Seide.id – Ada lima tempat strategis yang menjadi lokasi bersemayamnya para hantu di rumah itu. Pertama di sudut kiri ruang tamu, bersebelahan dengan lemari antik yang dibeli Bu Tini puluhan tahun lalu di Jepara. Kedua di sudut kanan dekat pintu kamar mandi, nuansa redup di sudut itu rupanya membuat si hantu nyaman. Ketiga di pojokkan langit-langit kamar tidur Bu Tini yang penuh dengan sarang laba-laba. Lalu di ujung tangga menuju ke lantai dua, hampir tiap malam Jumat, Bu Tini mendengar langkah kaki orang menuruni tangga. Kelima, di sudut dapurnya yang bersebelahan dengan lemari es tua, memasuki pukul dua belas malam, selalu terdengar bunyi kucuran air ke dalam gelas atau cangkir.
Penghuni rumah, yaitu Bu Tini memiliki indra keenam, ia akrab dengan keberadaan mereka. Puluhan tahun ia berteman dengan para hantu itu. Awalnya, suami dan anak-anaknya merasa aneh dan ngeri bila melihat Bu Tini berbicara sendirian di tempat-tempat yang dihuni para hantu tersebut.
“Awas Mbok Jum, jangan kau lap lemari antik yang ada di sudut ruang tamu itu!” Atau ia akan berkata, “Heran, hari ini kenapa wajahmu terlihat tambah menyeramkan? Siapa yang membuatmu marah?” Di lain kesempatan, ia ‘ngoceh’, “Jangan kau sentuh makanan itu, nanti basi. Suami dan anak-anakku belum makan.”
Mbok Jum, sang asisten rumah tangga, memandang dengan sorot mata takut pada awalnya. Setelah bertahun-tahun kemudian, ia menjadi terbiasa. Harapan yang sedikit ‘aneh’ muncul di benaknya, ia ingin sekali seperti majikannya, dapat melihat mahluk-mahluk yang digambarkan Bu Tini yang konon memiliki beragam wujud unik itu.
“Ibu tidak takut?” tanyanya.
“Apa yang musti ditakuti? Tokh suatu saat kita akan seperti mereka. Yang menakutkan itu, manusia. Mereka bisa menjadi perampok, maling, begal, koruptor dan orang-orang yang berwajah mendua.”
“Berwajah mendua, maksudnya?”
“Orang munafik, yang pura-pura baik, tapi di belakangnya jahat sekali.”
“Oh begitu ya, Bu?”
“Ya, manusia seperti itu sekarang banyak, mereka lebih jahat dari setan!” ada nada kesal di suara Bu Tini.
Mbok Jum meneruskan pekerjaannya. Keinginannya untuk bertemu dengan para hantu ia pendam di hatinya.
Pada akhirnya keluarga Bu Tini percaya kalau rumah mereka aman berkat penjagaan para hantu. Rumah dengan sentuhan arsitektur kuno seperti rumah-rumah peninggalan zaman Belanda itu, telah menjadi tempat menetap yang nyaman untuk mereka. Bu Tini memberi nama pada masing-masing hantu itu sesuai dengan apa yang ia lihat. Ada Boy, Pucat, Ndut, Jelek, dan Dirah. Kelimanya menjadi ‘orang’ kepercayaan Bu Tini. Kelimanya menjadi ‘satpam’ tersembunyi yang menjaga rumah tanpa digaji. Kelimanya punya cerita unik yang cukup miris. Inilah kisah-kisah mereka, terkuak bagai sinetron picisan di televisi.
“Aku lahir di tahun 1972 dan meninggal tahun 2002. Usiaku di bumi hanya tiga puluh tahun. Dihitung sampai sekarang, aku sudah hampir lima puluh tahun tinggal di sini. Mengapa aku mati begitu cepat?” Ndut menatap Bu Tini tajam. “Ini karena kesalahanku sendiri.”
“Oya? Apa kesalahanmu?” tanya Bu Tini.
“Aku sangat rakus. Rakus terhadap apa saja. Aku mengkorupsi uang kas kantor dengan berbagai cara, semua data kumanipulasi hingga pimpinan tidak tahu. Uang itu kugunakan untuk foya-foya, menyimpannya dalam rekening palsu, makan enak, main perempuan, dan banyak hal negatif lainnya. Puncaknya ketika aku bermain dengan pelacur di sebuah tempat prostitusi. Aku tak tahu kalau jantungku bermasalah. Di tengah adrenalinku yang meninggi akibat luapan libido, jantungku berpacu dengan cepat. Lambat laun aku tak kuat memacu nafsu syahwatku ketitik yang kuinginkan. Aku terhenti di saat hendak mencapai puncak kepuasan. Aku terkapar, nafasku terputus seketika. Aku mengitari tubuhku yang tertelungkup dalam keadaan telanjang di atas perut pelacur itu, aku merasa jijik sendiri, aku bertanya pada jasadku, itukah aku? Mengapa kulakukan semua itu? Tapi jasadku membisu. Aku seperti sapi tambun yang dioplos dengan air. Aku tergeletak bisu tanpa daya. Aku tak mampu menyadarkan tubuhku untuk bangkit dan memperbaiki semuanya, semua telah terlambat. Lalu aku menunggu teman-teman yang datang, di sudut ruang tamu yang bersebelahan dengan lemari antik itulah tempat yang tepat untuk memandang mereka. Aku berteriak memanggil nama mereka, berusaha mengingatkan kalau segala yang pernah kita perbuat salah. Tapi mereka tidak mendengar, mereka masih tetap melakukannya, bermain dengan dosa yang akan membawa mereka ke jurang kehancuran. ”
“Oh, jadi kau tahu hukuman apa yang akan menimpamu?”
“Ya, namun aku masih berusaha meminta remisi pada Tuhan agar Ia tidak menaruhku di neraka.”
“Hm…semoga Tuhan mendengarnya.”
Kemudian ada kisah dari hantu ganteng yang akrab dipanggil Boy. Waktu meninggal usianya baru dua puluh lima tahun. “Aku meninggal karena sakit.” Katanya.
“Sakit apa?” tanya Bu Tini.
“HIV/AIDS.” Jawabnya enteng.
“Lho, kok bisa?”
“Kisahku sama seperti kisah pada umumnya tentang penyakit tersebut. Aku menjadi gay sejak berusia empat belas tahun, keika puber pertamaku muncul. Ada sosok yang membuatku begini. Orang pertama kali memperkosaku paman, adik ayahku. Dia sudah meninggal karena penyakit yang sama. Paman terkena penyakit itu ketika bersekolah di Inggris. Setelah ia meninggal, aku berganti-ganti pasangan, terakhir aku berhubungan dengan seorang penyanyi kondang di negeri ini, dia meninggal beberapa bulan yang lalu. Tatkala aku divonis kena penyakit ini, aku pasrah. Aku menghentikan seluruh aktivitas biologisku. Aku tahu umurku pendek, penyakit ini belum ada obatnya. Aku memutuskan untuk meninggal dalam keadaan terhormat, paling tidak aku tidak menyebarkan penyakit itu ke orang-orang lain.”
Bu Tini tercenung. Ia ingat pada putera semata wayangnya yang bekerja di Bali, lalu katanya, “Semoga kau diberi tempat yang layak oleh Tuhan,” ucap Bu Tini.
Dan si hantu berwajah seram yang menghuni pojok langit-langit kamar Bu Tini menuturkan kisahnya. “Semula wajahku tampan. Aku digilai banyak perempuan. Salah satu dari mereka kuhamili. Aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku, namun aku curiga dan bertanya-tanya apakah bayi yang dihamili perempuan itu benar-benar anakku? Ketika lahir, aku memintanya melakukan tes genetik, aku harus yakin bahwa yang dikandungnya itu benar-benar anakku, karena aku tahu sepak terjang perempuan itu…” hantu berwajah seram diam sejenak.
“Lalu, kau menikahinya?”
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Pacar aslinya datang dengan sejerigen plastik besar berisi bensin yang kemudian disiramkan ke wajah dan seluruh tubuhku, ia menyalakan korek api, lalu api itu dilemparkannya ke diriku. Aku mengerang kesakitan. Setelah itu gelap dan aku tahu rohku tak sanggup bertahan lama di tubuhku. Lalu dalam keadaan tak berdaya, rohku terbang mencari tempat yang aman untuk berlindung. Akhirnya, kutemukan rumah ini, bentuknya sangat menunjang aktivitasku sebagai hantu baru. Aku lalu melihat langit-langit kamarmu yang redup, menurutku, itu adalah tempat ternyaman untuk kudiami. Maka, inilah aku dengan sosok yang menyeramkan. Aku menunggu takdir selanjutnya. Semoga Tuhan mengampuni diriku dan mau menerimaku di sisiNya.”
Sepi menjalari suasana. Rumah kuno itu terasa kian sunyi. Para hantu menundukkan kepalanya. Masih ada dua kisah lagi yang belum terucapkan dari bibir mereka. Jika saja mereka ada di dunia nyata, kebisuan yang tercipta sama seperti keheningan kala percakapan terjadi. Lima hantu yang tak terilhat itu, masing-masing bersikap seperti manusia bernyawa pada umumnya.
“Kau mau dengar kisahku?” tanya hantu yang mendiami ujung tangga yang akrab disapa Pucat.
“Apakah kisahmu menarik?” selidik Bu Tini.
“Dengarkan saja, kau nanti akan merasakan kedahsyatannya,” sesumbar Pucat.
Bu Nani menarik nafas panjang.
“Hm…begini, kau masih ingat kasus korupsi besar-besaran yang pernah terjadi di negeri ini?”
“Korupsi apa ya? Kurasa semua korupsi yang terjadi sama besarnya, dan hampir semua pelakunya tidak terdengar lagi khabarnya. Mereka banyak uang, jadi bisa membayar hakim atau jaksa. Kasus koruptor hanya ramai sebentar, setelah itu redup.”
“Banyak yang kukorupsi. Saking banyaknya sulit kujelaskan satu-persatu. Ketika aku melarikan diri ke luar negeri, aku melakukan operasi plastik, tujuanku sederhana saja, nanti jika aku kembali, tak ada lagi pihak berwajib yang mengenaliku. Aku memutihkan wajah, memancungkan hidung, mengangkat tulang pipi dan menyipitkan sudut mata. Hasilnya, wujudku memang berubah.
Teman-teman tak ada yang mengenaliku, bahkan keluargaku pun tidak. Aku kembali ke Indonesia, melenggang dengan aman dan nyaman. Sampai suatu hari, ketika aku usai melakukan pembuatan pasport baru, seorang petugas imigrasi mendekatiku, di belakangnya ada seorang polisi, kata mereka, “Kami tahu siapa Bapak. Jangan lari lagi, sidik jari Bapak tidak bisa menipu.” Aku terkejut.
Aku tak mau dipenjara. Dalam keadaan terjepit dan tanpa pikir panjang, aku berlari, menerobos kerumunan orang. Polisi melepaskan tembakan peringatan. Aku tidak peduli, aku terus berlari dan berlari. Kesadaranku muncul ketika timah panas itu menembus dada dan kepalaku. Lalu, dalam sekejap ingatanku hilang. Timah panas itu lebih ganas dari gigitan binatang buas manapun. Aku tergeletak. Tubuhku seakan melayang, mencari sudut yang kurasa bisa menjadi tempat persembunyianku. Di tangga itulah kutemukan tempat yang strategis dan aman.
Di situ aku bisa menyamarkan tubuhku, bersembunyi lalu menghindar dari kejaran para polisi. Aku seorang koruptor, sampai sekarang aku masih menunggu ganjaran apa yang akan kuterima. Andai saja, aku masih hidup, uang-uang hasil korupsi itu akan kubagi-bagikan pada fakir miskin dan orang tak mampu lainnya. Sayang, aku tak bisa melakukan itu. Anak-anak dan isteriku juga tidak. Mereka kini saling bersitegang menuntut warisan yang kukumpulkan dari hasil korupsi itu. Ada juga yang dipenjara karena aku,” paparnya.
Bu Nani mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kurasa hasil korupsimu sudah dimakan rayap, karena kau sebenarnya sosok yang kikir.” Katanya sinis.
“Tidak. Aku tidak kikir, isteri, anak-anak dan saudara-saudarkulah yang memperkeruh masalah hingga mereka terseret kepengadilan dan dipenjara.”
Kemudian Bu Tini menuturkan semua itu pada suaminya. Sang suami hanya tertawa. “Kau ini, sudah tua masih percaya pada cerita tahayul. Hantu sudah hidup di dunia yang berbeda, mereka tak bisa mengarang cerita seperti itu. Apa yang mereka tuturkan hanya isapan jempol belaka. Mereka itu mahluk-mahluk yang tidak diterima Tuhan. Mereka tak punya tempat tinggal, makanya mereka mondok di rumah kita. Nanti, jika aku ada rejeki, akan kurenovasi rumah ini. Akan kupanggil pawang hantu untuk mengusir mereka dari sini!” ujar suaminya gemas.
Akan tetapi cerita para hantu belum tamat sampai rumah itu direnovasi dan pawang hantu dipanggil untuk mengusir mereka. Satu hantu tak mau pergi dari situ. Ia bertahan di sudut dapur dekat lemari es tua. Wajahnya sedih ketika Bu Tini menanyakan mengapa ia tak ikut pergi ke tempat baru yang ditunjuk si pawang.
“Aku…”
“Ada apa dengan kau?” sambar Bu Tini.
Lalu kisah itu mengalir lancar. Bu Tini berdiri kaku di depan lemari es tua yang ada di hadapannya. Kisah yang didengarnya benar-benar membuat jantungnya seakan mau berhenti.
“Tanyakan pada isteri mertua lelakimu, mengapa ia menyimpanku di lemari es tua ini, tanyakan juga padanya siapa ibu dari suamimu.” Katanya getir.
“Maksudmu?”
“Ya, aku ibu kandung suamimu. Ibu tiri suamimu telah mengambil alih semuanya, termasuk membunuhku dengan racun sarin dan menyimpan potongan tubuhku di lemari es tua itu. Hati-hati kau dengan perempuan itu, dialah hantu yang sesungguhnya di rumah ini.” Ucapnya kemudian.
Bu Tini gemetar. Matanya berkunang-kunang, lalu gelap. Ia jatuh pingsan tepat di depan kulkas tua yang tak pernah boleh disingkirkan oleh mertua perempuannya, ibu tiri suaminya, perempuan yang selalu berwajah teduh dan duduk dengan diam di kursi goyangnya sambil merajut.
( Oleh : Fanny Jonathan Poyk)
Ikuti : Tentang 5 W dan 1 H .