Sebenarnya jika saja Ucok mau, ia bisa hidup tenang di kampungnya, di Kabanjahe sana. Hamparan sawah dan kebun yang luas warisan bapaknya, bisa menghidupi dirinya sendiri dan itu lebih dari cukup. Tentu saja asal ia mau dan rajin menggarapnya setiap hari. Tapi di situlah letak akar permasalahannya. Ucok bosan bertani. Bangun pagi berpacu dengan terbitnya matahari adalah hal yang paling membuatnya kesal. Bahkan suara Mamaknya yang lantang saat membangunkan dirinya, sudah membuatnya alergi. Ucok tak ingin bercita-cita menjadi petani. Itu bukan bidangnya, kata hatinya. Dan ia pun akhirnya membulatkan tekad, pergi diam-diam dari kampungnya saat kedua orangtuanya tengah terlelap. Ia pergi tanpa sepucuk surat pun.
Ucok akhirnya terlempar di belantara Jakarta. Tak ada bekal berarti yang ia bawa. Tidak juga ijasah SMA yang ia miliki. Ia hanya datang dengan dua baju di dalam tasnya, satu yang dipakainya, uang sebesar lima ratus ribu rupiah dan sandal kulit usang milik sang bapak. Sejak dulu memang, Jakarta menjadi mimpi-mimpinya yang selalu datang di setiap tidurnya.
“Aku bosan dengan bukit-bukit itu, Mak.” Katanya sambil mencangkul tanah persawahan milik ayahnya. “Aku bosan dengan rupa tanah persawahan kita yang tak pernah berubah wujud. Aku ingin melihat Jakarta. Melihat gedung-gedung yang tinggi menjulang hampir mencakar langit. Aku bosan dengan rutinitas hidup seperti ini!”
Mamaknya hanya membisu. Ia menganggap ucapan putranya lampiasan dari rasa kesal dan bosan yang sebentar lagi akan hilang terkikis waktu. Ucok tidak pernah ke luar dari Kabanjahe. Ke Medan pun hanya sekali dalam setahun. Ia yakin anaknya tak memiliki keberanian untuk menginjakkan kaki di kota yang tak pernah ia datangi itu, di kota yang hanya bisa ia lihat melalui televisi berwarna 21 inc, satu-satunya benda berharga di rumahnya.
“Mak, aku pasti akan ke Jakarta!” ulang Ucok sembari melempar rumput-rumput liar dari tanah persawahan yang digarapnya dengan penuh emosi.
“Sudah, jangan bermimpi lagi kau, bersihkan cepat rumput-rumput itu, lusa kita harus menanam bibit padi!”
“Mak lihat, pokoknya aku akan pergi. Aku tidak akan membuang waktuku dan membusuk di tempat seperti ini!”
Maka seperti yang ia ucapkan, semua dilaksanakan dengan sempurna. Kini Ucok sudah berada di rumah paribannya (1), sebuah bedeng dengan dinding seng di tepian jalan protokol. Di depan rumah itu ada tulisan ‘tambal ban’, kemudian dua anjing penuh kudis yang kurus terikat di samping pohon kersen yang menaungi rumah bedeng itu. Di samping rumah ada bangku panjang dari papan lurus tanpa sandaran, di depannya juga terdapat sebuah meja panjang dan di batang pohon kersen tertempel kertas karton bertuliskan jalinan huruf tegas dan nyata, lapo tuak (2), jual B1, B2 (3), enak!
Ucok membisu. Ia tahu apa yang diucapkan paribannya si Poltak, tidak seperti yang dikatakannya dulu. Ia mencoba untuk menghibur diri, ah, mungkin ini hanya tempat usahanya saja. Poltak pasti punya rumah sendiri yang lebih nyaman, yang bisa ia taruh tubuhnya untuk beberapa saat sebelum ia memperoleh pekerjaan. Dan harapannya seperti menunggu mimpi yang menjadi nyata. Poltak menyuruhnya tidur di bawah pohon kersen bila malam tiba. Jika hujan turun, ia, Poltak dua anak dan isterinya, masuk ke dalam warung bedeng itu, berkumpul seperti ayam-ayam yang menggigil kedinginan.
“Jangan kau pikir Abangmu ini punya rumah luas seperti di kampung, Cok. Kalau saja tanah warisanku tidak dijual Bapakku, sudah sejak dulu aku pulang ke Kabanjahe. Bilanglah sama Bapakmu, bagi aku sepetak tanah untuk bertani. Aku sudah bosan hidup di Jakarta. Lihat, berpuluh tahun tinggal di kota besar ini, yang bisa kukumpulkan hanya warung bedeng kumuh dan lapo yang penghasilannya tak seberapa.” Poltak, paribannya mengeluh.
Pekerjaan pertama yang diperoleh Ucok adalah sopir bis umum batangan, artinya ia hanya akan menjadi sopir apabila sopir yang sesungguhnya sedang libur atau istirahat. Untung di kampung ia terbiasa membawa mobil pick-up tua Bapaknya ke kota tetangga, Brastagi. Ia membawa hasil kebun seperti kol, wortel, brokoli, daun bawang dan sebagainya untuk dijual ke tengkulak di sana. Hasil kerja keras selama enam bulan memang tidak seberapa, tengkulak membayarnya dengan harga murah. Ucok harus paham itu, sebab jika tidak, ibunya tidak bisa membiayai kakaknya yang masih kuliah di universitas negeri yang ada di Kota Medan. Dia satu-satunya anak yang menurut mamaknya yang akan mengangkat harkat dan martabat keluarga.
Bertahun-tahun Ucok menjadi sopir batangan, tak ada perubahan signifikan yang akan berubah dalam hidupnya. Sesekali dengan ijasah SMA-nya, ia melamar ke berbagai perusahaan, sempat menjadi satpam, cleaning service, bahkan debt collector karena badannya tinggi dan gempal, juga wajahnya yang tampak ‘sangar’ berahang tajam dan persegi. Namun di penghujung waktu, ia kembali lagi ke posisi semula, menjadi sopir bis umum jam-jaman, itulah pekerjaan yang ia rasa paling cocok. Dan Ucok lambat-laun telah terbiasa dengan tempat tidur dari bangku papan panjang di lapo (2)milik paribannya. Pohon kersen yang tak bisa menahan embun atau gerimis kecil yang turun malam hari, kerap membasahi tubuh serta kepalanya. Ucok terus bertahan.
“Tidakkah kau rindu pada Mamakmu?” tanya isteri paribannya, Butet.
“Tunggu sampai aku kaya, Kak. Baru aku akan pulang. Nanti aku pulang dengan baju putih, jas hitam dan dasi hitam, seperti pengusaha kaya yang datang membeli tanah-tanah penduduk di Kabanjahe.”
Butet, isteri paribannya tertawa sinis. “Kau yang baru satu tahun di Jakarta saja sudah bermimpi akan kaya, apalagi kami yang sudah puluhan tahun di sini!”
Ucok tetap bersikukuh tak mau pulang. Seminggu setelah ia melihat lapo dan rumah bedeng paribannya di gusur polisi pamong praja, Ucok memandang tempat tidur kursi panjangnya dengan bingung. Nanti malam di mana pula aku akan tidur? Tanyanya dengan suara berbisik.
Pariban, isteri dan dua anak mereka entah telah membuka lapo di mana kini. Ucok memutuskan untuk tidur di dalam bis kota yang dikemudikannya yang ditaruh di dalam terminal. Tempat itu satu-satunya yang gratis. Surat yang dikirim mamaknya sebulan lalu, menyuruhnya untuk pulang pun belum sempat dibacanya. Surat itu ada di dalam saku celana yang juga diangkut polisi pamong praja. Padahal, jika saja ia mau membacanya barang semenit atau dua menit, Ucok pasti akan segera berkemas lalu mencari pinjaman uang untuk pulang ke kampung. Ayahnya meninggal di sambar petir tatkala sedang menanam benih-benih padi di sawah mereka!
Malam itu, tepat di Minggu pertama setelah penggusuran terjadi, dan Minggu pertama Ucok tidur di dalam bis yang kerap disopirinya, ia terbangun mendengar suara-suara kasar dan bentakan dari orang-orang yang tak dikenalnya.
“Mana bagian gua!” ucap seseorang dengan suaranya yang keras.
“Kan gua udah bilang, semua diambil si Brewok!”
“Bohong lu, Brewok bilang dia nggak dapat apa-apa!”
“Bener, masa sih gua bohong!”
“Ah lu, emang dari dulu kerjaan lu suka bohongin gua. Nih rasain!” Suara jeritan tertahan terdengar. Darah berhamburan ke luar mambasahi jok kursi, percikkannya sempat mengenai baju kaos lusuh yang dikenakan Ucok. Pemuda bertumbuh gempal itu lalu menciutkan tubuhnya, menahan nafas dan bersembunyi di balik kursi. Dadanya berdegup kencang. Malam yang gulita membuat mereka tidak melihat kehadirannya. Ucok menyaksikan tatkala golok yang pinggirannya berkilat tertimpa rembulan malam yang menyusup diam-diam itu, membacok tubuh lelaki yang sudah meminta ampun itu berkali-kali. Mayat lelaki itu tergeletak berdekatan dengan tempatnya bersembunyi. Tak ada orang lain yang menjadi saksi. Hanya Ucok yang ada di situ. Ia menggigil, ia ketakutan. Ia semakin tak berdaya tatkala keesokkan harinya seluruh sopir bis dan angkot hendak membakar dirinya.
Kemarahan yang meluap itu menjadi anarki. Ucok tertuduh satu-satunya yang berada di tempat kejadian. Darah yang memercik di pakaiannya menjadi bukti tunggal kalau dialah pelakunya. Ucok berteriak, Ucok menangis, Ucok memohon ampun, dengan suara serak ia mengatakan kalau dirinya tidak bersalah. Namun pengadilan massa lebih berkuasa. Bukti itu sudah kuat, si mayat yang terbunuh tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya terbujur kelu dengan mulut menganga, mata melotot dan tangan tercakup dengan posisi memohon ampun.
Ucok menjadi pelampiasan dendam ratusan orang yang berada di lokasi kejadian. Tatkala api mulai merayap, membakar bis kota yang menjadi tempatnya mencari nafkah sebagai sopir batangan, Ucok menangis pasrah. Ia teringat akan Mamaknya, teringat akan Bapaknya, teringat akan saudara-saudaranya. Kabanjahe yang sejuk menari-nari di benaknya, bukit dan gunung, kebun-kebun kol, kentang, wortel, sawi dan hamparan sawah dengan padinya yang menguning bagai lukisan indah yang terpampang di matanya.
“Sekarang kau boleh pulang, Cok!” ujar paribannya.
“Akhirnya Ucok pulang juga,” bisik Butet, isteri paribannya.
Tubuh yang sudah berbalut kemeja putih, jas hitam, dasi hitam, dan sepatu yang juga hitam itu, terbaring tanpa senyum di dalam peti mati berbahan kayu nangka. Wajahnya sudah menghitam. Penampilan Ucok lain dari biasanya, ia terlihat gagah dan rapi. ***
Depok, Fanny Jonathan Poyk
Catatan :
- Pariban : Anak dari adik atau kakak laki-laki pihak Ibu
- Lapo Tuak : Semacam warung kopi yang biasanya menyuguhkan tuak di mana para pelanggannya bisa bermain catur
- B1 : Daging anjing
- B2 : Daging Babi
- Sopir batangan : Sopir jam-jaman yang menggantikan sopir asli bila ia tengah istirahat atau sakit
—————-‐——————————————