumu menjalani hari-harinya yang kelabu.”

Kutatap Om Dadang tajam. Detak jantungku berdebar kencang, “Om, langsunglah pada topik pembicaraan, jangan berputar-putar. Penderitaan dan duka-nestapa apa yang sudah dialami Ibu?”
Om Dadang kembali menarik nafas panjang. “Sejak Kakek dan Nenekmu meninggal, Ibumulah yang menjadi tulang punggung kami. Kala itu, ia bekerja di sebuah keluarga tuan tanah berkebangsaan Belanda yang kaya raya. Ibumu menjadi pembantu sekaligus pengasuh anak-anak tuan tanah itu. Seminggu sekali ia pulang. Jika pulang ia selalu membawa beras, makanan kaleng, uang dan keperluan lainnya untuk kami. Bayangkan, dalam usianya yang baru menginjak enam belas tahun, Ibumu sudah menjadi pencari nafkah untuk ke empat adik-adiknya. Hingga suatu ketika, Ibumu tidak datang-datang ke rumah. Kami kebingungan, aku menangis kelaparan. Lalu dengan tekad bulat, Om Ndang pamanmu mendatangi rumah tuan tanah itu,” mata Om Dadang nanar.

“Apa yang terjadi pada Ibu, Om?”

“Om Ndang pulang dengan wajah murung. Awalnya dia tidak mau cerita pada kami. Tapi Teh Imas, bibimu, terus memaksa Om Ndang untuk cerita. Dia tak hentinya menangis memaksa Om Ndang bicara. Akhirnya Om Ndang meraung-raung. Kami menangis bersama.”

“Kenapa, kenapa dengan Ibu, Om?”

“Ibumu hamil!”

“Hamil?”

“Ya, dia hamil. Ketika kandungannya berusia sembilan bulan, dia kembali ke rumah. Namun, kedatangannya disambut protes warga desa. Ibu diusir oleh kepala desa. Desa kami adalah desa yang sangat agamais. Perbuatan Ibu yang hamil di luar nikah, merupakan aib yang tak termaafkan. Dalam keadaan hamil tua, ia pergi ke Jakarta. Kami tidak tahu ke mana ia pergi. Dua bulan kemudian ia kembali dalam keadaan perut kempis.”

“Di mana anak Ibu?”

“Anak itu dibawanya ke rumah dengan diam-diam. Ibu takut warga desa marah. Ia dibungkus kain batik yang kau ambil dari lemari Ibumu. Sebulan setelah kembali, bayi itu meninggal. Ia menderita pneumia dan kekurangan gizi.”

Aku diam membisu. Pikiranku kacau.

“Om, siapa yang menghamili Ibu? Mengapa orang itu tidak menikahinya?”

“Anak itu bermata biru, berkulit putih dan mirip dengan majikan Ibumu.”

“Mengapa Ibu tidak menuntut majikannya itu?”

Om Dadang tertawa getir. “Diah, Diah…kami punya kekuatan apa? Makan saja susah. Lagi pula, kami yatim piatu. Sudah untung ibumu tidak dituduh merebut suami orang. Saat tahu ia hamil, isterinya mengusir Ibumu dari rumah itu. Bayi itu mungkin sadar kehadirannya tidak diinginkan di dunia ini, sehingga ia pergi begitu cepat. Aku percaya Ibumu orang yang baik. Ia bukan perempuan nakal yang suka mengganggu suami orang. Jika ia tidak memikirkan kami, mungkin ia sudah lari dari rumah itu. Diah, Ibumu mengorbankan dirinya demi kami. Ketika ia pergi dalam keadaan hamil tua, kami tidak tahu apa yang terjadi padanya. Mungkin saja ia menderita kelaparan, kesakitan, atau dihina orang. Ia sengaja tidak mau memberitahu kami. Ibumu menanggung penderitaannya seorang diri.”

“Setelah itu, apa yang dilakukan Ibu?”

“Ia bekerja sebagai buruh di perkebunan teh. Hampir sebagian upahnya diberikan pada kami. Di sana ia bertemu dengan Ayahmu. Mereka menikah setahun kemudian.”

“Ayah tahu semua kisah Ibu?”

“Ya. Dan kau tahu sendiri apa yang terjadi pada ibumu selanjutnya, kan?”

Kuanggukkan kepalaku. Kerongonganku kering. Bayangan masa lalu saat ayah masih hidup kembali terkuak. Aku merinding mengingat bagaimana Ayah memperlakukan Ibu. Hampir tiap hari aku melihat ayah memaki dan mengeluarkan kata-kata kasar padanya. Aku tak pernah melawan ketika ia dicaci, dicerca dan dihina Ayah. Ibuku yang malang itu hanya diam dan diam. Aku kerap melihat ia menangis sendiri di kamarnya.

Ibu…aku menitikkan air mata. Kabut hitam yang ditanggungnya terus membekas dan menyertai dia di mana pun dia berada. Bahkan suami yang jadi tempat sandaran hidupnya pun memperlakukannya dengan tidak adil. Padahal, ibu bukanlah wanita yang kerjanya hanya berpangku tangan mengharapkan pemberian dari suaminya. Dia juga mencari nafkah dengan menjadi tukang masak, kuli cuci, hingga membuat kue. Semua hasilnya digunakan untuk membantu suami dan anak-anaknya.

“Kasihan Ibu. Dia menanggung semuanya sendirian. Aku sedih, aku kecewa Om. Mengapa Ibu tidak mau menceritakan semua yang dialaminya pada kami. Mengapa ia menanggungnya sendiri? Kain batik itu, ah… kain batik itu… pantas saja dia meminta untuk memasukkannya ke liang kuburnya apabila meninggal.”

“Itulah Ibumu. Sekarang, pulanglah. Rawatlah dia dengan baik. Turuti apa yang dimintanya, sebab hanya itulah yang sekarang kalian bisa berikan,” pesan Om Dadang.

Di atas bis yang membawaku ke Jakarta, pikiranku menerawang. Kini benang merah itu telah terkuak. Tiba-tiba aku teringat di saat usiaku sembilan tahun, Ibu mengajakku membersihkan makam kecil yang terletak tepat di samping makam ayah.

“Makam siapa itu, Ibu?” tanyaku saat itu.

“Nak, suatu saat kamu akan tahu siapa yang dimakamkan di sini.” Suara Ibu terdengar sedih. Bisa jadi makam itu, makam kakakku.

Aku menyusut air mataku. Kenangan saat aku bangun pagi menemani ibu membuat pisang goreng, kue pisang, kue talam, dan nasi uduk masih membekas. Ucapan ibu yang sederhana, bahwa selama menjadi manusia kami harus berguna, terus terngiang-ngiang di benakku. Hari itu, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah. Aku ingin bersujud dan memohon ampun atas semua kesalahanku.

Dan air mataku tak pernah berhenti mengalir tatkala kulihat kenyataan yang ada. Ibu tergolek dingin di atas tempat tidurnya. Matanya terkatup rapat. Berkali-kali kupanggil nama perempuan yang telah melahirkan diriku itu. Namun perempuan perkasa itu tetap membisu. Dia pergi bersama luka lama dalam lembaran kain batik lusuh yang terus disimpan di lemari tuanya.

Aku membuka lemari antik ibuku. Kuperhatikan tumpukan kain batik yang tersusun rapi di beberapa rak yang ada di lemari. Mataku tertuju pada kain batik coklat tua dengan warna sedikit memudar. Aku tidak tahu apakah itu batik tulis atau bukan. Aku juga tidak mengerti dari mana kain batik itu berasal.

Kutarik kain batik itu dari tumpukan batik-batik yang lain dengan hati-hati. Namun, sebelum kain itu benar-benar ke luar dari kelompoknya, teriakan kasar terdengar.

“Jangan ambil kain yang itu. Simpan kembali di tempatnya!” Suara Ibu terdengar keras dan penuh emosi.

Aku tertegun. Setelah lebih dari sepuluh tahun, baru kudengar lagi bentakkannya. Ini kali ke dua aku dibentak seperti itu. Ibu marah besar tatkala aku pulang kemalaman diantar Dedy, anak Pak Lurah teman sekelasku.

“Ingat, jangan pernah lagi kamu jalan dengan anak itu. Ibu tidak suka!” ujarnya sengit.

“Kenapa, Bu? Dedy, kan berniat baik. Lagi pula sudah malam.”

“Sudah, jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu tidak suka kamu pulang bersama dia!”

Aku sempat bingung dengan larangannya. Alasan yang sangat konvensional, pikirku. Meski demikian, aku mencoba untuk mengerti, mungkin Ibu takut, karena kala itu aku masih remaja. Sejak itu aku tidak pernah meminta teman-teman pria yang mengantaku pulang, hingga di depan rumah. Mereka cukup mengantar sampai di ujung gang rumahku.

Tapi kali ini, bentakan itu membuatku penasaran. Mengapa ibu begitu ketus dan emosi. Perempuan sabar berhati lembut itu, sudah sebulan tergolek di atas tempat tidur akibat penyakit diabetes.

“Bu, kain yang lain masih bagus-bagus, sayang jika dipakai alas tempat tidur. Kain yang ini sudah agak lusuh, beberapa bagian ada yang robek…”

“Kamu ini, sudah Ibu bilang simpan kain itu di tempatnya, kok masih tetap bandel. Cepat, kembalikan ke lemari!” hardiknya.

“Iya, iya, saya taruh lagi!” aku ikut-ikutan kesal. Kututup pintu lemari dengan keras.

Usai memandikan dan memberinya roti, aku bergegas ke luar dari kamar. Aku benar-benar kecewa. Gara-gara kain batik kusam itu, pagi-pagi sudah kena semprot. Aku mengambil tas kerja dan memasukkan alat perekam serta tustel 16 mega pixelku ke dalam tas. Hari ini aku akan mewawancarai seorang pengusaha tanaman anggrek di daerah Jakarta Selatan. Aku akan bertemu dengannya setelah jam makan siang.

Sebagai redaktur di sebuah majalah tanaman hias dan lingkungan hidup, tugasku rangkap. Aku bisa menjadi editor, wartawan, sekaligus fotografer. Mestinya, aku tidak perlu lagi turun ke lapangan, cukup dilakukan anak buahku. Tapi aku tidak pernah bisa betah duduk di balik meja sehari penuh.

“Praaang!” tiba-tiba terdengar suara gelas yang pecah dari kamar ibu. Suara itu sangat keras. Kemudian disusul dengan omelan panjang yang penuh emosi.

“Kamu ini, sama saja dengan Diah. Sudah berkali-kali Ibu bilang jangan mengambil kain itu. Tapi masih saja bandel!”

“Tapi Bu, kain ini kan sudah jelek, yang lain masih bagus!” suara Nina, kakak iparku terdengar serak.

“Sudah, ke luar kamu. Ke luar!”

Nina ke luar dari kamar ibu dengan mata merah berkaca-kaca. Beberapa menit setelah itu, muncul Doni dan langsung masuk ke kamar ibu. Pagi yang tenang, dimeriahkan oleh suara Doni yang menggelegar. Ia meradang melihat isterinya menangis dibentak Ibu.

“Ibu apa-apaan? Hanya gara-gara kain batik butut ini Ibu membentak-bentak isteri saya. Apa sih yang jadi masalah? Kenapa Ibu bersikap begitu? Ibu tahu, selama sebulan sakit, Nina, saya, dan Diah bergilir menjaga Ibu. Kami bergadang bergantian, sekarang, mengapa Ibu bersikap begini? Mengapa hanya karena kain batik ini Ibu bersikap kasar? Kalau memang kain batik kucal ini yang membuat Ibu uring-uringan, mulai sekarang benda ini jangan ada di sini lagi!”

Doni merobek-robek kain batik itu menjadi beberapa bagian. Lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di sudut kamar. Setelah itu, kakak lelakiku itu, ke luar dari dalam kamar Ibu. Kemudian, aku mendengar tangisan yang teramat sedih dari kamar itu. Aku mengurungkan niatku untuk segera berangkat. Perlahan, aku berjalan ke kamar Ibu. Di sana, kulihat ibu tengah berusaha bangun untuk mengambil sobekan-sobekan kain batik yang ada di keranjang sampah. Air mata masih mengambang di pipinya. Aku tertegun!

Sepanjang wawancara pikiranku terpusat pada Ibu. Ada apa di balik kain batik itu? Adakah kain yang sudah berwarna kusam itu menyimpan kisah yang membuat ibu begitu geram? Aku mencoba menggali apa saja kenangan yang berkaitan dengan kain batik itu. Semua sama. Semua tidak memiliki cerita khusus yang pernah dituturkan ibu. Sejak aku kecil, hingga dewasa, tidak pernah sekali pun ibu menyinggung-nyinggung beragam kisah kain-kain batik yang ada di lemarinya. Setahuku, Ibu hanya memberikan perhatian pada semua koleksi kain batiknya di hari-hari tertentu, seperti mendekati Hari Raya Idulfitri misalnya. Seluruh kain batik koleksinya dikeluarkan dari lemari. Dilipat ulang dan diberi pewangi beraroma melati.

Aku pernah bertanya, apakah ibu berniat menjual seluruh koleksi batiknya? Sebab, setelah ayah meninggal, Ibu tidak lagi berdandan sesempurna saat ayah masih ada. Sesehari ia hanya mengenakan daster. Jika diajak jalan-jalan, ibu cuma mengenakan celana panjang katun dan kaos yang simple. Aku menyarankan agar kain-kain batik itu dijual ke butik-butik yang kukenal. Namun Ibu menolak.
“Kalau aku sudah tidak ada, masukkan saja kain-kain batik itu di dalam peti matiku. Jangan diberikan atau dijual ke siapa-siapa,” katanya.

“Lho, memangnya kenapa? Sayang, kan kalau ikut masuk ke dalam kubur. Dari pada di makan rayap, mending dibagi-bagikan ke orang lain, kan lebih bermanfaat,” ujarku meledek ibu. Tidak ada respon. Sejak itu, aku tidak mau lagi mengungkit-ungkit soal batik itu.

Tapi kali ini, masalahnya sudah berbeda. Aku merasa ada benang merah yang samar antara kain batik yang dirobek-robek Doni dengan perjalanan hidup ibu. Air mata Ibu yang mengambang di pipinya sarat makna. Bukan alasan yang tepat bila Ibu hanya mengatakan itu hanya kain batik biasa. Jika Ibu sampai menyuruh kain-kain itu dimasukkan ke dalam kuburnya bila ia meninggal kelak, tentunya ada kisah menarik yang ditutupinya. Ibu pasti menyimpan sebuah rahasia, pikirku.

Hari itu, usai menyelesaikan tugas-tugasku, aku langsung berangkat ke Bandung. Aku akan menemui Om Dadang adik bungsu ibu. Setidaknya, Om Dadang tahu ada apa di balik kain-kain batik koleksi kakaknya. Khususnya kain batik berwarna coklat tua yang warnanya telah pudar itu. Aku harus tahu. Harus! Kalau tidak, seumur hidup aku akan dihantui rasa penasaran. Seandainya Om Dadang juga tutup mulut, seluruh orang di kampung Ibuku akan kutanyai. Paling tidak, dari sekian orang yang kuinvestigasi, ada cerita yang “nyambung” dengan kain batik misterius itu.

Bis yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu melayu yang diputar di layar TV tepat di sisi kiri kepala sopir bis, mendayu-dayu mengiringi beragam pikiran yang memulintir isi kepalaku. Suara merdu Iyet Bustami dengan lagunya Raja di Laut pun tidak membuat aku terhibur. Kain batik yang dirobek-robek Doni kakakku dan air mata ibu masih terus membekas. Aku pusing, aku tersentak tatkala kenek bis membangunkan tidurku.

“Neng, sudah sampai terminal Leuwi Panjang, bis mau balik lagi ke Jakarta!” tegur kenek mengejutkanku.
Tiba di rumah Om Dadang, Aku disambut tatapan heran oleh dia dan isterinya. Tidak biasanya gadis super sibuk seperti aku, datang tiba-tiba ke kampung asal ibuku.

“Ada apa Diah? Bagaimana khabar Ibumu?” tanya Om Dadang cemas. Dia sudah mendengar kalau Ibuku kurang sehat beberapa bulan belakangan ini.

“Ibu masih sakit. Penyakit diabetesnya bertambah parah. Sekarang dia dirawat di rumah. Kami menyewa seorang suster yang memantau kesehatannya setiap hari.”

“Hm…apa Om harus ke Jakarta menemani Ibumu?”

“Oh nggak usah, Om. Selama ini segalanya masih bisa diatasi. Ada Kak Nina yang juga ikut menjaga Ibu kalau saya kerja. Pokoknya, kami saling bahu-membahu menjaganya.”
Om Dadang mengangguk-anggukkan kepalanya. aku tahu, di balik raut wajah penuh tanda-tanyanya itu, ia ingin menanyakan maksud kedatanganku yang tiba-tiba ke rumahnya. Maka, sebelum Om Dadang terlihat bertambah bingung, Aku langsung mengemukakan tujuanku.

“Om pasti tahu mengapa Ibu begitu marah saat saya dan Kak Nina mengambil kain batik yang sudah pudar warnanya itu dari lemari. Saya bukan anak kecil lagi, Om. Setidaknya Om bisa cerita ada apa di balik kain batik itu. Jika saya tidak memperoleh penjelasan, seumur hidup saya akan penasaran. Please Om, ceritakan pada saya. Habis ini, saya akan kembali ke Jakarta!”

Om Dadang memandangku dengan ragu. Ada perasaan tidak rela di raut wajahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, sambil menghembuskan nafas perlahan, ia berkata, “Akhirnya, semua akan terkuak juga.”

“Maksud, Om?”

“Yah begitulah lakon sebuah kehidupan. Tapi jangan salahkan Ibumu. Dia telah menjalani lakon itu dengan penuh kepedihan, perjuangan dan penderitaan. Hampir sepanjang hayatnya dia harus berjuang dengan perasaannya, caci maki, dan duka nestapanya. Diah, kain batik yang lusuh itu saksi bisu Ibumu menjalani hari-harinya yang kelabu.”

Kutatap Om Dadang tajam. Detak jantungku berdebar kencang, “Om, langsunglah pada topik pembicaraan, jangan berputar-putar. Penderitaan dan duka-nestapa apa yang sudah dialami Ibu?”
Om Dadang kembali menarik nafas panjang. “Sejak Kakek dan Nenekmu meninggal, Ibumulah yang menjadi tulang punggung kami. Kala itu, ia bekerja di sebuah keluarga tuan tanah berkebangsaan Belanda yang kaya raya. Ibumu menjadi pembantu sekaligus pengasuh anak-anak tuan tanah itu. Seminggu sekali ia pulang. Jika pulang ia selalu membawa beras, makanan kaleng, uang dan keperluan lainnya untuk kami. Bayangkan, dalam usianya yang baru menginjak enam belas tahun, Ibumu sudah menjadi pencari nafkah untuk ke empat adik-adiknya. Hingga suatu ketika, Ibumu tidak datang-datang ke rumah. Kami kebingungan, aku menangis kelaparan. Lalu dengan tekad bulat, Om Ndang pamanmu mendatangi rumah tuan tanah itu,” mata Om Dadang nanar.

“Apa yang terjadi pada Ibu, Om?”

“Om Ndang pulang dengan wajah murung. Awalnya dia tidak mau cerita pada kami. Tapi Teh Imas, bibimu, terus memaksa Om Ndang untuk cerita. Dia tak hentinya menangis memaksa Om Ndang bicara. Akhirnya Om Ndang meraung-raung. Kami menangis bersama.”

“Kenapa, kenapa dengan Ibu, Om?”

“Ibumu hamil!”

“Hamil?”

“Ya, dia hamil. Ketika kandungannya berusia sembilan bulan, dia kembali ke rumah. Namun, kedatangannya disambut protes warga desa. Ibu diusir oleh kepala desa. Desa kami adalah desa yang sangat agamais. Perbuatan Ibu yang hamil di luar nikah, merupakan aib yang tak termaafkan. Dalam keadaan hamil tua, ia pergi ke Jakarta. Kami tidak tahu ke mana ia pergi. Dua bulan kemudian ia kembali dalam keadaan perut kempis.”

“Di mana anak Ibu?”

“Anak itu dibawanya ke rumah dengan diam-diam. Ibu takut warga desa marah. Ia dibungkus kain batik yang kau ambil dari lemari Ibumu. Sebulan setelah kembali, bayi itu meninggal. Ia menderita pneumia dan kekurangan gizi.”

Aku diam membisu. Pikiranku kacau.

“Om, siapa yang menghamili Ibu? Mengapa orang itu tidak menikahinya?”

“Anak itu bermata biru, berkulit putih dan mirip dengan majikan Ibumu.”

“Mengapa Ibu tidak menuntut majikannya itu?”

Om Dadang tertawa getir. “Diah, Diah…kami punya kekuatan apa? Makan saja susah. Lagi pula, kami yatim piatu. Sudah untung ibumu tidak dituduh merebut suami orang. Saat tahu ia hamil, isterinya mengusir Ibumu dari rumah itu. Bayi itu mungkin sadar kehadirannya tidak diinginkan di dunia ini, sehingga ia pergi begitu cepat. Aku percaya Ibumu orang yang baik. Ia bukan perempuan nakal yang suka mengganggu suami orang. Jika ia tidak memikirkan kami, mungkin ia sudah lari dari rumah itu. Diah, Ibumu mengorbankan dirinya demi kami. Ketika ia pergi dalam keadaan hamil tua, kami tidak tahu apa yang terjadi padanya. Mungkin saja ia menderita kelaparan, kesakitan, atau dihina orang. Ia sengaja tidak mau memberitahu kami. Ibumu menanggung penderitaannya seorang diri.”

“Setelah itu, apa yang dilakukan Ibu?”

“Ia bekerja sebagai buruh di perkebunan teh. Hampir sebagian upahnya diberikan pada kami. Di sana ia bertemu dengan Ayahmu. Mereka menikah setahun kemudian.”

“Ayah tahu semua kisah Ibu?”

“Ya. Dan kau tahu sendiri apa yang terjadi pada ibumu selanjutnya, kan?”

Kuanggukkan kepalaku. Kerongonganku kering. Bayangan masa lalu saat ayah masih hidup kembali terkuak. Aku merinding mengingat bagaimana Ayah memperlakukan Ibu. Hampir tiap hari aku melihat ayah memaki dan mengeluarkan kata-kata kasar padanya. Aku tak pernah melawan ketika ia dicaci, dicerca dan dihina Ayah. Ibuku yang malang itu hanya diam dan diam. Aku kerap melihat ia menangis sendiri di kamarnya.

Ibu…aku menitikkan air mata. Kabut hitam yang ditanggungnya terus membekas dan menyertai dia di mana pun dia berada. Bahkan suami yang jadi tempat sandaran hidupnya pun memperlakukannya dengan tidak adil. Padahal, ibu bukanlah wanita yang kerjanya hanya berpangku tangan mengharapkan pemberian dari suaminya. Dia juga mencari nafkah dengan menjadi tukang masak, kuli cuci, hingga membuat kue. Semua hasilnya digunakan untuk membantu suami dan anak-anaknya.

“Kasihan Ibu. Dia menanggung semuanya sendirian. Aku sedih, aku kecewa Om. Mengapa Ibu tidak mau menceritakan semua yang dialaminya pada kami. Mengapa ia menanggungnya sendiri? Kain batik itu, ah… kain batik itu… pantas saja dia meminta untuk memasukkannya ke liang kuburnya apabila meninggal.”

“Itulah Ibumu. Sekarang, pulanglah. Rawatlah dia dengan baik. Turuti apa yang dimintanya, sebab hanya itulah yang sekarang kalian bisa berikan,” pesan Om Dadang.

Di atas bis yang membawaku ke Jakarta, pikiranku menerawang. Kini benang merah itu telah terkuak. Tiba-tiba aku teringat di saat usiaku sembilan tahun, Ibu mengajakku membersihkan makam kecil yang terletak tepat di samping makam ayah.

“Makam siapa itu, Ibu?” tanyaku saat itu.

“Nak, suatu saat kamu akan tahu siapa yang dimakamkan di sini.” Suara Ibu terdengar sedih. Bisa jadi makam itu, makam kakakku.

Aku menyusut air mataku. Kenangan saat aku bangun pagi menemani ibu membuat pisang goreng, kue pisang, kue talam, dan nasi uduk masih membekas. Ucapan ibu yang sederhana, bahwa selama menjadi manusia kami harus berguna, terus terngiang-ngiang di benakku. Hari itu, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah. Aku ingin bersujud dan memohon ampun atas semua kesalahanku.

Dan air mataku tak pernah berhenti mengalir tatkala kulihat kenyataan yang ada. Ibu tergolek dingin di atas tempat tidurnya. Matanya terkatup rapat. Berkali-kali kupanggil nama perempuan yang telah melahirkan diriku itu. Namun perempuan perkasa itu tetap membisu. Dia pergi bersama luka lama dalam lembaran kain batik lusuh yang terus disimpan di lemari tuanya.

Kisah ini kupersembahkan untuk Ibuku, dimuat dan dijadikan judul buku antologi cerpen pilihan Asuransi Bumi Putera 1912

Oleh : Fanny Jonathan Poyk

Cerita Sebuah Tas

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis