Pulang sekolah, Leya selalu naik ke kamarnya dan baru makan siang setelah Reni masuk ke kamarnya sendiri, menemani bayinya tidur siang. Hari ini tidak terkecuali, sekalipun Reni mencoba menahannya, “Makan dulu, Leya. Ini Mama masak ayam goreng kremes kesukaanmu.”
“Nanti saja,” kata Leya. Biasanya ia menambahkan dalam hati. “Dan kamu bukan Mama.” Tapi hari ini berbeda.
Dari ruang makan, Reni mendengar pintu dibanting. Baginya itu bukan hanya sebuah pintu, tetapi garis batas yang ditetapkan Leya di antara mereka. Pintu yang tertutup, hati yang tertutup. Reni mencoba tidak mendramatisir keadaan dan bersikap lebih sabar, tapi…sampai kapan?
Dari kursi tingginya Lala mencolek Reni dan membuka mulutnya.
“Oh sudah kosong, ya,” ujar Reni sambil menyuapi bayinya.
Aku sayang kamu, ujar Reni dalam hati. Oh, tentu saja, kau milikku, lahir dari rahimku. Tapi aku sayang kakakmu juga.
Meskipun Leya bukan darah dagingnya, Reni tahu bahwa dengan menikahi Herman, ia telah berikrar pada Tuhan bahwa ia akan mencintai anak ini sebagai anak kandungnya. Apalagi Leya bukan orang lain. Almarhum ibunya adalah kakak kandung Reni. Waktu Maria masih hidup, Leya akrab dengannya. Mungkin, kedekatan Reni dengan Leya itulah yang membuat kedua pasang kakek-nenek bocah itu mencoba menjodohkan Herman dengan Reni. Dengan begitu, Leya tetap berada di dalam lingkaran keluarga yang menyayanginya.
Awalnya Reni menolak saran yang disampaikan secara halus ini. Enggan sekali ia mengikuti kebiasaan ‘turun ranjang’ yang kuno itu. Ia memang baru saja mengalami putus cinta, tapi itu kan tidak berarti harus menikah dengan siapa saja? Harus ada cinta. Lagipula, merawat Leya, menyayanginya, tak perlu berada dalam ikatan pernikahan dengan ayahnya.
Namun dengan berjalannya waktu, mungkin karena sering jumpa, mungkin karena begitulah yang biasa terjadi antara lelaki dan perempuan, Herman dan Reni saling dekat juga. Mungkin itu bukan cinta yang menggebu, tapi rasa sayang yang tumbuh perlahan-lahan. Dan ketika keduanya menikah, itu adalah peristiwa yang sangat membahagiakan bagi kedua pihak keluarga, kecuali mungkin buat…Leya.
Lala menepuk perut gendutnya beberapa kali. Reni menatapnya penuh kasih.
“Satu lagi ya…” Reni memberi suapan terakhir pada bayinya. Lalu ia menggendong anak 15 bulan itu ke wastafel untuk dibersihkan.
Intermezzo ini tidak membuat Reni berhenti memikirkan Leya. Mungkin kehadiran bayi ini terlalu cepat. Sebelum ia meraih cinta Leya sebagai ibu, Lala sudah lahir dan perhatian Reni terbagi antara keduanya. Tapi aku tidak akan pasrah, pikirnya. Tuhan memberi Leya padaku, Ia akan memberiku cintanya juga.
Tapi mengapa begitu lama? Tiga tahun telah berlalu. Leya sekarang berumur…astaga, hampir 11 tahun! Tubuhnya sudah begitu jangkung. Bila mereka berdiri bersisian menatap cermin, mungkin akan kelihatan tingginya sudah setelinga Reni. Ia tiba-tiba teringat, ia belum bicara hati ke hati dengannya, soal menjadi wanita.
Tidak ada kata terlambat, pikirnya. Ia menyerahkan Lala ke tangan pembantu dan beranjak ke kamar Leya.
* * *
Sebenarnya, siang itu Leya tidak bermaksud judes pada Mama Lala. Bahkan, sepulang dari retret beberapa hari lalu, ia sudah bertekad akan mendekat padanya. Bukankah ia juga tantenya, dan dulu mereka saling menyayangi? Hanya saja Papa… lalu ada Lala…
Leya ingin Papa selalu mengenang dan merindukan Mama, seperti dia. Dan ia ingin Papa memanjakannya seperti dulu, sebelum ada Lala. Itu cemburu, Leya menekankan pada dirinya. Aku tidak boleh cemburu, melainkan mengasihi. Aku akan memulai siang ini.
Tapi tadi, begitu mobil angkutan sekolah tiba di rumah, perutnya terasa mulas hingga ia bergegas ke kamar mandi. Ia terbiasa menggunakan kamar mandi yang terhubung ke kamarnya, agar tidak sering-sering berpapasan dengan Lala dan mamanya. Dan apa yang dilihatnya membuatnya syok.
Apakah dia jatuh ketika bermain kejar-kejaran dengan Siska dan Diana? Tidak. Tapi mengapa…? Apakah dia sakit? Gemetar, ia membersihkan diri. Lalu ia masuk ke kamarnya dan melapisi sprei tempat tidurnya dengan beberapa helai kain.
Aku sakit, pikirnya sambil berbaring . Sakit apa? Leya hampir berteriak ketika mendadak teringat apa yang terjadi pada mamanya bertahun-tahun lalu. Ia menyaksikan sendiri mamanya jatuh di dapur, berdarah, lalu diselimuti berlapis-lapis, digendong Papa ke dalam mobil, diboyong ke rumah sakit.
Leya menunggu di rumah bersama Oma. Lalu malam itu, Papa pulang, memeluknya dan berkata, “Leya, Mama, dan adik di dalam perut Mama, tidak tertolong…”
Mama tidak pernah pulang lagi. Leya yang mendatangi Mama di rumah duka, bersama seluruh keluarga: Opa-Oma sana, Opa-Oma sini, semua Om dan Tante termasuk Tante Reni. Tapi Mama terbaring diam di dalam peti, yang kemudian disegel untuk kemudian ditanam di dalam tanah. Leya tidak paham, tidak paham…. Ia masih ingat upacara duka itu. Semua orang menyanyi, tapi semua wajah kelihatan sedih. Pastor berdoa dan berkhotbah dengan wajah serius.
Lalu hari-hari tanpa Mama….
Lama kemudian, Papa menikah dengan Tante Reni. Semua orang mengatakan, Tante sekarang menjadi Mama. Tapi Leya tidak ingin punya mama baru. Leya ingin mamanya sendiri.
Dan sekarang ia sakit. Sakit seperti Mama. Dulu Mama meninggal supaya Tante bisa tinggal di sini. Sekarang, apakah ia harus meninggal supaya Lala bisa menjadi satu-satunya anak Papa?
Leya tidak mau mati. Ia sayang pada ayahnya, pada adiknya Lala, dan juga…Mama Lala. Pastor dan Suster di acara retret sudah berpesan untuk mencintainya, dan ia sudah berjanji. Tapi sekarang ia sakit, sakit seperti Mama.
Jangan biarkan aku meninggal, Tuhan, sebelum aku menunjukkan kasihku kepada Mama Lala dan adikku. Aku ingin sekali menggendong Lala, Tuhan. Selama ini aku cuek padanya hanya untuk membuat jengkel Mama Lala. Aku tahu aku salah, Tuhan. Tolong beri aku kesempatan kedua.
* * *
“Leya, kamu kenapa? Boleh Mama masuk?”
“Tidak dikunci.” Leya belum bisa menyebutnya ‘Mama’.
Reni melihat Leya berbaring di ranjangnya. Matanya terpejam, tapi bahunya berguncang. Airmata meleleh dari sisi-sisi matanya. Reni duduk di sisnya, menghapus airmata Leya dengan jarinya.
“Ada apa, Leya?”
“Aku akan mati.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena aku sakit parah.”
Leya bukan ‘ratu drama’, maka Reni pun berpikir keras, ada apa. Ia menyentuh dahi Leya. Dingin. “Kau tidak demam.” Reni membelai rambutnya yang lembap.
Tapi aku sakit, pikir Leya. Tenggorokanku juga sakit menahan tangis. Aku butuh pelukan seorang ibu. Aku merasa bersalah. Aku takut mati sebelum sempat memanggilmu Mama dan menciumi Lala sampai ia terkekeh-kekeh.
“Leya, bilang pada Mama, ada apa.”
Leya membuka matanya pelan-pelan. Dilihatnya kegelisahan di mata Reni. Kalau saja dia bisa menyebutnya Mama, mungkin keadaan akan lebih tertahankan. Tapi dia hanya bisa mengatakan, “Aku sebentar lagi mati.” Tangannya menepuk lapisan kain alas yang didudukinya. “Seperti mamaku.”
Reni ikut menatap lapisan kain itu. Ia mengaitkan kecemasan Leya dengan ihwal ‘penyakit’ almarhum, mengingat-ingat apa yang ia sendiri pikirkan ketika menyadari usia Leya. Lalu, rasanya seperti ada bohlam menyala di kepalanya. Kecemasan Reni segera sirna. Anaknya, yang saat itu sedang menatapnya dengan mata memelas, tidak apa-apa. Semuanya normal sesuai usianya.
“Kau tidak sakit seperti mamamu. Kau sama sekali tidak sakit. Tunggu sebentar, ya.”
Reni keluar kamar dan kembali dengan sebungkus pembalut wanita. Ia membantu Leya menggunakan selembar, sambil memberi tahu padanya fakta kehidupan. Itu adalah percakapan paling panjang antara dirinya dan Leya, sejak ia hadir di rumah itu sebagai ibunya.
Leya tidak pernah melupakan saat itu, ketika Reni menatapnya sambil tersenyum. “Kau bukan anak kecil lagi,” dan Leya menjawab, “Iya, Mama.”
Reni juga takkan pernah melupakan saat itu, ketika pintu hati Leya mulai terkuak baginya.
1 Juni 2021