Suatu hari saya bertemu dengan teman lama saya. Hampir tiga puluh tahun kami tidak bertemu. Usia kami sama. Menginjak enam puluh tahun. Dia mengatakan saya awet muda dan modis.
Saya tak tahu entah itu pujian atau satir halus darinya, sebab saya tahu dia tak pernah tulus jika berkata sesuatu yang menyangkut saya.
Ketika saya lulus SMA dengan nilai lebih tinggi darinya, dia marah sekali sebab menurutnya dia sudah belajar mati-matian dan saya karena fasilitas tak ada, belajar santai saja tapi kok bisa melampauinya. Kemarahannya ini dia luapkan dengan tidak menegur saya selama bertahun-tahun.
Lalu saya menanyakan tentang suami dan anaknya, dia bilang nasibnya tragis, sang suami dan anak tunggalnya meninggal karena kecelakaan pesawat. “Aku sendirian sekarang, ” Katanya tanpa kesedihan yang mutlak.
Dan kenangan bergulir pada masa saat kami berusia dua puluh lima tahun. Sebenarnya ini konflik cinta yang sudah epic dan kerap terjadi. Ketika di hari pertunangan itu calon suami saya mengatakan bahwa dia tak bisa menikahi saya, saya syok.
Seperti drama Korea pada umumnya, seorang perempuan dengan perut membuncit, memasuki ruang pesta pertunangan kami. Perempuan itu dengan ‘lebay’nya berteriak kalau dia adalah calon istri tunangan saya. Aktingnya kian dramatis tatkala ia mengeluarkan pisau cutter dan hendak mengiris urat nadinya. Pesta pertunangan ambyar!
Tunangan saya segera menyelamatkan perempuan itu. Lalu ia mengajaknya ke luar ruangan. Saya termangu. Sejak itu, kabar tentang mereka seolah lenyap tertelan debu tanah.
Tiga puluh tahun berlalu. Dia kini berada di hadapan saya. Pakaiannya lusuh, secara keseluruhan penampilannya jauh berbeda saat dia masih muda. Saya tak hendak mengubah situasi dengan menggiringnya ke arah penumpukkan dendam dan amarah yang tertumpuk berpuluh tahun silam. Kesedihan dan kemarahan saya sudah tuntas. Saya menjadi kasihan padanya, sebab sifat jahat dan baik di dirinya, telah menjadi satu kompilasi rasa yang membuatnya selalu merasa hidup tidak bahagia.
Ketika dia memohon maaf pada saya dan melihat saya menggandeng cucu saya yang cantik, entah apa yang berkecamuk di sorot matanya. Lalu saya memperkenalkan suami tampan yang setia berpuluh tahun kepadanya, dia terpana. Kakinya mundur beberapa langkah.
“James?” Ucapnya dengan tatap mata tanpa kedip.
James suami saya tersenyum. “Apa kabar Adelia?” Tanyanya.
Teman saya itu menundukkan wajahnya. Tak lama ia pamit dan meninggalkan kami. Saya mengamit tangan suami dan cucu saya. Kami tertawa riang sambil berjalan ke tempat restoran langganan favorit kami.
“Bersyukur aku jatuh cinta padamu dan tidak jadi menikahinya!” Kata James sambil mencium ubun-ubun saya.
Tamat
*Well sekian cerpen mini yang saya tulis di Hp sambil ‘leyeh-leyeh’ mikirin masak apa hari ini. Pesan saya, jangan perkenalkan pacarmu pada cewek2 yang genit, kalau tragedi terjadi mirip drama Korea, bikin sesak nafas…mari mengolah kata…
Cerpen : Fanny Jonathan Poyk
Ikuti Cerpen lainnya : Racun Sarin di Kue Nastar Bu Norma